Aji Jayapura Gelar Diskusi Kampanye Kebebasan Pers dan Perlindungan Terhadap Jurnalis di Papua
JAYAPURA, wartaplus.com - Dalam rangka peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada tanggal 3 Mei, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar kegiatan Diskusi Kampanye Kebebasan Pers dan Perlindungan Terhadap Jurnalis di Papua, berlangsung di salah satu hotel Kota Jayapura, Sabtu (21/05).
Dipandu Sekertaris AJI Jayapura, Anang Budiono, kegiatan diskusi menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Victor Mambor dari AJI Jayapura, Wakapendam XVII/Cenderawasih Letkol Inf Chandra Kurniawan, Dr Nahria Dosen Universitas Muhammadiyah Papua, dan Kasubbid Penmas Polda Papua, Kompol Agus Hariadi.
Victor Mambor dalam paparannya menyebut bahwa wartawan dalam peliputan berbagai masalah di Papua selalu menghadapi sejumlah tantangan seperti kondisi geografis Papua yang sangat luas, minimnya akses transportasi ke seluruh wilayah pedalaman dan jaringan telekomunikasi. biaya liputan yang mahal dan lainnya.
"Salah satu tantangan yang terbesar gangguan dan ancaman terhadap keamanan wartawan ketika meliput sebuah isu yang tidak disukai pihak tertentu. Misalnya kasus korupsi, unjuk rasa tentang evaluasi Otsus, dan peliputan kasus penembakan yang melibatkan institusi tertentu. Dan liputan konflik maupu politik lainnya," ungkap Victor.
Kekerasan Jurnalis
Berdasarkan catatan AJI Jayapura, rawan terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan di Papua. Jumlah kekerasan pada wartawan sejak 2006 hingga 2016 sebanyak 28 kasus. Pada tahun 2017, tercatat sebanyak delapan kasus kekerasan terhadap insan pers. Sementara pada tahun 2018, terdapat dua kasus yang menonjol. Salah satunya adalah pengusiran jurnalis BBC, Rebecca Henschke saat meliput kasus gizi buruk disertai campak yang menyebabkan 72 anak meninggal dunia di Asmat.
Dalam tahun 2019 hingga 2022 masih terjadi sejumlah kasus kekerasan dan intimidasi bagi wartawan di Papua.
"Seperti kasus doxing yang saya alami pada Agustus 2019 lalu dan pada Maret 2022, termasuk pemblokiran media suarapapua.com, dan lainnya," ungkap Victor yang merupakan pendiri tabloid Jubi Papua.
Sayangnya, aku Victor, berbagai kasus ini hanya berlalu begitu saja tanpa adanya sebuah solusi. Padahal, insan pers yang melaksanakan tugas peliputan di Papua membutuhkan dukungan advokasi ketika ada masalah di lapangan, khususnya kekerasan digital yang belakangan marak dialami oleh para jurnis di Papua, baik berupa peretasan akun pribadi juga nomor pribadi, doxing, dan serangan digital lainnya.
Jaminan keselamatan, kepastian hukum terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis menjadi penting dalam mewujudkan kebebasan pers dan menjunjung nilai-nilai demokrasi.
"Oleh karena itu melalui kegiatan ini melalui kegiatan ini sekaligus membangun komitmen bersama semua pihak guna memberikan perlindungan bagi jurnalis yang melakukan kerja-kerja jurnalistik di Tanah Papua," kata Victor.
AJI Jayapura akan menggelar kampanye kekebasan pers kepada semua pihak dan masyarakat.
"Harapannya dengan dukungan dan komitmen semua pihak, baik pemerintah, aparat keamanan TNI dan Polri, para penegak hukum, NGO, lembaga non pemerintah, insan pers, organisasi pers, dan masyarakat secara luas dapat mewujudkan kebebasan pers yang lebih baik di Papua dan di Indonesia," harapnya.
Wakapendam XVII/Cenderawasih Letkol Inf Chandra Kurniawan memberikan apresiasi dan sangat mendukung kebebasan pers di tanah Papua.
"Tentunya ke depan, semua sudah berkomitmen, nah tugas kita untuk merealisisasikannya," kata Wakapendam.
Kesulitan Konfirmasi Berita
Disinggung terkait adanya kesulitan wartawan dalam mengkonfirmasi sebuah berita ke Kodam Cenderawasih? Chandra menegaskan, ini akan menjadi masukan bagi pihaknya.
"Ini masukan buat kita dari Pendam, tapi saya pikir selama ini kita selalu terbuka terhadap wartawan. Siapapun wartawan yang mau datang ke Pendam, kita persilahkan. Bahkan sebenarnya kita juga terbantu, jika ada informasi yang belum kita tahu, malah dapatnya dari wartawan," ujar Wakapendam.
Sambutan baik juga disampaikan Dr. Nahriah. Menurut ia, ini merupakan langkah positif jika berbicara tentang kebebasan pers dan perlindungan terhadap jurnalis, terlebih pada situasi Papua yang rawan konflik dan banyak kepentingan politik yangg tentunya harus diperhatikan oleh wartawan dalam pemberitaanya.
"Ini memang membutuhkan komitmen bersama untuk mewajudkannya. Bukan hanya jurnalis, tapi masyarakat kita semua juga bertanggung jawab," tuturnya.
Di bidang akademisi, lanjut Nahriah, pihaknya berusaha mendorong apa yang bisa dilakukan kepada mahasiswa dengan memberikan pemahaman kepada mereka bagaimana kebebasan pers yang sebenarnya, kemudian membekali mereka.
"Sehingga ketika kelak mereka berkecimpung jadi jurnalis yang profesional, mereka sudah punya bekal," terangnya.
Terkait ada pembatasan peliputan terhadap jurnalis oleh aparat TNI Polri, menurut Nahriah, pada intinya di level atas sudah paham profesi jurnalis termasuk bahwa UU Pers yang menjamin kebebasan pers.
"Yang menjadi persoalan, petugas/aparat yang berada di lapangan mereka harus dibekali dengan pemahaman tentang kerja kerja jurnalis. Oleh karena itu, saya rekomendasikan pada saat proses pendidikan yang ada di TNI Polri, kurikulum sudah dimasukkan tentang kebebasan pers secara umum," pungkas Nahriah.**