MENU TUTUP
Belajar dari Gereja Katolik di Timor Timur dalam Menegakkan HAM  

Jalan Berduri Penegakkan HAM di Timor Timur Masa Lalu

Selasa, 16 Juni 2020 | 17:55 WIB / adm
Jalan Berduri Penegakkan HAM di Timor Timur Masa Lalu Peter Tukan/Istimewa

Oleh: Peter Tukan*

BANYAK  kalangan dari berbagai latarbelakang agama, suku dan kelompok politik bertanya seperti ini: ”Bagaimana Gereja Katolik di Timor Timur masa lalu berjuang menegakkan Hak-hak  Asasi Manusia (HAM)  di wilayah konflik politik dan pertikaian bersenjata itu?

Pertanyaan ini muncul ketika orang atau kelompok orang mempertanyakan peran   agama-agama dalam menegakkan HAM di wilayah konflik.  Untuk itu, kita perlu mencermati bagaimana Gereja Katolik di Timtim berjuang menegakkan HAM di dalam situasi konflik. Bagaimanapun juga, “pengalaman adalah guru yang terbaik,” kata pepatah bijak.

Konflik politik dan pertikaian senjata di wilayah Timor Timur (Timor Lorosae)  mulai berkobar sejak sekitar tahun 1974 ketika Portugis benar-benar meninggalkan wilayah itu disusul bermuncul aspirasi berbagai kelompok politik. Ada kelompok politik yang berjuang untuk kemerdekaan Timtim, namun ada pula yang berjuang agar wilayah dan masyarakat Timtim berintegrasi dengan Indonesia.

Fakta membuktikan, mayoritas penduduk  Timtim adalah pemeluk Katolik. Itu berarti sebagai umat beragama, mereka digembalakan oleh  Uskup Gereja Katolik. Sejak 19 Juni 1988, umat Katolik Timtim dipimpin Administrator Apostolik Dili, Timor Oriental, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB dan baru pada 30 November 1996, Vatikan memekarkan Keuskupan Dili menjadi dua Keuskupan dengan “melahirkan” Keuskupan Baucau. Keuskupan Baucau dipimpin Monsinyur Basilio do Nascimento,Pr dengan jabatan  Uskup Tituler Settimunicia Administrator Apostolik Baucau.

Perjuangan  menegakkan HAM dalam segala dimensinya oleh Gereja Katolik di Timtim masa itu (saat penulis berada di Timtim) justru berlangsung pada tahun-tahun yang amat  sulit dimana terjadi konflik politik dan pertikaian senjata yang sangat mengerikan yang telah menelan ribuan nyawa manusia dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.

Posisi Gereja Katolik di Timtim saat itu tidak hanya  berada dalam situasi teramat sulit tetapi juga sangat dilematis. Pada satu pihak Gereja (hirarki dan umat) ingin agar hak-hak asasi manusia terutama Keadilan dan Perdamaian - seperti diamanatkan  Ajaran Sosial Gereja dan Piagam PBB - terwujud dalam kehidupan setiap hari, namun pada pihak lain, Gereja dihadapkan dengan konflik politik dan senjata yang tidak berkesudahan antara dua kekuatan yang saling bermusuhan yakni kekuatan  yang mempertahankan Timtim di dalam pangkuan ibu pertiwi Indonesia dengan kekuatan  yang berjuang  untuk kemerdekaan Timtim lepas dari Indonesia.

Posisi Gereja Katolik  sungguh  terjepit! Pada satu pihak,  ada kelompok yang memperjuangkan tegaknya HAM demi  tercipta keadilan dan perdamaian bersama dalam bingkai NKRI, tetapi pada pihak lain, ada kelompok yang berjuang menagakkan HAM sebagai jembatan menuju kemerdekaan Timor Timur. HAM adalah alat atau sarana merebut cita-cita kemerdekaan!

Pada dua kelompok yang berbeda persepsi dan haluan politik sangat tajam  dalam  menegakkan HAM itulah, Gereja Katolik  berada. Realitas membuktikan bahwa mereka semua yang berada dalam dua kelompok ini  adalah umat Katolik – warga Gereja Keuskupan Dili, Tanah Timor Lorosae. Setiap kelompok politik yang bertikai ini  berjibaku  menarik hirarki  Gereja Katolik ke dalam kelompoknya  dengan tujuan politik praktis masing-masing yang sangat sulit  dipertemukan.

Di dalam situasi konflik yang mencekam itu, orang dapat saja mencampuradukkan upaya  penegakkan HAM  dengan pejuangan politik merebut kemerdekaan.  Di dalam daerah konflik, pemahaman (persepsi) tentang HAM sering menjadi “kabur air” dan tumpang tindih. Keadilan dan Perdamaian menurut kelompok pro-kemerdekaan baru dapat tercapai apabila Timtim memperoleh kemerdekaan; sedangkan bagi kelompok yang berlawanan berpendapat bahwa  Keadilan dan Perdamaian baru dapat tercapai jika Timtim tetap berintegrasi dengan Indonesia.

Menjadi Bunda Yang Merangkul

Di dalam situasi seperti ini, apabila Hirarki  Gereja salah melangkah,   tidak hati-hati dan tidak bijaksana, maka Gereja akan terjebak ke dalam jurang pertikaian bersaman dengan bertikainya dua kelompok yang berbeda haluan politik itu, padahal Gereja (hiraki) sendiri, tidak boleh terjun ke dalam politik praktis itu melainkan tetap berdiri kokoh  sebagai “Bunda yang merangkul anak-anaknya yang dlahirkan dalam Pembaptisan”.

Perjalanan sejarah Gereja melintasi zaman mencatat dengan tinta emas bahwa Gereja Katolik  senantiasa peduli dan ikut berjuang menagakkan  HAM demi tercapai kehidupan bersama yang adil dan damai. Gereja harus berada sebagai Pendamai  pihak-pihak yang bertikai, bukan  sebaliknya, ikut mendorong, memanas-manasi  dan merunyamkan pertikaian itu sendiri.

Pada sekitar tahun 1980-an hingga 1997, begitu banyak orang, baik di Timtim maupun di luar wilayah  Timtim,  kuat beranggapan bahwa  Uskup Carlos Filipe Ximemenes Belo,SDB dan Uskup Basilio do Nascimento, Pr terjun ke politik praktis dengan  mendukung faksi perjuangan kemerdekaan Timtim.

Malahan, faksi yang memperjuangkan kemerdekaan Timtim “mengklaim” bahwa hirarki Gereja Katolik berada di pihak mereka, sebaliknya pihak yang berjuang agar Timtim tetap bersama Indonesia menuding dan mengecam  hirarki Gereja Katolik tidak mendukung Timtim untuk   tetap berada dalam pangkuan Indonesia melalui tawaran Otonomi Khusus Timtim. Menurut mereka, Uskup hanya diam saja, tidak berbuat apa-apa saat kelompok pro-integrasi diserang oleh pro-kemerdekaan.

Setiap pernyataan Pimpinan Gereja Katolik di Timtim saat itu -- dalam kaitan  dengan perjuangan menegakkan HAM -- dinilai oleh kelompok pro-kemerdekaan sebagai ikut mendukung perjuangan mereka. Ada “angin segar” dari Pimpinan Gereja.  Sebaliknya,  kelompok pro integrasi mamandang  perjuangan Gereja Katolik menegakkan  HAM merupakan  pengkhianatan terhadap realitas integrasi Timtim dalam pangkuan Indonesia.

 Sungguh benar, bahwa pada masa itu, umat Katolik Timtim yang adalah bagian integral dari warga  masyarakat Provinsi Timtim terbelah menjadi dua kelompok politik yang saling bertikai tanpa henti.

Pertanyaan penting adalah, bagaimana sikap Gereja Katolik di Timtim  menghadapi realitas keterpecahan umatnya dalam politik praktis seperti ini? Bagaimana di dalam situasi seperti ini, Gereja Katolik memperjuangkan tegaknya HAM? Apakah Gereja Katolik di Timtim mendukung politik praktis perjuangan  kemerdekaan Timtim lepas dari Indonesia?

 Menghadapi realitas keterpecahan ini, Gereja Katolik dengan susah payah dan dengan segala keterbatasannya  terus  berusaha “merangkul” kedua kelompok politik yang bertikai itu  sebagai umatnya dan  terus bersabar menerima kritik dan kecaman, tidak hanya dari setiap kelompok yang bertikai tetapi juga dari masyarakat di luar wilayah Timtim yang tidak memahami latarbelakang konflik, situasi dan kondisi riil pergolakan politik dan pertikaian senjata di wilayah itu. Setiap kelompok bertikai itu memaksakan kehendak agar hirarki Gereja mengikuti kemauan politik mereka.

 Pada saat yang sama, media massa (sadar atau tidak sadar) terlanjur ikut  membentuk opini,  membangun persepsi  publik nasional dan internasional  bahwa Gereja Katolik di Timtim melalui perjuangan HAM ikut berpolitik praktis memerdekakan Timtim. Persepsi ini justeru sangat merugikan Gereja itu sendiri, malahan Uskup Belo sendiri “menderita batin” terkucil bertahun-tahun lamanya karena persepsi yang buruk itu.

Semua sikap, perkataan dan perbuatannya dalam kerangka penegakkan HAM agar kehidupan bersama menjadi aman,adil dan damai dinilai sebagai bagian dari perjuangan memerdekakan Timtim. Malahan kelompok tertentu dalam lembaga keamanan negara pun menuding Uskup Belo sebagai “pengkhianat”  bangsa dan negara Indonesia. Uskup Belo  menjadi bulan-bulanan pers yang melakukan kampanye hitam mendiskreditkan hirarki Gereja.

Media (sadar atau tidak sadar) telah terlanjur membangun persepsi publik  yang keliru bahwa Gereja Katolik di Timtim merupakan bagian dari kelompok pro-kemerdekaan Timtim.

Sehubungan dengan karya penegakkan HAM, Gereja Katolik di Timtim punya prinsip dan pegangan yang sama dengan Gereja Katolik dibelahan dunia lainnya yakni “Tidak ada Perdamaian tanpa Keadilan dan Tidak ada Keadilan tanpa Perdamaian.  Keadilan tercapai apabila ada penghormatan atas hak-hak asasi manusia!”

Begitu pula, Gereja berpendapat bahwa semua hak asasi harus diperhatikan seluruhnya dalam hidup bersama, karena semua hak ini saling terkait secara intrinsik. Kita tidak boleh memajukan beberapa hak saja sambil mengabaikan yang lain, karena nanti pada akhirnya kita merugikan martabat manusia sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Dan itulah yang dipegang teguh oleh Gereja Katolik sepanjang perjalanan zaman, dimanapun Gereja Katolik itu berada dan berkarya.

Gereja Katolik memperjuangkan solidaritas umat manusia untuk bersam-sama menegakkan damai yang sejati atas dasar keadilan yang pada tempat pertama berarti menegakkan hak-hak asasi manusia. Perjuangan menegakkan hak asasi manusia harus dipandang sebagai sebuah ibadah.

Banyak sekali langkah-langkah nyata yang dilakukan pimpinan Gereja Katolik  dalam hal ini Uskup Belo dalam menegakkan HAM. Apa yang sedang dan  sudah dikerjakan tidak perlu dan tidak harus diberitakan ke publik melalui media.

Uskup Belo berupaya keras- tak kenal lelah  dalam mencegah  semakin bertambahnya korban jiwa akibat konflik bersenjata yang berkobar di wilayah pedalaman Timitim. Dia secara diam-diam mengontak mereka yang sedang berttikia itu untuk berhenti berperang. Apa yang dilakukan itu samasekali tidak diketahui oleh siapapun juga dan memang tidak perlu digembar-gemborkan.

Bekerja Dalam Diam Yang Aktif

Uskup Belo pun secara diam-diam mendatangi aparat keamanan untuk meminta pembebasan banyak tawanan konflik bersenjata. Dia juga secara pribadi dan diam-diam menemui  petinggi keamanan meminta agar menghentikan pertikaian senjata di kampung-kampung agar rakyat yang tidak berdosa tidak sampai terbunuh sia-sia.  Dalam banyak hal, Pemimpin Gereja Katolik – tidak hanya di Timtim - selalu  bekerja dalam diam yang aktif  tanpa dipublikasikan di media karena tidak  mau mencari popularitas diri yang semu.  Itulah karya politik Gereja yang  bermakna lebih luas yakni   berjuang dalam diam yang aktif demi  kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama (bonum  commune).

Tidak sedikit orang memberi kesan bahwa Uskup Belo selalu mengambil posisi berseberangan dan “menyerang” dengan pernyataannya untuk mendiskreditkan kebijakan keamanan yang dilakukan para petinggi  aparat keamanan TNI dan Polri tetapi ternyata, Uskup sendiri tidak henti-hentinya membangun relasi personal yang baik, kritis  dan konstruktif dengan aparat keamanan agar terjadi tercipta kehidupan bersama yang lebih aman dan damai.

Pendekatan pribadi dalam diam yang aktif jauh lebih bermanfaat dan berhasil daripada berteriak di jalanan karena tindakan seperti ini belum tentu dapat menyelesaikan masalah, malahan sebaliknya, dapat menimbulkan masalah baru yang lebih rumit lagi yang merugikan semua lapisan  masyarakat.

Bahwa ada aspirasi sebagian rakyat agar Timtim  Merdeka dan ada pula yang berkeinginan Timtim tetap berintegrasi dengan Indonesia, itu bukanlah urusannya. Yang menjadi urusannya adalah agar seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan SARA dapat  hidup dan bekerja di seluruh wilayah Timtim dalam kedamaian dan keadilan, serta persudaraan.

Sedangkan terkait dengan dugaan atau tudingan bahwa hirarki Gereja Katolik di Timtim mendukung politik praktis perjuangan memerdekakan Timtim dapatlah dikatakan bahwa  Gereja Katolik di Timtim justru senantiasa memberikan saran bijak demi menghindarkan masyarakat dari pertikaian dan perpecahan kronis. Pilihan dan keputusan terkait politik praktis sepenuhnya   dikembalikan kepada Rakyat. Rakyatlah yang menentukan arah politik, bukan Gereja!

Sikap resmi Gereja Katolik menghadapi problem krusial di sebuah  wilayah konflik politik dan pertikian senjata,dinyatakan melalui  keputusan dan kebijakan Uskup. Suara Uskup  menjadi penentunya,  bukan suara  yang lain. Di dalam hal-hal yang substansial yang menyangkut harkat dan martabat manusia, nasib hidup dan keselamatan umat manusia di wilayah itu, Uskup memiliki otoritas untuk menyampaikan suara resmi tentang sikap Gereja Katolik, bukan diambil alih atau diwakilkan oleh yang lain.

Di sini, ketaatan atau loyalitas  umat Katolik kepada gembalanya adalah kunci utama yang mempersatukan umat di dalam situasi konflik seperti ini. Gereja Katolik tetap berdiri  kokoh dari zaman ke zaman justru karena loyalitas – kesetiaan yang utuh dan tunggal kepada Uskup selaku pengganti para Rasul Kristus! Tidak ada pilihan lain!

Karena itu, di daerah konflik seperti Timtim, suara Uskup sangat didengar oleh publik. Di luar suara dan kebijakan Uskup, apapun tindakan dan langkah yang ditempuh tidak akan didengar atau diladeni! Kewibawaan Gereja dipertaruhkan demi persatuan Gereja semesta.

Dokumen Tertulis menjadi bukti

Sikap remi Gereja terkait pilihan politik:   apakah memilih Merdeka atau tetap berintegrasi dengan Indonesia, telah disampaikan secara terbuka di dalam Dokumen resmi Keuskupan Dili yakni  Surat Pastoral Uskup Dili tahun 1975 yang menyatakan secara tegas bahwa pilihan politik apapun, sepenuhnya berada di tangan  Rakyat! Sikap yang sama terulang lagi dalam Surat Pastoral Uskup Dili pada 31 Juli 1994 (sekitar lima tahun sebelum Referendum)  yang menyatakan :”Posisi Gereja Katolik di Timor Timur pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur,”

Pada tahun 1994, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  mulai mempersiapkan rakyat Timor Timur untuk melaksanakan jajak pendapat atau referendum  yang terlaksana  pada 30 Agustus 1999. Mengapa PBB  memutuskan untuk melaksanakan Referendum karena sampai pada waktu itu, Timtim sebagai wilayah bekas koloni Portugis masih belum diakui PBB sebagai bagian integral dari NKRI, maka harus dilaksanakan Jajak Pendapat Rakyat alis Referendum.

Menghadapi perhelatan demokrasi Referendum itu, sikap Gereja Katolik di Timtim sangat jelas  dinyatakan dalam  Surat Gembala Uskup Dili 30 Agustus 1999. Ini kutipan langsung Surat Gembala itu:  Posisi Gereja Katolik di Timor Timur, pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur.  Pada situasi ini, pilihang yang dianjurkan Gereja adalah pilihan untuk melakukan Referendum. Gereja memberikan anjuran terhadap pilihan ini karena percaya bahwa pilihan terhadap reherendum adalah pilihan demokratis yang mampu mengakomodir seluruh aspirasi dan suara hati rakyat Timor Timur.

Namun demikian, jika pilihan terhadap Referendum menghadapi berbagai persoalan yang maha besar dalam pelaksanaannya, termasuk kekhawatiran dan kecemasan akan terjadinya pertumpahan darah dan perpecahan yang mendasar di kalangan rakyat Timor Timur sendiri, maka anjuran kepada Pemerintah Indonesia, sebagai kekuatan yang menduduki wilayah ini, untuk memberikan otonomi yang lebih luas atau memberikan status wilayah ini sebagai daerah khusus. Otonomi yang lebih luas atau pemberian status sebagai daerah khusus dianjurkan untuk dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan,”, tulis Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB dalam Surat Gembala tersebut.

Cermatilah dengan saksama kata “anjuran” – artinya dalam hal politik praktis,  Gereja hanya menganjurkan,  sedangakn keputusan akhirnya ada pada pilihan rakyat Timtim sendiri. Jadi, dalam hal politik praktis, Gereja Katolik dalam kasus ini, berada pada posisi yang menganjurkan, bukan memutuskan atau penentu! Mengharapkan secara berlebihan agar Gereja Katolik ikut serta memutuskan persoalan politik praktis merupakan harapan yang tidak akan terlaksana sampai kapanpun juga.

Pertanyaan susulan lainnya adalah, apakah Pimpinan  Gereja Katolik di Timtim pernah  diminta untuk menandatangani suatu dokumen  Pernyataan Bersama  atau Kesepakatan Bersama terkait  penanganan persoalan  hukum atau  keamanan yang masuk dalam wilayah politik praktis?

Sejarah Gereja Katolik di Timor Timur mencatat bahwa pada pada 21 April 1999, digelar acara Penandatangan “Kesepakatan Tentang Penghentian Permusuhan Dan Upaya Menciptakan Perdamaian di Timor Timur”. Isi dari kesepakatan itu antara lain mengatur penghentian pertikaian senjata dan mengatur penegakkan hukum di Timtim.

 Adapun mereka yang namanya tercatat dalam naskah Kesepakatan itu untuk memberikan tanda tangan adalah para pemimpin faksi-faksi yang bertikai yaitu pro kemerdekaan Kay Rala Xanana Gusmao,  pro-integrasi Domingos Soares,  Gebernur Timtim Abilio Jose Osorio Soares, Ketua DPRD Timtim Armindo Soares Mariano, Menhankam/Panglima TNI, Jenderal TNI Wiranto, Uskup Keuskupan  Dili  Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB dan Uskup Keuskupan Baucau Basilio do Nascimento,Pr  dan  Komnas HAM RI, HR Djoko Soeginato,SH.

Naskah Kesepakatan itu disusun oleh sebuah Tim khusus tidak melibatkan Gereja Katolik. Dua Uskup Gereja Katolik di Timtim itu hanya diundang hadir untuk menandatangani Kesepakatan itu tanpa lebih dahulu diberikan  kesempatan membaca keseluruhan isi Kesepakatan tersebut pada hari sebelumnya. Pertanyaannya adalah: Bagaimana sikap Hirarki Gereja Katolik di Timtim terkait Kesepakatan yang harus ditandatangani hari itu?

Ternyata pada hari itu juga, dua Uskup Gereja Katolik di Timtim mengeluarkan “Pernyataan Sikap Para Uskup Dioses Dili dan Dioses Baucau”. Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB dan Uskup Basilio do Nascimento tidak ikut menandatangani naskah Kesepakatan  dan secara tegas menyatakan: ”Para Uskup Dioses Dili dan Dioses Baucau semata-mata (Meramente/Solely) menjadi Saksi Mata (Testemunhas Oculares/Testes A Visu) atas event Kesepakatan Tentang Penghentian Permusuhan dan Upaya Menciptakan Perdamaian di Timor Timur sebelum berkonsultasi dengan Vatikan” tulis dokumen Pernyataan sikap itu.

Di sini kita dapat memahami secara baik, benar dan utuh bahwa dalam hal sikap Gereja Katolik atas persoalan politik praktis yang substansial ( antara lain pengaturan penyelesaian permasalahan hukum dan keamanan), Gereja Katolik tidak bisa diintervensi dan/atau  dipaksa untuk secara serta merta bersikap atau memberikan tandatangan persetujuan  atas sebuah dokumen resmi sesuai keinginan atau kehendak orang atau lembaga di luar Gereja Katolik tanpa lebih dahulu dibicarakan, dikonsultasikan, didialogkan  dan dibahas bersama-sama  secara hati-hati dan arif-bijaksana.

 Di  dalam hal-hal yang prinsip (subtansial) Gereja Katolik tetap memiliki sikap yang kukuh,  namun senantiasa disampaikan atau dilaksanakan  dengan cara yang sangat elegan Fortiter  in Re, Suaviter in Modo – Kukuh dalam Bersikap, Elegan dalam Bertindak!

Peter Tukan* : Wartawan aktif 1980-2020

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BACA JUGA

Peralihan Uang Kartal ke Uang Digital, Penyebab Turunnya Realisasi SERAMBI 2024 di Papua

Rabu, 24 April 2024 | 05:17 WIB

Pemprov Papua Dukung Audit Rinci LKPD 2023, Kepala OPD Diminta Siapkan Data

Selasa, 23 April 2024 | 14:28 WIB

Respon Cepat Pemprov Papua Tengah dan PJN Nabire Atasi Longsor di Jalan Trans Paniai

Selasa, 23 April 2024 | 13:54 WIB

Ketua TP-PKK Puncak Jaya Resmi Dilantik Sebagai Ketua Pembina Posyandu

Selasa, 23 April 2024 | 13:23 WIB

Seorang Warga Meninggal Dunia saat Bantu Evakuasi Kapal Karam di Perairan Sarmi

Selasa, 23 April 2024 | 07:24 WIB
TERKINI

Peralihan Uang Kartal ke Uang Digital, Penyebab Turunnya Realisasi SERAMBI 2024 di Papua

54 Menit yang lalu

Pemprov Papua Dukung Audit Rinci LKPD 2023, Kepala OPD Diminta Siapkan Data

15 Jam yang lalu

Respon Cepat Pemprov Papua Tengah dan PJN Nabire Atasi Longsor di Jalan Trans Paniai

16 Jam yang lalu

Ketua TP-PKK Puncak Jaya Resmi Dilantik Sebagai Ketua Pembina Posyandu

16 Jam yang lalu

Perempuan Tangguh di Garda Terdepan Pertambangan PTFI

19 Jam yang lalu
Kontak Informasi wartaplus.com
Redaksi: wartaplus.media[at]gmail.com