Papua Dalam Era Globalisasi
Oleh : Ambassador Freddy Number (Sesepuh Masyarakat Papua)
APAKAH Indonesia berhasil mencapai tujuan hakikinya, membangun masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di Papua? Sila kelima Pancasila, menyatakan “Keadilan Sosial bagi SELURUH Rakyat Indonesia”. Sementara UUD 1945 menegaskan cita-cita dan tujuan negara adalah “...membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi SEGENAP bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan UMUM, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan KEADILAN SOSIAL”(Pembukaan). Adakah semua itu telah terjadi di Papua?
Dalam perspektif hak asasi manusia, pembangunan yang menciptakan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera itu adalah hak asasi manusia yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhinya.
Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Pembangunan (UNGA Res. 41/128, 4 Desember 1986) mendefinisikan pembangunan sebagai “proses ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang menyeluruh, yang bertujuan untuk memperbaiki secara konsisten kemaslahatan segenap warga dan semua orang, lewat peran serta yang aktif, bebas, dan penuh makna di dalam pembangunan dan dalam distribusi yang adil atas hasil-hasilnya” (Mukadimah). Ditegaskan pula bahwa pembangunan seperti itu adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia ciptaan Tuhan YME (entitlement), di mana setiap orang dan semua bangsa (Peoples) adalah pemangku hak (right holder) dari Negara, baik masing-masing maupun secara bersama-sama, merupakan pengemban tanggung jawab (duty bearer) NKRI.
Sayangnya, proses pembangunan yang demikian tidak sungguh-sungguh terjadi di Papua. Ini bukan rahasia, bukan pula kritik tanpa dasar. Pemerintah secara legal dan terbuka mengakui kegagalannya di Papua pada mukadimah Undang-Undang Nomor 21/2001 tenang Otonomi Khusus Papua. Ditengah ketidakadilan yang sistematis lebih dari setengah abad, kebijakan afirmatif atau kepemihakan tidak pernah ada dalam bentuk penghormatan, perlindungan, dan pemberdayaan OAP. Di era globalisasi dewasa ini, pendekatan Jakarta terhadap Papua harus lebih bijak dan persuasif serta tanpa curiga, dan hindari kekerasan. Dalam rangka meningkatkan keamanan dan penegakan HAM di Papua ke depan, dibutuhkan perubahan politik dan kebijakan yang arif dan tepat.
Kebijakan utama dan orientasi politik adalah untuk menyelesaikan konflik di Papua secara damai, adil dan demokratis dengan menghilangkan faktor-faktor utama yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Resolusi konflik yang menyeluruh di Papua dan perbaikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak-hak sipil OAP di masa depan diharapkan bisa dicapai melalui agenda-agenda sebagai berikut:
- Sektor keamanan di Papua perlu direformasi dengan mengadopsi paradigma keamanan manusia sebagai elemen utama dan mulia yang merupakan ciptaan Tuhan YME.
- Lebih mengutamakan pengamanan oleh personil Polda Papua serta perbaikan kinerja penegak hukum di seluruh jajaran penyidik kepolisian, penuntut umum kejaksaan dan hakim-hakim pengadilan di Papua.
- Penegak hukum harus bersifat persuasif dan memperhatikan kebebasan masyarakat dan pendekatan kesejahteraan terhadap OAP.
- Adopsi resolusi konflik damai dengan:
- Melakukan dialog Jakarta-Papua;
- Merumuskan peraturan pemerintah yang mendukung implementasi proses dialog;
- Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua jilid II harus melibatkan konsultasi publik yang komperhensif. Jangan diam-diam, tahu-tahu sudah lahir PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang).
- Pemilihan Gubernur harus dikembalikan sesuai pasal 7, UU OTSUS nomor 21 Tahun 2001. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik diantara Orang Asli Papua.
- Fokus pembangunan harus bersifat Tematik, Holistik, Integratif, Spasial dan Sustainable serta sesuai dengan karakteristik wilayah budaya masing-masing kawasan;
- Menghargai kearifan lokal dan adanya keberpihakan kepada OAP.
- Pemberantasan impunitas terhadap HAM di masa lalu melalui:
- Pembentukan pengadilan HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua;
- Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (untuk meluruskan sejarah Papua);
- Mempererat dan meningkatkan kerjasama dengan KOMNASHAM.
- Penguatan otoritas sipil dan pengawasan publik yang lebih ketat.
- Memprioritaskan pendekatan penegakan hukum dengan menempat-kan polisi sebagai garda terdepan dalam rangka memelihara stabilitas keamanan di Papua.
- Penegakan hukum yang ketat, adil, demokratis dan tidak diskriminatif.
Dibawah Leadership Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin (2020-2024), rezim pemerintah yang ada diharapkan memulai kembali komitmennya untuk menjamin Papua yang lebih aman, adil, damai, demokratis dan sejahtera tanpa diskriminasi serta menghormati HAM.