SEMUA orang tahu bahwa polisi dan tentara hadir di Papua untuk melaksanakan fungsi keamanan nasional (Kamnas) atau national security (S) yang terdiri atas aspek defense – itu tugasnya tentara dan aspek security (s) atau kamtibmas - itu tugasnya polisi. Jika tugas ini berjalan baik maka tercipta keamanan insani, keamanan publik/masyarakat sampai pada keamanan bangsa dan negara.
Apabila situasi di Papua menjadi aman dan kondusif, maka upaya memajukan kesejahteraan bersama, mencerdaskan kehidupan bersama melalui pendidikan dan pembangunan karakter akan dengan sendirinya berjalan lancar dan berhasil.
Namun demikian, semua orang tahu bahwa Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) ini, sejak tahun 1960-an sudah dikenal sebagai sebuah wilayah konflik dan kekerasan yang (hampir) tak berkesudahan. Dikhawatirkan, semua orang (tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, aliran politik, jenis kelamin dan profesi apapun ) yang menghuni Tanah Papua akan sama-sama tiba pada satu titik yang sama yakni titik kejenuhan! Rasa lelah, bosan dan putus asa!
Kejenuhan dapat memunculkan kreativitas baru menuju suatu kebaikan bersama, tetapi dapat juga sebaliknya yaitu orang menjadi emosi, kalap dan brutal yang melahirkan kekerasan demi kekerasan yang sangat mengerikan yang akhirnya mengorbankan jiwa-raga, harta benda serta alam raya!
Polisi dan Tentara di Papua
Masyarakat di Papua - sama seperti masyarakat di daerah lain - berharap agar polisi mampu mewujudkan rasa dan kondisi aman yang “tata tentram karta dan raharja”. Selain itu, masyarakat pun berharap pelayanan yang baik dan selalu lebih baik serta selalu lebih baik terus.
Kadang, dalam memberikan pelayanan, polisi sendiri menyadari keterbatasan personil di lokasi pelayanan itu, namun masyarakat sendiri pun tidak mau mengerti kalau kendala itu dijadikan alasan ketidak mampuan polisi untuk menjalankan tugas pokoknya dengan baik.
Hal yang sama terjadi juga pada tentara. Mereka dituntut habis-habisan untuk melaksanakan tugas pembinaan teritorial (Binter) untuk mengayomi dan membina warga yang dilayaninya sehingga memiliki kasadaran keamanan lingkungan. Mereka harus dapat menghayati tugas dan kewajibannya, mahir berkomunikasi, dan piawai melakukan pendekatan kepada warga.
Binter adalah derivasi dari sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Fungsinya mengubah potensi menjadi kekuatan di bidang hankam, termasuk potensi sumber daya manusia (SDM) demi menghasilkan kesararan bela negara sebagai conditio sine qua non dalam Sishankamrata. (Kiki Syahnakri dalam “Teropong Prajurit TNI” Hal.228-229).
Tentara dan polisi di Papua sama-sama menyadari bahwa berperang dengan menggunakan kekuatan senjata atau hard power tidak lagi efisien, kuno alias “jadul” dan berisiko tinggi. Untuk “zaman now” – hari ini, penggunaan soft power melalui pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan, pendekatan dari Hati ke Hati, mengembangkan informasi positif, melestarikan tradisi dan budaya Papua jauh lebih bermanfaat dan diterima oleh seluruh rakyat Papua dimanapun mereka berada.
Kekuatan senjata hanya digunakan sebagai alternatif paling akhir manakala penggunaan soft power mengalami jalan buntu. Sebaliknya, membangun semangt bergotong royong, kekeluargaan, solidaritas, persaudaraan dan toleransi melalui karya-karya nyata dan praktis di tengah dan bersama rakyat akan dengan sendirinya menghentikan konflik dan kekerasan itu.
Namuan, kenyatannya, jauh panggang dari api! Sepertinya, polisi dan tentara “jalan sendiri” sementara para penyelenggara pemerintahan yang adalah manusia yang seharusnya terlebih dulu memiliki kesadaran bela negara yang tinggi, terlihat bersikap masa bodoh sekaligus beranggapan bahwa persoalan keamanan di Papua merupakan urusannya polisi dan tentara yang bertugas di Papua. Polisi dan tentara adalah bagaikan “pemadam kebakaran” – diminta hadir jika telah terjadi kekerasan berskala besar. Dipanggil datang ke lokasi jika “air sudah di batang leher”.
Pengalaman di Papua membuktikan bahwa Pemerintah (Negara) baru hadir secara nyata dan terlihat sibuk, mondar-mandir kesana-kemari, membuka kantor sementara di Papua, kirim utusan ke Papua, datang secara berjemaah ke Papua, mungkin tanpa berita dan untuk hanya satu-dua hari, setelah itu (mungkin) pulang tanpa pamit, manakala di Papua telah mati terkapar dan berserakan mayat manusia dalam jumlah ratusan orang.
Suatu kejadian di Papua, dimana warga setempat mati satu-dua orang, bulan ini mati lima orang dan bulan berikut mati delapan orang lagi, tiga bulan kemudian dua saudara kita di hutan mati kena tembak, berselang satu minggu kemudian, tiga atau empat orang tentara atau polisi tertembak peluru tajam, semua itu dianggap lumrah, biasa-biasa saja. Itulah nasib!
Malah dikatakan, wajar saja, ya.. namanya saja Papua – daerah konflik sehingga manusia mati terkapar atau mati karena bencana alam atau non alam seperti itu, bukanlah kabar yang menyejutkan. Orang-orang di daerah, polisi dan tentara di Papua masih bisa menanganinya. Biarkan saja, tinggal tunggu laporan dari Papua saja!
Sepertinya, orang sudah tahu bahwa terdapat tiga kelompok warga di Papua yang jika mati terkapar secara rutin dianggap biasa-biasa saja dan itu diterima sebagai nasibnya. Ketiga kelompok itu adalah: saudara-saudara kita yang masih bertahan hidup di hutan belantera, polisi- tentara dan karyawan Freeport.
Karena minimnya kesadaran para elit pemerintahan negara ini maka Papua menjadi seperti hari-hari ini. Negara terasa absen dari masalah Papua padahal salah satu masalah latent di Papua adalah Keamanan! Ada kesan kuat, Negara menyerahkan urusan keamanan hanya kepada polisi dan tentara di Papua (walaupun polisi dan tentara adalah juga bagian dari Negara) padahal Negara (menurut Max Weber) adalah organisasi yang terdiri dari sejumlah lembaga yang dipimpin dan dikoordinasikan oleh kepemimpinan negara (kekuasaan eksekutif).
Patut dicamkan bahwa Negara sebagai lembaga yang diciptakan untuk mengatur pemerintahan, memiliki sekelompok instrumen dan komponen sebagai badan yang mengatur dan mengelola pemerintahan, baik yang berstatus sipil maupun militer ( Jamal Beke,dkk :”Netralitas Yang Semu” hal.43)
Bagaimanapun juga peran Negara sangatlah menentukan bagi pencapaian kemuliaan manusia, kesejahteraan, keadilan dan kedamaian abadi di Tanah Papua. Negara yang kuat (strong state) ditunjukkan dengan kemampuan penyelenggara Negara hari ini dalam melaksanakan tugas-tugas itu, sementara negara yang lemah menunjukkan kemampuan sebaliknya. Negara harus memainkan peran penting terkait keamanan abadi di Tanah Papua hingga di kampung-kampung yang terpencil sekalipun!
Kenyataan hari ini, apakah Negara sudah dengan jujur melaksanakan (secara berkesinambungan tanpa kenal lelah) berbagai inisiatif untuk perdamaian abadi di Tanah Papua? Kapan Negara peduli pada saudara-saudara yang masih berbeda haluan ideologi politiknya? Apakah kita semua mau terus-menerus hidup seperti ini?
Kapan Negara merangkul mereka sebagai sesama manusia ciptaan Allah Maha Besar yang berdiri sama tinggi- duduk sama rendah- tidur sama rata yang juga memiliki kebutuhan yang sama dengan kita yakni : butuh hidup yang aman, butuh usia yang panjang, butuh hidup sehat dan sejahtera, butuh di-orang-kan, butuh disapa – diterima sebagai Saudara sekandung, butuh hidup damai dalam harmoni? Ataukah sebaliknya, kita terus-menerus, dari tahun ke tahun bersikap masa bodoh dengan nasib hidup mereka, sekaligus menganggapnya sebagai musuh bebuyutan abadi hingga masuk ke liang lahat?
Banyak kalangan menganggap konflik dan kekerasan di Papua hanyalah ekspresi lokal yang meminta perhatian pemerintah pusat, tetapi jauh lebih banyak kalangan yang memandang konflik dan kekerasan di Papua yang tidak berkesudahan ini, sebagai masalah sangat serius yang dapat mengakibatkan disintegrasi. Anggapan bahwa permasalahan keamanan di Papua hanyalah merupakan ekspresi lokal, mencari perhatian pemerintah pusat, merupakan “penyederhanaan” atau menyepelehkan masalah yang latent ini!
Sangat sedikit jumlah para elite politik di tingkat Pusat (eksekutif, legislatif maupun Partai Politik) yang secara berani dan jujur menampilkan sikap kenegarawan dalam menyelesaikan permasalahan keamanan di Papua. Dan bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa banyak politisi kita di lembaga legislatif yang sering kali memberikan komentar di media massa terkait permasalahan keamanan di Papua terkesan seolah-olah mereka sangat berpihak dan membela habis-habisan nasib masyarakat Papua padahal komentar itu merupakan polesan “lipstik indah di bibir” sesaat saja, hanya untuk kepentingan politik sesaat pula, dan hanya ingin mengatakan kepada rakyat yang telah memilihnya saat pesta demokrasi Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) siklus lima tahunan kemarin, bahwa “Saya masih ada di Senayan – jangan lupa, nanti pilih saya lagi” ketimbang bertekad menyelesaikan permasalahan Papua yang latent ini secara jujur, tuntas dan menyeluruh!
Nasib Polisi dan Tentara di Papua
Jika kita hanya menaruh harapan di pundak polisi dan tentara yang saat ini bertugas di daerah konflik Papua untuk mengelola situasi keamanan yang selalu fluktuatif (selalu berubah-ubah dalam ketidakpastian) ini, maka hal itu “bagaikan kerbau menanduk anaknya sendiri”. Bagaimana pun juga keamanan di daerah konflik Papua merupakan tanggungjawab bersama seluruh komponen bangsa dan negara ini.
Menugaskan polisi dan tentara di Papua tanpa memberikan kebijakan khusus, kewenangan luas terkait penangangan konflik itu, maka sampai kapanpun mereka yang bertugas di wilayah konflik ini akan sulit menemukan titik keberhasilan yang optimal.
Negara tidak boleh berpikir bahwa dengan menempatkan petinggi TNI dan Polri di Papua yakni Kepolda dan Pangdam yang adalah Orang Asli Papua (OAP) maka dengan serta merta permasalahan keamanan di Papua akan tuntas?
Jika hanya fisiknya Orang Asli Papua saja tanpa memberikan kewenangan lebih dan tanpa didukung anggaran yang memadai serta keberpihakan yang jujur kepada program yang diajukan dari Papua untuk pencapaian keamanan wilayah ini, maka sampai kapanpun keamanan di Papua akan “berjalan di tempat” malahan semakin tidak pasti.
Selain itu, jika Negara hanya menempatkan (menugaskan) polisi dan tentara di Papua tanpa memperhatikan secara sungguh-sungguh dan berkesinambungan nasib dan masa depan polisi dan tentara itu bersama keluarganya maka jangan terlalu berharap mereka yang ditugaskan itu akan bekerja secara secara maksimal dan optimal.
Selama program kerja, kewenangan dan anggaran keamanan di Papua sama atau perbedaannya tipis atau disebut “11 – 12” dengan Polda dan Kodam lainnya di Indonesia maka kita tidak perlu berharap terlalu banyak akan keberhasilan penanganan keamanan di daerah konflik Papua ini.
Banyak personil polisi dan tentara mendapat penugasan di Papua namun keluarga mereka berada di luar Papua. Apakah Negara, misalkan, pada masa pandemi Covid-19 ini, memperhatikan keselamatan keluarga-keluarga mereka yang berada di sebarang itu?
Apakah polisi dan tentara yang sedang bertugas di Papua hari ini, tidur nyenyak tanpa memikirkan nasib keluarganya yang nun jauh disana ketika pandemi Covid-19 melanda dunia ini? Apakah keluarga polisi dan tentara yang berada di seberang sana, juga tidur nyenyak dikala mengingat suami atau anak atau saudara mereka yang bertugas di daerah konflik Tanah Papua yang tingkat keamanannya sering berubah dan bergejolak ini?
Apakah Negara memperhatikan dan memberikan penghargaan yang wajar seperti memberikan kesempatan ikut pendidikan, pelatihan, kenaikan pangkat dan peningkatan kesejahteraan bagi personil polisi dan tentara yang sedang berjibaku mengjaga keamanan di daerah konflik Papua? Jangan sampai Negara bersikap masa bodoh terhadap hal ini, sementara Negara menuntut mereka harus menyerahkan jiwa-raga seutuhnya demi sebuah tujuan dan cita-cita mulia!
Sebaliknya, pada hari ini dengan mata telanjang masyarakat mengetahui bahwa jika terjadi kenaikan pangkat dan pergantian jabatan serta perpindahan tugas baru bagi polisi dan tentara yang diumumkan Mabes Polri arau Mabes TNI, maka mereka yang mendapatkan promosi kenaikan pangkat dan penugasan baru itu adalah polisi dan tentara yang bertugas di luar Papua khususnya mereka yang mungkin setiap hari dikenal dan berada di sekitar atau punya relasi baik dengan para petinggi TNI dan Polri yang adalah pengambil keputusan. Lantas, bagaimana dengan nasib polisi dan tentara di Papua?
Masih segar dalam ingatan, kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Papua pada beberapa bulan lalu. Sebelum meninggalkan Papua khususnya Jayapura, Presiden menyapa Kapolda Papua Irjen Pol.Drs Paulus Waterpauw. Presiden memberikan apresiasi yang tinggi kepadanya sebagai salah satu Anak Asli Papua yang menjadi “orang nomor satu” di Polda Papua yang berhasil mengkoordinir keamanan sebelum dan selama kunjungan Presiden di Papua. Selain memberikan apresiasi, Presiden pun berikan semacam “janji” (jika keliru mohon dikoreksi) yaitu apabila Papua tetap aman, maka Paulus Waterpauw diberikan penghargaan (saat itu masyarakat langsung menduga, mungkin sebentar lagi Pak Paulus Waterpauw akan mendapatkan promosi keanaikan pangkat satu Bintang lagi).
Mendengar ucapan Presiden Jokowi saat itu, Penulis langsung terkejut sambil bertanya di dalam hati:”Apakah keamanan di Papua ini hanya merupakan tanggungjawab seorang Paulus Waterpauw saja? Seandainya situasi kemanan di Papua ke depannya tetap tidak aman, apakah janji itu tetaplah tinggal janji?”
Sepertinya, banyak orang mengira, bahwa apabila institusi polisi dan tentara di Papua dipimpin oleh Orang Asli Papua maka masalah keamanan akan tuntas. Pemikiran atau pemahaman seperti ini cukup jauh dari kenyataan hari ini.
Menempatkan seorang putra daerah untuk memimpin institusi keamanan di Papua tanpa memberikan kewenangan dan tanggungjawab memadai termasuk penganggaran dan aspek-aspek pendukung lainnya bagi mereka untuk mengelola keamanan itu sendiri, maka apa yang diharapkan itu akan sulit digapai dengan hasil yang optomal.
Kapan Negara memberikan kepercayaan yang tulus dan kewenangan penuh serta lebih luas kepada Irjen Pol.Paulus Waterpauw dan Mayjen TNI Herman Asaribab untuk sebagai Anak Asli Papua duduk berdialog, bicara dari hati ke Hati dengan saudara-saudaranya sendiri, baik di kota, kampung, hutan belantera dan dimana saja berada demi tercapainya perdamaian abadi di Tanah Papua? Dan kapan pula Negara memberikan “pengharagaan” yang setimpal kepada polisi dan tentara yang berjibaku siang dan malam menjaga keamanan di Tanah Papua yang kondisi keamanannya berbeda dengan kondisi keamanan di provinsi lain di Indonesia ini?
Selama ada sikap setengah hati, kurang percaya, curiga, tidak menghargai dan sedikit meremehkan polisi dan tentara yang berkeringat dan bersimbah air mata demi Papua yang aman, maka selama itu juga kondisi keamanan di Papua tetap fluktuaitf, korban terus berjatuhan dan masyarakat Papua pun akan tetap terpinggirkan dalam seluruh perjalanan kehidupan Berbangsa dan Bernegara Indonesia!
Keberhasilan tugas polisi dan tentara di daerah konflik bersenjata seperti Papua, bukan terletak pada sudah berapa pucuk senjata yang dirampas atau diserahkan kepada aparat keamanan, tetapi sudah berapa orang warga yang kamu rebut Hati dan pikirannya untuk berlayar bersamamu sebagai Saudara sekandung di dalam satu biduk yang sama menuju ke pelabuhan yang sama!
Jangan sampai, pada satu ketika, nyanyian merdu penuh gegap gempita : “Dari Sabang – sampai Merauke, berjajar pulau-pulau, sambung –menyambung menjadi satu, itulah Indonesia”...hanyalah sebuah nyanyian nostalgia penuh kenangan pahit yang akan terus hanyut mengarungi lintasan samudera zaman!
Pelajaran Mulok di Papua
Seorang ibu guru di sebuah sekolah dasar tahu bahwa anak-anak muridnya pada hari ini sudah membaca informasi terbaru melalui media sosial tentang kenaikan pangkat dan jabatan serta penugasan baru polisi dan tentara yang diumumkan Mabes Polsi dan Mabes TNI di Jakarta. Karena itu, ibu guru mau menguji muridnya, apakah murid-muridnya tahu bahwa pada daftar polisi dan tentara yang naik pangkat itu, terdapat juga nama polisi dan tentara yang bertugas di Papua. Pertanyaan tertulis pun diberikan dan Bu Guru meminta agar jawaban harus singkat, padat dan jelas, serta tidak bertele-tele:
Bu Guru: Pangkat apa yang dianugerahkan kepada polisi dan tentara yang bertugas di Papua?
Murid : Anumerta!
Bu Guru: Jenis penghargaan apa yang diberikan kepada polisi dan tentara yang bertugas di Papua?
Murid : Karangan Bunga duka!
Bu Guru: Ucapan paling indah apa yang disampaikan kepada keluarga polisi dan tentara yang bertugas di Papua?
Murid: Turut Berbelasungkawa!
Bu Guru: Penghormatan apa yang diberikan kepada polisi dan tentara yang bertugas di Papua?
Murid: Penghormatan terakhir!
Sepulangnya anak murid itu ke rumahnya, ibu anak itu melihat anaknya hari ini begitu riang gembira sambil menunjukkan hasil ujiannya dengan nilai: 100.
Ibu anak itu setelah membaca kertas hasil ujian anaknya, langsung bertanya, Nak, pelajaran apa lagi yang diuji Bu Guru hari ini? Nilainya 100, ya?
Anak: Pelajaran ini namanya “Mulok”, Mama, artinya Muatan Lokal Papua.
Ibu: Anak Mama, memang Pinter! Kamu minta makan singkong, hari ini ibu beri keju, yaaa...!
Anak: Lho, Mama.... bagaimana mungkin, aku minta singkong, diberi keju?
*Peter Tukan : Wartawan aktif 1980-2010
(Bertugas di Timor Timur : 1992-1997. Di perbatasan Indonesia – Timor Leste 1997-2006)