Hukum Berat Pelaku Korupsi Dana Covid-19
Oleh: Rahmat Soleh
DANA bantuan untuk penanganan Covid-19 tentu diperuntukkan bagi siapapun yang terdampak karena pandemi. Apabila ada yang menyelewengkan dana bantuan ini, tentu saja tidak ada pilihan lain selain memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri Mengatakan, KPK tidak segan dalam memberikan hukuman berat terhadap pelaku korupsi dana penanganan Covid-19.
Dirinya juga menuturkan, sejak pandemi Virus Corona, KPK telah berupaya keras dalam mencegah praktik korupsi dana Covid-19.
Pihaknya Juga bekerjasama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun di sektor kementerian/lembaga. Selain itu KPK juga melakukan monitoring atas terlaksananya program pemerintah.
Mantan Kabarhakam Polri tersebut menegaskan sikap tegas KPK yang akan berlaku sangat keras kepada para pelaku korupsi yang memanfaatkan momen penanganan COVID-19 bukan sekedar peringatan semata.
Firli berujar, pihaknya melakukannya karena keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi. Maka bagi yang melakukan korupsi dalam suasana bencana tidak ada pilihan lain, pihaknya akan menegakkan hukum yaitu dengan tuntutan pidana hukuman mati.
Upaya terebut merupakan respon KPK atas apa yang dinyatakan oleh Presiden RI Joko Widodo yang telah mempersilakan aparat penegak hukum, yakni POLRI, Kejaksaan Agung maupun KPK, untuk menggigit pejabat maupun para pelaksana yang memiliki niat korupsi dalam penggunaan dana Rp 677,2 triliun yang diperuntukkan untuk penanggulangan wabah Covid-19.
Firli juga mengatakan, penindakan dengan penegakan hukum yang tegas dan efektif sehingga menimbulkan kesadaran untuk patuh kepada hukum bukan hanya sekadar membuat rasa takut akan sanksi yang berat.
Pada kesempatan berbeda, Inspektorat Kabupaten Tanggamus telah memberikan peringatan keras kepada aparatur untuk tidak menyelewengkan anggaran pencegahan Covid-19 yang dianggarkan dalam dana desa, sebab pelaku penyelewengan bisa diancam dengan penjara seumur hidup atau hukuman mati.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat 2 undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi (Tipikor) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan
Sedangkan pasal 2 ayat 1 menyatakan : “setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit mencapai angka 4 tahun. Dengan denda paling sedikit 200 juta.
Besaran anggaran yang dipantau KPK adalah Rp 405,1 triliun yang diatur dalam Peppu No. 1 tahun 2020. Firli menyebutkan, KPK akan fokus pada program kesehatan dan jaring pengaman sosial. Selain itu KPK juga memantau anggaran yang suda direalukasi oleh pemerintah daerah. Total APBD yang direalokaisi untuk penanganan Covid-19 adalah Rp 56,57 triliun.
Kita semua paham bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat, apalagi ketika wabah Covid-19 melanda dan semua orang terdampak secara ekonomi. Korupsi yang merajalela disebabkan oleh faktor mental dan budaya dari koruptor yang merasa gatal ketika mendapatkan amanah. Mereka yang menyelewengkan dana bantuan sosial tersebut seakan telah terbutakan hatinya dan secara tega melakukan korupsi yang jelas-jelas merugikan masyarakat. Apalagi yang dikorupsi adalah dana untuk bantuan bencana.
Korupsi dana bantuan bencana rupanya tidak hanya terjadi pada saat ini, rupanya dulu ketika tsunami melanda Nias pada tahun 2011. Lalu pada kasus proyek penyediaan air minum di Donggala dan Palu pada bencana gempa dan tanah bergerak di tahun 2018. Kasus tersebut rupanya hanya menjerat koruptor dengan hukuman penjara yang tergolong ringan atas kasusnya, yakni dengan hukuman paling lama 5 tahun penjara.
Padahal pelaku tindak pidana narkotika sudah menerapkan hukuman mati untuk pelakunya, namun para koruptor hanya dipenjara seperti ulat yang memasuki masa kepompong yang nantinya bisa bebas kembali. Koruptor dana bantuan sosial tentu pantas mendapatkan hukuman yang berat, karena tindakan tersebut telah mempersulit masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan di masa sulit.
*Penulis adalah kontributor The Jakarta Institute