Pangdam Cenderawasih Bertemu Peraih Yap Thiam Hien, Bahas Ketahanan Umat Perbatasan RI dan PNG
JAYAPURA,wartaplus.com - Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Ignasius Yogo Triyono bertemu peraih penghargaan Yap Thiam Hien Award 2009 bidang penegakan hak asasi manusia. Pastor John Djonga,Pr membahas ketahanan umat beragama di wilayah perbatasan antarnegara Republik Indonesia (RI) dengan Papua New Guinea (PNG) demi kesejahteraan, keadilan dan kedamaian hidup antarsesama umat beragama yang mendiami perbatasan Indonesia dan antara umat beragama perbatasan Indonesia dengan umat beragama di wilayah perbatasan PNG.
Pertemuan silaturahmi dan diskusi intens bertemakan “Ketahanan Umat di Perbatasan” berlangsung di Markas Kodam (Makodam) XVII/Cenderawasih, Jayapura, Jumat (26/3) dalam suasana penuh keakraban dan persaudaraan.
Pastor Djonga sejak tahun 2020 menerima penugasan dari Uskup Keuskupan Jayapura untuk memberikan pelayanan pastoral (pengembalaan) bagi umat Katolik di Koya Barat dan Koya Tengah – dua wilayah yang terletak di perbatasan antarnegara RI dengan PNG.
Koya Barat dan Koya Tengah termasuk dalam wilayah pelayanan Gereja Katolik Paroki Gembala Baik, Abepura , Keuskupan Jayapura; sedangkan dari segi administratif pemerintahan, Koya Barat dan Koya Tengah masuk dalam wilayah pemerintahan Kota Jayapura.
Kepada Pangdam Ignasius, Pastor Djonga antara lain menyampaikan data umat beragama di wilayah tersebut, khususnya umat Katolik yang dilayaninya, suasana kerukunan hidup intern dan antarumat beragama, keamanan wilayah, kehidupan sosial dan ekonomi umat beragama di perbatasan antarnegara dimana wilayah perbatasan merupakan beranda Negara Republik Indonesia dalam pergaulan masyarakat antarbangsa.
Pastor Djonga mengatakan, setiap hari umat beragama yang adalah warga masyarakat Kota Jayapura, Provinsi Papua bersama warga masyarakat perbatasan Negara PNG saling berinteraksi. Mereka adalah saudara serumpun dalam suku dan tradisi leluhur yang sama. Garis batas antarnegara merupakan batas yang artifical – karena secara turun temurun, masyarakat asli di dua wilayah perbatasan antarnegara ini adalah saudara-bersaudara dalam budaya yang sama, leluhur yang sama dan tradisi Kristiani yang sama pula.
Mayoritas warga masyarakat asli di wilayah perbatasan kedua negara ini adalah pemeluk Kristiani dari Gereja Protestan dan Katolik. Tidak dipungkiri, warga masyarakat yang beragama Islam juga bermukim dan berbaur dengan umat beragama Kristiani. Umat Muslim dan Kristiani dikenal bersaudara dalam iman monotheisme yang diwarisi Nabi Ibrahim. Semua umat beragama di wilayah ini terus berjuang agar dapat hidup dalam suasana rukun dan damai.
Kepada Pangdam Cenderawasih, Pastor Djonga mengatakan, fokus pendampingan umat yang dipimpinnya pada “Ketahanan Iman Keluarga di perbatasan”. Mayoritas keluarga Katolik di wilayah yang dipimpinnya berasal dari Kabupaten Pegunung Bintang dan Kabupaten Boven Digoel, dua kabupaten yang juga berbatasan langsung dengan Negara PNG.
Keluarga-keluarga ini bermigrasi ke wilayah perbatasan Jayapura sekitar tahun 1970-an.
Semula keluarga-keluarga ini bermukim secara terpencar-pencar, namun pada tahun 1983, pihak Keuskupan Jayapura mendapatkan lahan seluas 10 Hektare di wilayah Koya dan menempatkan mereka dalam satu lokasi agar mereka mudah berinterkasi dalam bahasa dan tradisi yang sama yang mereka bawa dari daerah asalnya.
Pada saat ini, keluarga-keluarga ini menghadapi banyak masalah antara lain, dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga dan meningkatnya kebutuhan hidup setiap hari maka mereka merasakan semakin sempit lahan pertanian untuk diolah. Selain itu, di dalam kehidupan rumah tangga, sering terjadi kekerasan terhadap perempuan. Diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan menjadi permasalahan tersendiri.
“Gereja Katolik menolak segala sikap dan perilaku yang diskriminatif terhadap perempuan dan mendukung segala usaha untuk menentang tindakan kekerasan terhadap perempuan,” kata Pastor Djonga.
Selain diskriminasi terhadap perempuan, wilayah perbatasan antarnegara RI-PNG dikenal sangat rentan terjadi perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang (Narkoba) yang berdampak lanjut pada terjadinya banyak tindakan kekerasan (kriminalitas) dan berbagai dampak sosial lainnya seperti pengangguran kaum muda, pencurian dan mabuk-mabukan.
Ketahanan Iman
“Kami tahu bahwa selama ini telah banyak prajurit TNI berada di wilayah perbatasan. Mereka bertugas dalam Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan atau Satgas Pamtas RI – PNG. Tentara itu juga adalah manusia beragama yang merupakan bagian integral dari umat beragama sehingga diharapkan mereka tidak hanya aktif berperan membangun ketahahan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia, tetapi juga ketahanan iman umat beragama di wilayah perbatasan ini. Untuk itulah kami berdiskusi dengan Pangdam Ignasius pada hari ini,” kata Pastor Djonga.
Menanggapi laporan peraih penghargaan Yap Thiam Hien Tahun 2009 ini , Pangdam Cenderawasih, Mayjen TNI Ignasius Yogo Triyono menyatakan menyambut baik karya pengembalaan umat Katolik yang dilakukan Pastor John Djonga dalam rangka meningkatkan “Ketahanan Hidup Keluarga” di wilayah perbatasan antarnegara RI-PNG.
Prajurit TNI adalah juga warga umat beragama yang tentu memiliki kewajiban moril ikut serta membangun ketahanan hidup umat beragama, selain ketahanan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Kami ingin mengunjungi umat yang adalah warga masyarakat perbatasan antarnegara RI-PNG.
Sesuai kemampuan yang dimiliki, prajurit TNI tentu saja akan ikut membantu mendampingi dan meningkatkan ketahanan umat di berbagai bidang seperti peningkatan ekonomi keluarga, keamanan hidup bermasyarakat dengan betugasnya Babinsa, bidang kesehatan melalui bakti sosial TNI seperti pemeriksaan dan pengobatan serta khitanan dan sebagainya.
Pangdam Ignasius mengatakan, apabila di wilayah perbatasan itu terdapat orang muda yang telah menamatkan SMP atau SMA/SMK maka pihaknya meminta bantuan Pastor Djonga mengajak anak muda ini ikut serta dalam seleksi penerimaan Bintara dan Tamtama yang setiap tahun diselenggarakan Kodam XVII/Cenderawasih.
“Kita harus menyadari bahwa di balik banyak keterbatasan sebagai manusia, orang muda putra-putri asli Papua memiliki banyak hal yang baik yang dapat kita kembangkan, antara lain mengajak mereka menjadi prajurit TNI, baik Tamtama maupun Bintara. Mereka adalah pemuda gagah perkasa yang memiliki potensi besar tidak hanya untuk membangun Indonesia di perbatasan antarnegara ini, tetapi juga di wilayah lain di seluruh Indonesia,” kata Pangdam Ignasius.
Begitu pula, kaum perempuan di perbatasan dapat didampingi para istri prajurit TNI (Persit) agar dapat terampil berperan dalam industri rumah tangga seperti, mengolah buah pisang menjadi keripik pisang yang selanjutnya dapat dijual di banyak rumah makan dalam Kota Jayapura untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
Di wilayah perbatasan itu banyak tumbuh pohon pisang dan banyak buah pisang yang sudah matang tidak diamnfaatkan dan terbuang begitu saja. Kita dapat memberikan pendampingan kepada kaum pertempuan untuk dapat mengolah buah pisang menjadi keripik pisang, dilatih bagaimana cara yang higienis mengemas keripik pisang itu ke dalam kantong-kantong untuk dijual.
Dengan demikian, tidak semua perempuan di wilayah ini ramai-ramai menjual hanya satu komoditi saja seperti menjual pinang tetapi harus bervariasi, seperti mengolah dan menjual keripik pisang, keripik singkong, keripik keladi, untuk menambah pemasukan rumah tangga.
“Kami harus datang sendiri untuk melihat situasi dan kondisi masyarakat perbatasan antarnegara ini. Paling pertama, rakyat harus merasa hidup dalam suasana yang aman dan damai dulu. Kalau sudah merasa aman dan damai, barulah kita bertanya, mencari tahu potensi apa saja yang dimiliki rakyat, setelah itu kita mulai bekerja bersama-sama secara bertahap dengan kemampuan yang dimiliki bersama, kata Pangdam Mayjen TNI Ignasius Yogo Triyono.
Usai pertemuan itu, secara terpisah, Pastor Djonga menggarisbawahi pernyataan akhir Pangdam Ignasius yang dianggapnya sangat penting yakni bahwa kita harus mulai dulu dari apa yang ada pada rakyat dan yang dimiliki rakyat, seperti kisah Sang Guru Ilahi Yesus Kristus ketika pada dua ribuan tahun lalu, berada bersama para pengikutNya dan pada saat ribuan pengikutNya itu merasa lapar, Yesus bertanya: Berapa potong roti yang ada padamu?” Seorang dari pengikut Yesus itu menjawab:”Yang ada pada kami lima potong roti dan dua ekor ikan”.
“Rakyat harus memiliki sesuatu dulu dan dari situ kita kembangkan bersama. Kita tidak dapat melatih kaum perempuan Koya untuk mengolah roti bakar karena di sana tidak tumbuh tanaman gandum. Kita melatih mereka mengolah keripik pisang, keripik singkong, keripik keladi, karena di Koya bertumbuh banyak pohon pisang, singkong dan keladi. Kita tidak dapat memulai dari yang tidak dimiliki rakyat,” tegas Pastor John Djonga.*