Dirty Vote, Cawe-Cawe Jokowi, dan Bahaya Penolakan Hasil Pilpres 2024
Film Dirty Vote yang disutradarai Dhandy Laksono, yang diperankan tiga ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar sedang viral serta menjadi perbincangan. Izinkan saya menyampaikan urun rembug, dan ikut mendorong diskusi publik yang lebih mendidik.
Paling tidak, tawaran diskusi ini adalah cara saya memberi proteksi terhadap para pelaku pembuatan film tersebut. Karena langkah proteksi dari kriminalisasi, saat ini juga penting, bukan hanya apresiasi, apalagi caci-maki.
Dirty Vote, Better Late than Never
Tentu saja, semua pihak yang terlibat pembuatan film Dirty Vote layak mendapatkan apresiasi, karena memberikan karya yang mendidik publik, diulas dengan cara runtut dan akademik, dan pada momentum yang tepat. Pilihan waktu tayangnya, pada 11 Februari menjelang waktu pencoblosan besok di 14 Februari 2024, tentu saja adalah pilihan strategi marketing.
Dengan demikian, perpaduan antara karya apik, para pemain yang kredibel, timing, isu yang seksi, menjadi adonan lezat bagi hadirnya konten social media yang dijamin sukses dan viral. Dari sisi itu, sebenarnya tidak ada yang terlalu mengejutkan dan istimewa dengan Dirty Vote, kecuali tingkat keberanian Dandhy Laksono dan crewnya, serta Bibip, Feri, dan Ucenk—yang maaf—kali ini sedikit di atas rata-rata. Sehingga semestinya perlu ditanggapi lebih cool saja, tidak reaktif, oleh Paslon 02 khususnya.
Kenapa hanya sedikit di atas rata-rata? Karena isu kecurangan—utamanya Pilpres 2024, sekarang sudah luas menjadi perbincangan publik. Dengan intonasi dan diksi yang jauh lebih keras dan lebih pedas. Ambil saja contoh terkini, langkah koalisi LSM yang sedang melaporkan dugaan maladministrasi pembelian pesawat bekas oleh Kementerian Pertahanaan ke Ombudsman, yang hari ini diadukan resmi ke KPK. Potensi bahaya dan serangan balik fisik dan kriminalisasinya, justru lebih besar, karena coverage media dan atensi publiknya tidak sebesar Dirty Vote.
Saya kemarin menelepon sahabat Ucenk, alias Zainal Arifin Mochtar, yang juga Senior Advisor kami di INTEGRITY Law Firm. Saya katakan keyakinan, bahwa mereka akan relatif aman, karena ada public protection. Berita akan ada pelaporan ke Bawaslu dan Kepolisian oleh beberapa elemen pendukung Prabowo-Gibran, justru akan membangun sentimen perlawanan lebih besar—di samping menjadi iklan gratis yang efektif bagi Dirty Vote itu sendiri.
Saya katakan ke Ucenk, saya sendiri telah mengalami beberapa risiko “tikungan tajam” karena melakukan advokasi isu publik. Faktanya, saya tidak seberuntung dia. Sampai saat ini, sudah nyaris 9 tahun saya masih ditersangkakan kasus pembayaran paspor online, buah dari menolak Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, meski saat ini yang bersangkutan justru menjadi Kepala BIN terlama. Rekan-rekan KPK yang awalnya bersamaan menjadi tersangka, Abraham Samad, Bambang Widjajanto, Novel Baswedan, sudah lama terlepas dari jerat status hukum yang membuat mati perdata tersebut. Saya masih disandera tersangka, entah sampai kapan.
Masih banyak risiko tikungan tajam lainnya, tapi tidak akan diulas di sini, agar fokusnya bukan pada saya. Poinnya, saya meyakini para pegiat Dirty Vote akan tetap aman, sepanjang ada public protection. Sesuatu yang dalam pengalaman saya nyaris langka. Saya katakan nyaris, untuk tetap memberikan apresiasi kepada segelintir sahabat yang telah berkenan menjadi kuasa hukum dan melakukan advokasi dalam beberapa kasus hukum yang saya alami.
Saya tidak menikmati proteksi publik yang besar, karena sudah diasosiasikan sebagai bagian dari kekuasaan istana di era Presiden SBY, apalagi sejak akhir tahun lalu memutuskan menjadi caleg Partai Demokrat. Keputusan untuk tidak hanya menjadi akademisi, tetapi juga sebagai praktisi (advokat), politisi, masuk birokrasi (Stafsus Presiden dan Wamenkumham), bahkan pernah di korporasi (komisaris BUMN), bukan hanya melengkapi pengalaman saat berhadapan dengan berbagai masalah hukum, namun melahirkan tantangan dan godaan yang lebih besar, sekaligus menghadirkan persepsi partisan. Padahal selain tantangan dan godaan yang lebih nyata di depan mata bagi profesi non-akademisi, perjuangan akademik di luar, ataupun masuk ke dalam sistem, sejatinya sama-sama penting, dan butuh dukungan, sehingga selayaknya tidak dipertentangkan.
Saya tentu bersyukur, apa yang sudah kami suarakan sejak lebih setahun lalu, bahwa cawe-cawe presiden Jokowi terlalu berbahaya; bahwa pemilu, khususnya Pilpres 2024 akan dibajak oleh kepentingan dinasti dan oligarki, yang berpuncak dengan “Skandal Mahkamah Keluarga Jokowi” melalui Putusan Paman Usman untuk Gibran; bahwa Presiden Jokowi layaknya dimakzulkan karena sudah patut diduga melakukan korupsi, pengkhianatan terhadap negara, atau minimal kejahatan tingkat tinggi lainnya; dikuatkan oleh rekan-rekan seperjuangan melalui film Dirty Vote.
Seandainya kesadaran dan penolakan itu bersama-sama disuarakan setahun yang lalu, mungkin saja dampaknya berbeda. Namun, tampaknya, beberapa kita baru siuman dari pingsan dan keimanan pada Jokowi yang terlalu meninabobokkan. Baru setelah ada Putusan 90 Paman Usman untuk Gibran, yang lebih membongkar topeng planga-plongo Jokowi, beberapa kita tersadar dan bereaksi: Jokowi adalah Bukanlah Kita.
Saat ini, saya berpandangan, dampak utama Dirty Vote adalah menegaskan penolakan pada Paslon 02, utamanya pada pemilih yang sedari awal memang tidak memilih Gibran Jokowi. Tetapi, untuk menjadi faktor yang mengubah preferensi pemilih—khususnya di kelas menengah ke bawah yang menjadi basis pemilih paslon gemoy, yang telah sukses disuap dengan penyimpangan anggaran bantuan sosial, sehingga berdampak elektoral, rasa-rasanya masih sulit untuk terjadi.
Tetap saja, kehadiran film Dirty Vote terlalu penting untuk dilewatkan, dan layak disambut dengan apresiasi dan proteksi, walau agak terlambat. Bukankah, lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali, better late than never!
Cawe-Cawe
Ya! Cawe-cawe Presiden Jokowi itulah, yang merupakan kejahatan konstitusional yang merusak pondasi utama pelaksanaan Pilpres 2024, menyimpang jauh dari amanat jujur dan adil. Sebagai outgoing president, peran penting Jokowi seharusnya adalah memastikan penggantinya, sebagaimana aturan UUD 1945: dipilih langsung oleh rakyat. Melakukan berbagai upaya terstruktur, sistematis dan masif (TSM)—bahkan brutal, yang diduga dan terbaca berupaya memenangkan Paslon 02, bukan hanya dilarang, tetapi juga membuat esensi kompetisi dalam Pilpres 2024 menjadi kehilangan makna.
Peran utama outgoing president dalam Pilpres 2024 adalah menjadi wasit yang memberi jalan dan peluang setara kepada semua kandidat presiden. Sesuatu yang dengan telanjang tidak dilakukan Presiden Jokowi. Terlalu jelas bagaimana Presiden Jokowi mempunyai preferensi kepada Paslon 02, dengan anaknya Gibran Jokowi, sekaligus resistensi kepada paslon yang lain, khususnya 01. Hal yang tentunya akan dibantah dihadapan publik, tetapi terlalu jelas indikasi dan bukti petunjuknya dari berbagai momen, pemberitaan, dan analisis akademik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Masih sebagai pertanggungjawaban akademik, izinkan saya memberi catatan atas pernyataan Profesor Jimly Asshiddiqie, Ketua MKMK. Dalam salah satu podcast, Beliau mengatakan tidak ada bukti keterlibatan Presiden Jokowi dalam skandal Paman Usman untuk Gibran. Sambil mengatakan semua informasi intervensi dan pemberitaan aliran dana adalah hoax. Izinkan saya, sebagai murid Beliau, menyampaikan pandangan berbeda, tentu sebagai bentuk sayang dan penghormatan.
Profesor Jimly mungkin lupa, bahwa putusan MKMK menyimpulkan, Anwar Usman “… terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90”. Memang tidak dijelaskan siapa pihak luar itu, dan dalam podcast yang lain, Profesor Jimly enggan mengatakan siapa pihak yang cawe-cawe tersebut. Yang pasti, faktanya, dalam pertimbangan MKMK, salah satu bukti yang dijadikan landasan kesimpulan MKMK tersebut adalah investigasi jurnalistik Tempo. Jadi, mengatakan semua pemberitaan hoax, justru bertentangan dengan putusan MKMK itu sendiri.
Menurut saya, yang tepat adalah bukan tidak terbukti, tetapi tidak dapat dibuktikan, atau lebih tepat lagi, belum dapat dibuktikan, semata-mata karena keterbatasan waktu kerja dan wewenang dari MKMK. Sebagai lembaga etik, yang paham batasan kewenangannya, sehingga tidak mau membatalkan putusan 90, saya yakin Profesor Jimly tentu juga mengerti, bahwa MKMK tidak dapat menyimpulkan soal ada atau tidaknya aliran dana, yang memerlukan penyelidikan pro justitia (pidana), yang tentu saja bukan kewenangan MKMK. Sehingga, menyatakan tidak ada keterlibatan Jokowi ataupun aliran dana, apalagi mengatakan pemberitaan hoax semua, bukan hanya pendapat yang bertentangan dengan putusan MKMK sendiri, tetapi juga kesimpulan yang prematur.
Bahaya Potensi Penolakan Hasil Pilpres 2024
Bahaya yang paling saya risaukan dari cawe-cawe Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024 adalah potensi ditolaknya hasil Pilpres 2024. Saat ini, banyak pihak masih bersikap wait and see, menunggu hasil pencoblosan besok, 14 Februari. Jika paslon 02 tidak menang satu putaran, suasana masih cenderung tenang, karena ada kanalisasi aspirasi, melalui putaran kedua Pilpres di Juni 2024.
Namun, dengan berbagai indikasi modus TSM dan brutal yang dirasakan dan dipersepsikan, lalu misalnya besok Paslon 02 dinyatakan menang satu putaran, saya khawatir gelombang penolakan tidak mempunyai cukup kanal untuk dibendung dan disalurkan. Bapak Jusuf Kalla tentu saja tidak bisa dianggap remeh-temeh ketika berkomentar, kecurangan yang diungkap Dirty Vote hanya 25%, menyisakan 75% yang saya duga akan diungkap, jika diperlukan pada saatnya.
Mekanisme melalui sengketa hasil di MK memang jalur konstitusional, tetapi pasca Putusan 90, MK masih belum pulih, dan memang terlihat gamang menghadapi skandal Putusan Paman Usman untuk Gibran. Permohonan uji formil atas Putusan 90 yang saya dan Ucenk ajukan, dijawab dengan putusan konservatif, tanpa ada upaya koreksi, menyisakan persoalan logika yang terlalu mendasar: pelanggaran berat etika putusan 90, tidak berdampak pada kandidasi Gibran Jokowi. Suatu hal yang menjadi absurd, jika dikaji dari sisi logika hukum yang seharusnya linier, konsisten, normal, dan sehat.
Potensi konflik, bukan tidak mungkin terjadi, karenanya amat layak diantisipasi. Kemarin, misalnya, dalam telepon dengan sang sahabat, sempat disampaikan, dia menerima konsultasi dari tim salah satu paslon yang menanyakan konsekwensi hukum, jika besok di 14 pagi, sebelum pencoblosan dimulai, paslon mereka menyatakan mundur dari proses Pilpres 2024. Alasannya, kecurangan sudah terlalu brutal, sehingga tidak ada gunanya lagi melanjutkan kompetisi. Ke luar dari kompetisi demikian, tentu akan membawa gelombang kekecewaan yang bisa berujung konflik, karenanya teramat layak dicarikan solusi.
Itulah yang menjadi kerisauan kami dalam diskusi internal di Cikeas, pada awal Januari lalu, bahwa ada potensi penolakan hasil Pilpres 2024, karena indikasi dan persepsi kecurangan yang terlanjur menguat. Padahal di sisi lain, Wasit Utama Pilpres 2024, Sang Kepala Negara Jokowi, sudah ikut menjadi pemain yang partisan, sehingga tidak bisa lagi menjadi penjadi perekat dan pemersatu jika ada konflik yang bukan tidak mungkin terjadi.
Berbeda dengan tahun 2014, sesaat setelah hasil Pilpres yang sempat memanas, Presiden SBY bisa berperan sebagai pendingin suasana, dengan memanggil kedua paslon, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, serta meminta keduanya untuk mendinginkan pendukungnya masing-masing. Peran antisipasi potensi konflik itu dengan ceroboh telah sukses dilepaskan oleh Presiden Jokowi, melalui dugaan kejahatan konstitusional-kriminal cawe-cawenya.
Saya tidak mengharapkan potensi gelombang penolakan itu menguat dan menjadi konflik. Tetapi saya risau dan khawatir, itu terjadi tanpa antisipasi, di tengah Presiden yang tidak bisa menjadi Wasit Utama yang sewajibnya netral; MK yang belum pulih dari luka dalam Mahkamah Keluarga Jokowi; KPU dan Bawaslu yang punya problematika etik yang juga tidak sederhana; serta aparat kepolisian, TNI, BIN, yang seharusnya menjadi peredam utama konflik, tetapi sudah pula diberitakan dan dipersepsikan menjadi bagian dari tim pemenangan yang partisan.
Maka, di tengah keterbatasan kita sebagai insan yang seringkali tak kuasa mencari solusi, sangat selayaknya kita berdoa pada Yang Maha Kuasa, agar hari-hari esok Indonesia diselamatkan dari angkara murka, akibat hilangnya etika-moralitas, kebijakan dan kebajikan dari para pemimpin negara, utamanya dari Presiden Jokowi, yang ternyata: Bukan Kita. (*)
Banjarbaru, Kalsel, Sehari Menjelang 14 Februari 2024
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara
Senior Partner INTEGRITY Law Firm