Tragedi Kemanusiaan di Papua Mencapai Titik Puncak: Otsus Gagal Total, Jakarta Lebih Prioritaskan Palestina, Legitimasi Negara Terancam
Arkilaus Baho/Istimewa
JAYAPURA,wartaplus.com - Tanah Papua, yang dikenal sebagai mutiara timur Indonesia berkat kekayaan alamnya yang melimpah, kini justru berlumuran air mata dan darah akibat tragedi kemanusiaan yang tak kunjung usai.
Data terbaru dari berbagai laporan hak asasi manusia menunjukkan gelombang pengungsian internal (IDPs) telah mencapai skala darurat, membuktikan kegagalan sistemik negara dalam melindungi warganya. Sementara itu, perhatian elit politik di Jakarta tampaknya lebih terfokus pada isu internasional seperti Palestina, meninggalkan krisis di wilayah kedaulatan NKRI ini terabaikan.
Menurut laporan Human Rights Monitor dan Suara Papua pada Oktober 2025, lebih dari 102.966 warga sipil telah mengungsi di berbagai kabupaten Papua akibat operasi militer dan konflik bersenjata. Angka ini mencakup 60.000 Orang Asli Papua (OAP) dari Intan Jaya dan Puncak yang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Di Nduga, 80.709 OAP masih bertahan dalam pengungsian hingga Agustus 2025, sementara Yahukimo mencatat rekor tragis dengan sekitar 100.000 OAP mengungsi. Pegunungan Bintang menyaksikan 80.000 OAP terusir sejak 2024, dan di Maybrat, 6.000 OAP masih terkatung-katung dalam ketidakpastian.
"Ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah potret nyata dari ribuan jiwa yang kehilangan segalanya: rumah, mata pencarian, pendidikan, dan martabat. Ini adalah bukti kegagalan negara dalam menjamin hak dasar hidup dan keamanan bagi warganya di Papua," ujar Arkilaus Baho, aktivis dan penulis yang fokus pada isu ekonomi-politik serta hak-hak masyarakat adat Papua, Minggu (2/10/2025) sore.
Baho, yang juga penggagas Dewan Rakyat Papua (DRP) dan pernah menjabat sebagai juru bicara Partai PRIMA di Papua, telah lama mengkritik kebijakan pusat melalui berbagai platform, termasuk media sosial.
Otonomi Khusus: Solusi yang Berubah Jadi Ilusi Gagal Total
Otonomi Khusus (Otsus) Papua, yang digadang-gadang sebagai 'solusi pamungkas' sejak diberlakukan lebih dari dua dekade lalu, kini terbukti mandul. Dengan alokasi dana mencapai Rp 94,24 triliun dari 2001 hingga 2021, program ini gagal memberdayakan OAP dan justru memperburuk kondisi sosial-ekonomi. Alih-alih kemakmuran, Otsus menjadi saksi bisu atas pengusiran massal, kemiskinan ekstrem yang mencapai 33,82% di Yahukimo, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia, serta prevalensi stunting yang mengkhawatirkan di 43,6% di Yahukimo.
Laporan Bappenas dan BPS menegaskan bahwa Otsus belum mampu mengurangi kemiskinan ekstrem atau meningkatkan IPM, dengan Papua tetap menjadi provinsi termiskin di Indonesia. Bahkan pada 2025, dana Otsus tahap pertama untuk Papua belum cair hingga akhir April, menunda program pelayanan publik yang bergantung padanya.
"Otsus tidak hanya gagal menyelesaikan akar masalah konflik, tetapi ironisnya, justru menjadi saksi bisu atas pengusiran massal dan penderitaan yang terus berlanjut. Ini adalah tamparan keras bagi narasi pembangunan dan perdamaian yang selama ini digaungkan Jakarta," tambah Baho.
Paradoks Kebijakan: Saat Papua Berdarah, Jakarta Fokus ke Palestina
Di tengah krisis akut ini, perhatian pemerintah pusat justru tampak terbelah. Pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada 30 Oktober 2025 tentang rencana investasi 15.000 hektare lahan pertanian di Kalimantan Utara untuk Palestina menjadi sorotan tajam. Meski dimaksudkan sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan, inisiatif ini dikritik karena mengabaikan kelaparan di Nduga dan wilayah konflik lainnya, di mana ribuan OAP bergantung pada bantuan darurat.
"Negara lebih peduli pada 'semut di seberang lautan' (Palestina) daripada 'gajah di depan mata' (Papua) yang sedang mati kelaparan di bawah naungannya sendiri," kritik Baho. "Apakah nyawa OAP tidak seberharga nyawa bangsa lain di mata pemimpin negeri ini?"
Analisis kritis dari Human Rights Watch dan Project Multatuli menunjukkan bahwa kegagalan ini bukan sekadar kesalahan kebijakan, melainkan pembatalan kontrak sosial negara. Hal ini mengikis legitimasi legal-rasional dan moral NKRI, serta menunjukkan kegagalan dalam menyelenggarakan hak penentuan nasib sendiri secara internal.ca3b8dc53583
Seruan Mendesak: Waktunya Perubahan Paradigma
Menghadapi situasi yang semakin memburuk, para aktivis dan pengamat mendesak perubahan fundamental dari pemerintah pusat. Beberapa rekomendasi utama meliputi:
Prioritaskan Dialog Damai Inklusif: Segera inisiasi dialog tanpa syarat melibatkan semua pihak, termasuk TPNPB-OPM, pemimpin adat dan agama, pemerintah pusat-daerah, serta masyarakat sipil, difasilitasi pihak netral kredibel.
Tegakkan HAM dan Akuntabilitas: Lakukan investigasi independen terhadap pelanggaran HAM oleh semua pihak, adili pelaku, dan akhiri impunitas.
Jamin Akses Kemanusiaan: Buka akses tanpa batas bagi organisasi kemanusiaan, media, dan lembaga internasional; tetapkan jeda kemanusiaan untuk bantuan dan evakuasi sipil.
Kelola SDA Adil: Terapkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam proyek investasi, pastikan manfaat adil bagi masyarakat adat.
Pergeseran Pembangunan: Alihkan dari pendekatan keamanan ke model berpusat manusia, partisipatif, yang atasi kemiskinan dan ketidaksetaraan. "Ketika sebuah negara-bangsa gagal pada tingkat paling fundamental, rakyat yang diabaikan berhak bahkan wajib untuk mempertimbangkan kembali fondasi hubungan politik mereka," tegas Baho. "Jangan biarkan tragedi ini terus berlanjut, karena sejarah akan mencatat kegagalan kita semua."
Situasi di Papua memerlukan respons segera dari Jakarta untuk memulihkan kepercayaan dan mencegah eskalasi lebih lanjut. Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah pusat terkait seruan ini.*


