Otsus Berakhir, Tiga Tokoh Papua Kasih Solusi
MANOKWARI-Inilah pendapat dan solusi dari tiga tokoh asli Papua di kabupaten Manokwari tentang akan berakhirnya Undang-undang 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus pada tahun 2021 mendatang. Tiga tokoh ini dari lembaga DPR, lembaga kultur MRP dan akademisi hukum.
Di antaranya Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum(STIH) Kabupaten Manokwari, Filep Wamafma mengatakan bahwa polemik berkahirnya undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus terus berkembang di kalangan elit politik, lembaga masyarakat adat, birokrasi, lembaga kultur yang kian menjadi wacana itu dan viral ke publik.
Filep Wamafma berpendapat, sesuai aturan hukum dalam sebuah produk hukum di negara ini perlu direvisi ketika ada masalah atau perbaikan dari suatu produk hukum seperti bab, pasal dan ayat. Kemudian kalau ada kata penolakan Otsus, maka harus disertai dengan solusi.
Kaitan dengan UU otsus, Filep berpendapat bahwa sejatinya akan berakhir pada tahun 2021. Dalam artian tentu ada revisi dalam satu produk hukum, terutama UU Otsus bukan saja membicarakan tentang persoalan tanah Papua, namun didalamnya mengatur juga tentang dana Otsus yang kini menjadi perdebatan publik.
Revisi
Oleh karena itu, kalau pun ada pihak yang mengklaim agar tidak direvisi sangat salah, sebab melalui revisi suatu produk hukum akan mengetahui keberhasilan, kelebihan dan kekurangan. Sebaliknya kalau tidak direvisi, maka akan menjadi penafsiran lain, bahkan menjadi pertanyaan besar, khususnya tentang penggunaan dana Otsus itu sendiri.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum(STIH) Kabupaten Manokwari, Filep Wamafma/Istimewa
"Revisi kembali undang-undang Otsus tersebut agar jangan menjadi polemik di tengah rakyat Papua, sebab dana Otsus terus menjadi masalah di tanah Papua, terutama penggunaan tanpa diketahui masyarakat Papua, maka mau tidak mau harus direvisi sehingga diketahui" ucap Wamafma, Senin (12/8).
Menurut dia, revisi itu harus terpisah antara pemerintah Papua Barat dan Papua, sebab dana Otsus diperuntukkan kepada tanah Papua, namun penggunaan UU Otsus itu berbeda dari dua administrasi pemerintahan.
Bahkan pertanggung jawaban dana itu harus berbeda, maka sesuai hemat dan saran pendapat Wamafma bahwa, Gubernur Papua Barat, MRP PB, DPR, Biro Hukum, semua OPD provinsi, para kepala daerah di kabupaten, kota, akademisi, perwakilan mahasiswa, dan masyarakat adat dipertemukan membahas masalah UU Otsus sebelum berakhirnya Otsus tersebut.
Lebih lanjut, Wamafma mengatakan, setelah revisi di daerah, maka harus ada solusi tentang UU Otsus ini, apakah berlanjut atau tidak. "Jadi setelah mendapat formulasinya, maka dibuat dalam satu dokumen dan dilanjutkan ke pemerintah pusat untuk dilaporkan,"katanya lagi.
Ketua Fraksi Otsus DPR Papua Barat, Yan Anthon Yoteni/Istimewa
Terpisah Ketua Fraksi Otsus DPR Papua Barat, Yan Anthon Yoteni juga berpendapat bahwa dalam pertemuan qo Vadis pada Maret 2018 lalu di Jakarta sudah dibahas tentang Otsus, bahkan dalam pertemuan itu dihadiri pemprov Papua, Pemprov Papua Barat, MRP Papua, MRP Papua Barat, DPR Papua, DPR Papua Barat.
Kata Yoteni, pertemuan itu difasilitasi oleh menteri dalam negeri. Bahkan inti dari pertemuan itu semua sepakati bahwa otsus berlanjut. Untuk itu, Yoteni berpendapat bahwa UU Otsus harus dilanjutkan dan perlu dievaluasi.
Secara terpisah, Ketua MRP Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren, pada Selasa (13/4), menerangkan bahwa penolakan revisi UU otsus tidak perlu dilakukan di daerah, sebab DPR RI dan presiden yang harus evaluasi.
Kaitan dengan kewenangan MRP, kata Maxsi Ahoren, sangat terbatas dalam pengawasan, maka silahkan lakukan revisi oleh DPR RI dan presiden. Sedangkan ada kekuatiran oleh publik bahwa kata penolakan karena ada ketakutan dengan audit dana, padahal persepsi itu berbeda, sebab MRP bukan melihat dari sisi anggaran tetapi dari sisi kebijakan didalam UU otsus tersebut.
Dia juga menyampaikan bahwa pertemuan MRP Papua dan MRP Papua Barat di Jayapura belum lama ini untuk membahas tentang Peraturan pemerintah nomor 35 tahun 2008, termasuk meminta pendapat tentang draf rancangan Undang undang Otsus plus di Papua yang harus digunakan sebagai pengganti UU 21/2001.*