Menyuarakan Keadilan Tidak Sama dengan Makar atau Kriminal
JAKARTA,wartaplus .com - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendorong penegak hukum mengedepankan pendekatan persuasif, humanis, dan strategis, dalam menyelesaikan berbagai dugaan diskriminasi hukum terhadap tujuh orang pemuda Papua yang didakwa 5-17 tahun di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur. Sehingga tidak memicu timbulnya konflik lanjutan yang bisa menimbulkan gejolak. Tujuh orang pemuda Papua tersebut dijerat atas dugaan makar dalam aksi demonstrasi anti rasisme pada Agustus 2019 lalu.
"MPR RI terus terlibat membantu saudara-saudara kita yang menyuarakan keadilan sosial terhadap Papua agar tak mendapatkan diskriminasi hukum. Menyuarakan keadilan tak sama dengan makar ataupun tindakan kriminal. Salah satunya melalui MPR RI FOR PAPUA yang diketuai Yorrys Raweyai, MPR RI telah mengunjungi Surya Anta dan lima mahasiswa Papua yang di tahan di Mako Brimob pada November 2019 lalu. Alhamdulilah berkat kerja keras semua pihak, keenam saudara kita tersebut yakni Surya Anta Ginting, Anes Tabuni alias Dano Anes Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge, telah dibebaskan pada Mei 2020,"ujar Bamsoet saat menjadi keynote speaker dialog virtual 'Rasisme Vs Makar', di Jakarta, Sabtu (13/6).
Turut serta secara virtual antara lain anggota MPR RI FOR PAPUA antara lain Yorrys Raweyai, Filep Wamafma, Robert Kardinal, dan Willem Wandik. Hadir pula Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw, Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih Elvira Rumkabu, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Latifah Anum Siregar, dan praktisi hukum Piter Ell. Ketua MPR RI juga menyampaikan apresiasi yang luar biasa kepada Kapolda Papua Paulus waterpaw yang juga putra daerah atas kerja keras tanpa kenal lelah dalam menjaga situasi Papua, sehingga tetap konsusif. “Saya dukung jika suatu saat Kapolri menambah satu bintang lagi di pundak Paulus. Agar ada kebanggaan, ada putra Papua jenderal bintang tiga,” ujar Bamsoet.
Foto: Yorrys Raweyai, Bambang Soesatyo, Robert Kardinal/Andy
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menjelaskan, tahun lalu pernah terjadi insiden 'asrama Papua di Surabaya' yang berawal dari kesalahpahaman dugaan perusakan bendera merah putih. Namun karena tidak dikelola dengan baik, insiden tersebut malah memicu timbulnya konflik yang berujung pada kasus tindakan ujaran rasisme terhadap mahasiswa Papua.
"Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah kesenjangan antara vonis terhadap aparatur sipil negara di Surabaya yang melakukan ujaran rasisme dan mendapat vonis 5 bulan penjara, dinilai kontras dengan tuntutan pendemo kasus rasisme yang dituntut hukuman hingga belasan tahun penjara dengan tuduhan makar," jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini berharap, agar proses peradilan berjalan transparan dari hulu ke hilir. Prinsip penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri harus berjalan. Due process of law, menegaskan prinsip legalitas hukum, termasuk di dalamnya adalah adanya jaminan perlindungan hak-hak hukum setiap warga negara.
"Demikian juga kasus makar, perlu kehati-hatian. Diperlukan pikiran yang terbuka sehingga dapat melihat segala persoalan dari berbagai sudut pandang, sehingga melahirkan putusan yang benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat," tegas Bamsoet.
Mantan Ketua DPR RI ini mengingatkan, isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) adalah isu yang sensitif, bahkan bagi negara yang sangat matang kehidupan demokrasinya seperti Amerika Serikat. Kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi kulit putih yang berujung pada kematian seorang warga kulit hitam, George Floyd, telah menyulut gelombang demontrasi besar-besaran hingga menimbulkan kerusuhan di beberapa wilayah di Amerika.
"Kita jauh lebih beruntung karena memiliki Pancasila yang mampu mempersatukan berbagai perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan. Namun kita tetap harus waspada, karena tak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang berusaha menjadi provokator, memanfaatkan kejadian di Amerika untuk menyulut emosi publik yang dapat mengganggu kedamaian di Papua khususnya dan Indonesia umumnya," tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI dan Pemuda Pancasila ini menambahkan, dari berbagai aksi kekerasan dan kerusuhan yang terjadi di Papua, pihak yang paling menderita adalah rakyat. Korban materi dan terutama korban jiwa, jangan dilihat dari aspek kuantitas, karena setiap nyawa adalah bagian tak terpisahkan dari jiwa bangsa Indonesia.
"Kehadiran MPR FOR PAPUA diharapkan menjadi generator membangun dialog yang lebih produktif dalam penyelesaian berbagai persoalan di tanah Papua. Sehingga bumi Cenderawasih dengan kekayaan alam dan keragaman budaya ibarat permata khatulistiwa, dapat terus menjadi bagian dari keindahan Indonesia. Indonesia tanpa Papua bukanlah Indonesia. Menjaga kedamaian Papua adalah bagian tak terpisahkan dari upaya mensejahterakan rakyatnya. Indonesia tanpa Papua, bukanlah Indonesia,"pungkas Bamsoet.
Protes Keras
Sementara itu DR Pieter Ell, SH selaku Koordinator Petisi 150-an tokoh Papua mengaku senang telah menyampaikan soal petisi kepada Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam dialog virtual 'Rasisme Vs Makar'. “Setidaknya kami sudah menyampaikan ada ketidakpuasan soal ini maka timbulah petisi ini,”tandasnya.
Foto: DR Pieter Ell, SH/Andy
Dikatakan, protes keras atas tuntutan hukuman makar terdakwa Buctar Tabun dan kawan-kawan, mengingat penegakan hukum dan HAM di tanah Papua menurutnya masih diskriminatif.
"Penegakan hukum dan HAM di Tanah Papua yang masih diskriminatif terhadap korban dibandingkan dengan pelaku rasisme Tri Susanti yang hanya dihukum 9 bulan penjara,"ungkap Pieter Ell selaku Koordinator Petisi,
Sekitar 150 orang dengan berbagai latar belakang profesi menyatakan petisi kepada pemerintah pusat dan memintanya Presiden RI membebaskan terdakwa Buctar Tabuni dan seluruh tahanan Politik Papua yang nota bene sebagai korban rasisme berdasarkan kewenangan Presiden.
"Latar belakang hadirnya gerakan petisi tersebut terkait tuntutan hukuman terhadap 7 terdakwa kerusuhan Papua di PN Balikpapan, yang begitu fantastik. Pelaku rasisme di hukumannya tidak sebanding dengan korban rasisme,"tegasnya.*