Otsus Gagal Bukan Karena Rakyat, Otsus Gagal Karena MRP dan Birokrat
JAYAPURA,wartaplus.com - Majelis Rakyat Papua (MRP) mempunyai tugas dan wewenang hanya memberikan pertimbangan, saran dan menyalurkan aspirasi bukan hal lainnya atau menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) belakangan ini ramai dibicarakan.
“Kalau kita lihat dari nomenklatur MRP, majelis itu kan sebenarnya tugasnya hanya memberikan pertimbangan, saran walaupun dibalik itu ada afirmasi, artinya bahwa pertimbangan yang diberikan seperti bentuk legislasi aturan oleh DPRP, atau Pergub, Perdasi dan Perdasus, atau berbagai produk hukum lain yang dilahirkan di Provinsi Papua, yang keberpihakan kepada orang Papua,” ujarnya, Rabu (18/11/2020).
“Tapi kalau MRP melakukan rapat dengar pendapat umum atau wilayah (RDPU), berarti MRP melakukan sebuah kegiatan yang dibiayai untuk menampung aspirasi, saya kira itu tidak ada kewenangannya. Lantaran kalau berkaitan dengan tugas MRP itu berkaitan dengan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan gubernur dan wakil pada saat pilkada, contohnya. Lalu memberikan pertimbangan terhadap rancangan perdasus, terus memperhatikan dan menyalurkan aspirasi,”ujar mantan anggota MRP tahun 2011-2016.
Maka, kata dia, jika aspirasi itu datang ke MRP, apakah itu lewat hasil temuan pada reses atau tidak, baru bisa dilakukan. “Nah, kalau MRP melakukan RDPU, saya rasa disinilah letak perbedaan konstruksi pemahamannya, bahwa kedudukan mereka hanya sebagai majelis bukan dewan, dan majelis itu hanya berikan pertimbangan,” katanya yang juga seorang praktisi hukum.
Terkait adanya sejumlah pimpinan daerah menolak RDPU, kata mantan anggota MRP periode 2011-2016 itu, memang sudah seharusnya. “Dan seharusnya semua pimpinan daerah menolak, kenapa menolak? Karena Otsus ini jika ingin diperbaiki tidak boleh dalam keadaan emosi, kalau mereka bilang Otsus ini bargaining dengan referendum itu salah,” katanya.
Referendum itu urusannya di PBB, tapi kalau Otsus itu hak dan tanggung jawab pemerintah berdasarkan resolusi 2504 tertanggal 19 November 1969 Papua itu sah menjadi bagian dari NKRI. Sehingga segala regulasi dan aturan hukum, berkaitan dengan hak dan tanggungjawab negara memberikan perlindungan dan mensejahterakan masyarakat itu kewenangan negara,
“Nah, kalau sekarang pemerintah mau melakukan revisi Otsus, kenapa takut? Kenapa musti minta pendapat (RDPU), kan negara punya kewenangan untuk membuat atau membentuk hal itu,”ujarnya.
“Kalau kita mau jujur saja, sebenarnya regulasi yang ada di UU Otsus ini tidak membantu menjembatani persoalan, karena cuma ada dibirokrat dan masyarakat menjadi objek, dari sisi aturan maupun penganggarannya itu tidak mendapat sentuhan, sehingga pemerintah harus melakukan revisi, supaya diciptakan jembatan emas menghubungkan antara objek dan fungsi pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah,” lanjutnya.
Karena kondisi hari ini, yang menjadi masalah adalah parameter apa digunakan untuk mengklaim bahwa Otsus itu berhasil atau tidak? “Orientasinya bukan di uang saja, ini uang negara harus lewat birokrat. Memang betul, tapi bagaimana MRP bisa melakukan fungsi kontrol terhadap uang itu, MRP tidak pernah bangun kerjasama dengan gubernur, bupati atau Walikota, untuk segala program yang ketok palu dengan pembiayaan dari dana otsus. Itu harusnya MRP tahu supaya tugasnya sebagai fungsi kontrol berjalan, tapi nyatanya ini tidak pernah ada,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Sawaki yang merupakan Serabawa atau salah satu kepala suku besar dari Kabupaten Waropen itu menilai bahwa bagaimana MRP bisa tahu bahwa bisa ada program dana Otsus yang dibuat untuk masyarakat? Apa parameter penilaiannya?
MRP Produk Otsus
“MRP ini produk dari Otsus, jika hari ini mereka paksa untuk harus bubarkan Otsus yah, bubarkan juga MRP, untuk apa ada atau piara MRP. Lebih baik, kita buat dewan adat, untuk apa ada MRP, mereka ini tidak mengerti fungsi dan tugas, mereka buat seolah-olah mereka itu DPRP, karena dia itu menyerap aspirasi warga sementara DPRP bagian dari parpol besar,” ujarnya.
“Ini pemahaman yang salah, MRP adalah lembaga tinggi negara atau lembaga kultural yang ada di daerah, tugasnya melakukan afirmasi. Apa benar dia sudah lakukan afirmasi, mengawal segala tindakan atau kebijakan pemerintah dalam memberikan keberpihakan kepada masyarakat, MRP tidak pernah lakukan ini, gagalnya otsus itu gagalnya MRP yang juga sebagai fungsi kontrol,” katanya lagi.
Jika MRP mau melakukan RDPU, tegas Sawaki, ini kewenangan dari mana, majelis itu hanya mempertimbangkan, perangkat fungsional dari MRP harus dibongkar. Ini sebenarnya ada apa? Atau ada upaya perlindungan terhadap penggunaan dana yang tidak jelas?
“MRP harusnya mengcounter pemerintah, kenapa dari MRP jilid pertama hingga sekarang tidak ada aturan pelaksana bagi UU Otsus. Sehingga pada akhirnya menempel dengan APBD, sehingga dari sisi pertanggungjawabannya susah, terus kenapa setelah sekian lama 20 tahun terus hari ini kita bilang otsus gagal,” katanya.
Otsus gagal bukan karena rakyat, Otsus gagal karena MRP, karena birokrat. MRP sebenarnya kerja apa sih? Coba lihat apa program mereka saat reses, apa perintah yang dilakukan lembaga kepada setiap anggota, tidak ada? Hasil dari reses juga mau dikemanakan, bingung.
“MRP ini sebaiknya dibubarkan saja, jika tidak berjalan sesuai tugas dan fungsinya, atau kewajibannya. Masyarakat tidak salah, ini institusi yang mengemban tugas tidak melaksanakan dengan baik dan benar,” katanya.
“Kenapa para pemimpin MRP berlagak seperti kepala dinas bahkan mungkin seperti gubernur? Mereka merasa tidak memimpin lembaga, padahal semua anggota punya hak yang sama untuk berikan kontribusi. Diperiode saya juga memang gagal, karena pemimpin tidak mengerti fungsi dan tugas,” kata Serabawa (Kepala Suku Besar) Kabupaten Waropen.*