Pemekaran Papua Ibarat Perpisahan Anggota Keluarga
Oleh: Peter Tukan*
MUNCULNYA aspirasi bertubi-tubi dari berbagai komponen masyarakat di Tanah Papua untuk memekarkan Provinsi Papua menjadi beberapa Daerah Otonomi Baru (DOB) di tengah bergejelolaknya polemik tentang berhasil atau tidak berhasilnya pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua sepertinya tidak terbendung lagi, malahan semakin hari semangat melahirkan DOB itu terus berkobar-kobar bagaikan semboyan kerja dan pengabdian Departemen Penerangan (Depen) masa Orde Baru yakni “api nan tak kunjung padam” atau bagaikan semboyan pengabdian para angkasawan RRI kita, “Sekali di Udara - Tetap di Udara!”. Pantang mundur.
Pertanyaan cerdas adalah, apakah munculnya aspirasi pembentukan DOB itu merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan dan dilaksanakan? Jawaban cerdas pula adalah, bahwa di dalam alam demokrasi seperti sekarang ini dimana kita semua mengusung paham “Vox Populi – Vox Dei” Suara Rakyat adalah Suara Allah, maka suara dan aspirasi rakyat di Tanah Papua untuk membentuk DOB adalah sah-sah saja, artinya silahkan saja, tidak perlu dilarang dan ditakuti sejauh semua itu demi kemaslahatan (bonum commune = kesejahteraan bersama) seluruh rakyat di Tanah Papua.
Demokrasi memungkinkan setiap warga masyarakat di Papua menyampaikan aspirasinya asalkan aspirasi itu diungkapkan secara santun, beretika, anti kekerasan, dan tetap menaati rambu-rambu hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sah dalam Negara Republik Indonesia. Demokrasi adalah sebuah pilihan sosial. Rakyat memilih untuk membentuk provinsi baru sesuai keinginanya yang tentu saja dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Walaupun demokrasi itu sendiri tidak sempurna sebagai mekanisme pilihan sosial, tetapi demokrasi mempunyai banyak kelebihannya.
Demokrasi yang baik dengan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk berpartisipasi secara jujur dan adil, akan merangsang warga negara untuk mempelajari dan mengikuti permasalahan sosial yang digelutinya.
Pemekaran provinsi baru itu dapat kita ibaratkan sebagai sebuah peristiwa perpisahan anggota keluarga dalam satu rumah tangga. Pada umumnya, kita mengenal sedikitnya dua alasan perpisahan anggota keluarga dari rumahnya sendiri. Ada perpisahan karena alasan yang baik dan dengan cara yang baik-baik saja; sebaliknya ada pula perpisahan karena alasan kurang baik akibat satu dan lain hal.
Pertama, adalah sebuah keluarga, ayah bernama Pak Ciku dan ibu bernama Mama Cika. Mereka memiliki empat orang anak kandung yang sedang bertumbuh menuju dewasa. Ketika Pak Ciku dan Mama Cika sudah membesarkan semua anaknya, maka tibalah waktunya bagi anak-anak untuk mulai mengurus dirinya sendiri. Mereka sudah merasa dewasa dan mandiri. Setiap mereka memiliki potensi dan bakarnya masing-masing. Kini satu persatu berpamitan dengan orang tua untuk membangun rumah baru di samping rumah orang tuanya. Kebetulan sekali, pekarangan rumah orang tua Pak Ciku dan Mama Cika masih sangat luas yang memungkinkan anak-anak mendirikan rumah mereka masing-masing. Di dalam rumah baru itu, mereka mengurus diri dan keluarga masing-masing.
Perpisahan anak-anak dari rumah orang tuanya adalah sebuah perpisahan yang damai, sejuk dan menyenangkan. Tentu saja perpisahan itu diselimuti suasana syukuran. Mereka menggelar syukuran, baik di rumah orang tua maupun di rumah baru yang mereka huni itu. Tali persaudaraan tidak akan terputus selamanya karena mereka selalu hidup rukun dan damai, saling membantu sebagai saudara bersaudara.
Kedua, adalah keluarga Pak Sintus dan Mama Sinta. Keduanya punya dua anak kandung. Ketika anak-anak masih kecil, suasana dalam keluarga sangat harmonis. Semuanya rukun-rukun saja. Namun perjalanan waktu membuat kehidupan keluarga Pak Sintus dan Mama Sinta serta dua anaknya menjadi tidak harmonis lagi. Percecokan sering terjadi di dalam rumah.
Foto: Piter Tukan/Istimewa
Pak Sintus dan Mama Sinta sudah tidak tahan lagi menghadapi tingkah anak-anak di dalam rumah. Kehidupan di dalam satu rumah antara orang tua dengan anak-anaknya sudah tidak harmonis lagi. Hampir tidak ada hari yang tidak terjadi keributan. Anak yang satu memiliki keinginan sendiri dari anak yang lainnya. Percecokan tidak hanya terjadi antara anak dengan orangtua tetapi juga diantara anak-anak sendiri. Anak-anak saling cecok lantaran tidak ada kecocokan satu sama lain. Anak yang satu mendominasi saudaranya yang lain, begitupun sebaliknya. Tidak ada lagi sikap saling mendengarkan dan menghargai satu sama lain. Keharmonisan yang terjaga dimasa kecil sudah sirna ditelan waktu. Setiap anak mencari jalan hidup sendiri-sendiri.
Melihat situasi yang sangat kritis ini, Pak Sintus dan Mama Sinta akhirnya dengan sangat terpaksa memutuskan untuk meminta kedua anaknya membangun rumah masing-masing di samping rumah induk dalam satu pekarangan yang sama. Dengan hidup di rumah masing-masing anak-anak mulai menata kehidupannya sendiri sesuai keinginan mereka masing-masing. Mereka menjadi mandiri dan tidak bergantung seluruhnya pada Pak Sintus dan Mama Sinta. Anak-anak dengan bebas mengatur keluarganya masing-masing tanpa campur tangan orang tua maupun saudara kandung lainnya.
Kembali kepada aspirasi pembentukan DOB di Papua, ceritera di atas (paling tidak) mengibaratkan pembentukan DOB di Tanah Papua, namun alasan pembentukan DOB di Papua lebih mirip pada ceritera pertama, bukan ceritera kedua. Bukti nyata sudah ada di depan mata kita yaitu telah terbentuk DOB Provinsi Papua Barat yang sekarang menjadi saudara bertetangga paling dekat dengan Provinsi Papua. Masyarakat Papua Barat telah berpisah dengan induknya Provinsi Papua secara baik-baik dan kini dengan berbagai potensi yang dimiliki, mereka sudah mampu mengatur kehidupannya sendiri menuju kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Aspirasi Masyarakat Adat Tabi dan Saireri
Jika dilihat dengan mata telanjang maka aspirasi yang bertubi-tubi tak kenal waktu dan tak pernah lelah justru datang dari masyarakat adat Tabi - Saireri dan masyarakat adat Anim-Ha.
Pada Jumat (24/7) Pkl.12.10 WIT bertempat di Pendopo Adat Ondofolo Ondikeleuw Helenfoiteuw Helebhey Obhe Sereh, Sentani, Kabupaten Jayapura telah dilaksanakan pembacaan Pernyataan Kesepakatan Tokoh Adat se-wilayah Adat Tabi dan Saireri oleh Pdt. Albert Yoku (Tokoh agama/Mantan Ketua GKI Klasisi Papua) didampingi Mathius Awoitauw (Bupati Kabupaten Jayapura sekaligus Ketua Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Tabi) dan Klemens Hamo (Ketua DPRD Kabupaten Jayapura) di hadapan peserta Rapat Pertemuan Para Tokoh Adat Tabi bersama Kepala Daerah Tabi disela-sela pembahasan DOB Provinsi Tabi-Saireri yang diikuti sekitar 25 orang perwakilan tokoh pemuda, tokoh adat dan pimpinan se-Tanah Tabi.
“Mendukung pembentukan DOB di wilayah Provinsi Papua. Dan wilayah Adat Tabi dan Saireri tetap menjadi satu provinsi yakni Provinsi Papua sebagai Provinsi Induk,” kata Pdt. Alberth Yoku.
Selain itu, lanjutnya, mendukung pembentukan DOB di Papua Selatan yaitu wilayah adat Anim-Ha menjadi DOB Provinsi Papua Selatan yang meliputi Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel.
“Mendorong pembentukan DOB di Papua yaitu wilayah adat La -Pago dan Mee- Pago menjadi DOB Provinsi Papua Tengah yang meliputi Kabupaten Jayawijaya, Yalimo, Pegunungan Bintang, Lanny Jaya, Tolikara, Nduga, Puncak Jaya, Yahukimo, Mamberamo Tengah, Puncak, Deiyai, Nabire, Intan Jaya dan Kabupaten Mimika,” kata Pdt. Alberth Yoku.
Terkait rencana Pemerintah Pusat membentuk DOB di Provinsi Papua itu, Walikota Jayapura yang juga tokoh masyarakat Tabi, Dr.Drs Benhur Tommi Mano,MM menegaskan, Pemerintah Pusat harus tetap konsisten memprioritaskan pemekaran Provinsi Papua menjadi beberapa Daerah Otonom Baru (DOB) seperti yang sudah direncanakan selama ini.
“Memekarkan Provinsi Papua menjadi beberapa DOB dengan memperhatikan wilayah adat di Tanah Papua merupakan sebuah kebutuhan politik yang harus diprioritaskan. Hal ini bukan karena para penggagas pembentukan DOB itu haus kekuasaan atau ingin melestarikan kekuasaan, tetapi justru demi semakin tercipta rasa aman, nyaman, damai dan sejahtera di dalam diri setiap warga masyarakat di wilayah ini,” kata Tommi Mano ketika diwawancarai sebuah media Online di Jayapura belum lama ini.
Tommi mengatakan, mayoritas rakyat di Provinsi Papua ingin agar provinsi yang wilayahnya sangat luas ini dimekarkan lagi demi kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan oknum tertentu.
Menurut Tommi Mano, kita harus dapat belajar dari Provinsi Papua Barat, dimana setelah wilayah itu mekar dari induknya Provinsi Papua maka kini kita melihat dengan mata telanjang bahwa pemerintah dan masyarakat Provinsi Papua Barat terus berjibaku membangun diri dan wilayahnya menuju kesejahteraan bersama tanpa terus menerus diganggu oleh hingar-bingar politik dan gangguan Kamtibmas yang menakutkan.
Selain situasi Kamtibmas di Provinsi Papua Barat yang relatif stabil, terlihat pula ribuan pelajar dan mahasiswa di sana sibuk belajar dan beraktivitas positif guna meraih masa depan yang dicita-citakan. Para petani dan nelayan bekerja membanting tulang menghidupi keluarga di dalam situasi keamanan yang kondusif. Kerukunan hidup beragama benar-benar dirasakan mulai dari akar rumput hingga ke jenjang para pemimpin dan pemuka agama-agama.
Semua yang dipaparkan ini menjadi bukti nyata bahwa Pemerintah Provinsi Papua Barat bersama rakyatnya telah benar-benar mensyukuri pemekaran itu sendiri sebagai anugerah terindah dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Realitas Provinsi Papua hari ini menyatakan bahwa wilayah provinsi ini masih sangat luas dengan rentang kendali pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang sangtat tidak mudah.
Bersamaan dengan itu, eskalasi politik dan Kamtibmas belum menampakkan tanda-tanda yang sangat menggembirakan diiringi perkembangan politik dunia yang mengusung isu-isu politik rasisme yang memecah-belah umat manusia di muka bumi ini.
Padahal Sang Pencipta langit dan bumi – Tuhan Yang Maha Kuasa menciptakan manusia penuh dengan kemajemukan suku, ras, agama dan golongan bagaikan berjenis-jenis bunga dengan berjuta warna-warni yang tumbuh subur di sebuah taman yang indah permai. Kemajemukan suku, ras, agama, budaya serta tradisi merupakan anugerah agung Tuhan yang harus disyukuri, bukan sebaliknya, yakni dibeda-bedakan dan dipertentangkan satu dengan yang lain.
“Kita justru menjadi bangsa yang kerdil di tengah perkembangan zaman yang sangat pesat ini apabila mempertentangkan perbedaan suku, agama, ras, budaya dan tradisi itu, sekaligus dengan tahu dan mau menjadikan perbedaan itu sendiri sebagai biang konflik dan peperangan,” tegas Tommi mengingatkan.
Oleh karena itu, lanjut Tommi Mano, pemekaran Provinsi Papua menjadi beberapa provinsi berdasarkan pertimbangan wilayah adat seperti wilayah adat Mamta-Saereri, wilayah adat Mee-Pago, wilayah adat La-Pago dan wilayah adat Anim-Ha merupakan prioritas Pemerintah Pusat dan DPR RI yang tidak boleh ditunda terlalu lama hanya dengan alasan pandemi Covid-19.
Apa kata Tokoh Masyarakat Adat Anim-Ha?
Menurut Tokoh Besar masyarakat adat Anim-Ha, Papua Selatan, John Gluba Gebze yang adalah mantan Bupati Merauke dua periode ini (2000 – 2010), keinginan dan rencana pembentukan Provinsi Papua Selatan bukan baru muncul pada penghujung tahun 2019 ini namun sudah lebih dari 17 tahun keinginan rakyat Papua Selatan ini diperjuangkan. Barulah pada menjelang akhir tahun 2019, Pemerintah Pusat mulai lebih serius lagi dan memastikan untuk mewujudkan keinginan rakyat itu.
“Kami tidak ingin terjerumus ke dalam debat kusir yang tidak produktif terkait rencana pembentukan Provinsi Papua Selatan karena debat itu tidak bermanfaat bagi kebaikan seluruh rakyat di Tanah Papua khususnya rakyat yang bermukim di wilayah Papua Selatan. Lebih baik kita menunjukkan bukti nyata kepada rakyat ketimbang berdebat hal-hal yang tidak produktif,” katanya.
Sedangkan terkait pembagian wilayah pemerintahan Papua Selatan, lanjut John Gluba Gebze, hal itu sudah dilakukan pemerintah Hindia Belanda tahun 1902 dengan hadirnya wilayah-wilayah adat di Tanah Papua.
Dengan demikian, apabila seluruh rakyat Papua Selatan pada 17 tahun lalu hingga hari ini berkeinginan membentuk provinsi sendiri maka hal itu bukanlah sebuah kebetulan atau bukan merupakan hasil dari “mimpi semalam – tiba hari, tiba akal”.
“Biarkan saja rakyat Papua Selatan mengatur dirinya sendiri agar segera tercipta kesejahteraan dan kemakmuran serta perdamaian abadi di wilayahnya. Kita tidak boleh menghalang-halangi keinginan baik itu. Mengapa keinginan baik ini harus diributkan,” katanya.
John Gluba Gebze berharap, kiranya aspirasi mulia dari seluruh lapisan masyarakat Papua Selatan yang telah disambut baik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat segera terwujud.
John Gluba Gebze menjelaskan, pada sekitar tahun 1961, Pemerintah Belanda melakukan pembagian wilayah administratif Nugini-Belanda. Terdapat enam wilayah adminstratif yaitu Afdeling Hollandia dengan ibukota Hollandia, Afdeling Geelvinkbaai dengan ibukota Biak; Afdeling Centraal- Nieuw-Guinea dengan ibukota yang belum ditentukan; Afdeling Zuid-Nieuw-Guinea dengan ibukota Merauke; Afdeling Fak-Fak dengan ibukota Fak-Fak dan Afdeling West- Nieuw-Guinea dengan ibukota Manokwari.
Afdeling Zuid-Nieuw-Guinea yang beribukota di Merauke itu dibagi lagi dalam lima wilayah Onderafdeling yaitu Merauke dengan ibukota Merauke, Mapi dengan ibukota Kepi, Boven-Digul beribukota Tanah Merah, Asmat dengan ibukota Agats dan Onderafdeling Muyu dengan ibukota Mindiptana.
Sedangkan Pegunungan Bintang itu termasuk dalam wilayah Centraal-Nieuw-Guinea.
Pembagian wilayah ini berlaku hingga berlangsungnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dimana secara de facto dan de jure, Papua menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan kabupaten-kabupetan otonom di Irian Barat berdasarkan UU No.12 Tahun 1969.
“Dengan demikian, pembentukan Provinsi Papua Selatan harus berdasarkan acuan cakupan wilayah Afdeling Zuid-Nieuw-Guinea yang membawahi lima orderafdeling. Inilah wilayah Papua Selatan di bawah naungan otoritas wilayah adat Anim Ha,” tegasnya.
Pembentukan Provinsi Papua Selatan itu, meliputi Kabupaten Merauke, Boven Digul, Kabupaten Asmat dan Kabupaten Mapi, tidak termasuk kabupaten lainnya.
John Gluba Gebze mengatakan, terkait rencana pembentukan Provinsi Papua Selatan, terdapat sekelompok mahasiswa dari wilayah adat lain berunjuk rasa menentang rencana ini. Untuk itu pihaknya meminta agar para mahasiswa tersebut tidak perlu mencampuri urusan orang lain yang punya wilayah adat sendiri.
John Gluba Gebze mengatakan, pembentukan DOB merupakan sebuah perubahan. Perubahan itu bagaikan badai yang mengganas. Badai ganas itu tidak dapat kita hentikan. Di tengah badai yang mengganas itu, tindakan yang harus kita lakukan adalah menyesuaikan diri di dalam perubahan itu sendiri. Ikut berubah di dalam perubahan itu.
Secara antropologis, sejak zaman dulu, wilayah Papua Selatan dihuni oleh masyarakat asli antara lain dari Suku Marind anim, Korowai, Asmat, Sempan dan Kamoro. Pada tahun 1905, Gereja Katolik mulai secara permanent memberikan pelayanan kepada masyarakat Papua Selatan di bidang rohani dan sosial-karitatif menuju peradaban baru.***
*Peter Tukan: mantan wartawan