Membaca Pikiran dan Pandangan Abisai Rollo Tentang Nasionalisme Indonesia
Oleh: Peter Tukan*
PIKIRAN dan pandangan pemimpin besar adat (Ondoafi ) Kampung Skouw Yambe, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Abisai Rollo tentang Nasionalisme – Cinta Tanah Air Indonesia dapat kita simak melalui ucapannya yang berulang-ulang yang mungkin saja terdengar atau terbaca sangat sederhana, dan oleh banyak orang mungkin dianggap “biasa-biasa” saja, namun sebenarnya terkandung sejuta makna yang sangat dalam, berbobot dan berdaya jangkau ke masa depann Tanah Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Selama ini, begitu banyak orang, baik di Papua maupun di luar wilayah Tanah Papua spontan mengatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia disingkat NKRI adalah Harga Mati! Saya tidak setuju, sekaligus menolak ungkapan itu. Bagi saya sebagai pribadi dan selaku Ondoafi Besar Kampung Skouw Yambe, NKRI itu bukanlah Harga Mati tetapi NKRI sampai mati. Titik!,” tegas Abisai Rollo di kediamannya, Komplek Asrama Haji, Kota Raja, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Kamis (17/9).
Lebih lanjut Ondoafi Besar Abisai Rollo mengatakan, jika kita menyebut NKRI Harga Mati berarti NKRI itu diibaratkan barang jualan di pasar umum yang selalu memungkinkan orang untuk melakukan tawar-menawar harga. Padahal, terkait NKRI yang merupakan sebuah keputusan dan komitmen politik termasuk Pancasila, UUD 1945, dan Kebhinekaan tidak boleh ditawar-tawar bagaikan barang jualan. Keutuhan NKRI dari Sabang sampai Merauke, dan dari Sangir –Talaud hingga Rote-Ndao adalah “sepanjang hayat di kandung badan – hingga maut memisahkan kita dari bumi yang fana ini”.
Artinya bahwa, selama kita semua masih bernafas di atas planet bumi ini, maka selama itu pula keutuhan Bangsa dan NKRI harus dihayati, dijaga, dirawat, dilestarikan, dipertaruhkan dan dipertahankan sampai titik darah penghabisan atau hingga simbahan keringat dan darah segar kita yang tertumpah di atas Tanah Air Indonesia ini menjadi kering disengat sinar mentari dan hilang lenyap diterpa angin penyapu debu.
Abisai juga berpendapat bahwa terkait “harga” itu sendiri, sering terjadi percecokan atau pertikaian antarsesama, terutama antara penjual dan pembeli di pasar.
Dia berkisah, pada satu ketika dirinya berbelanja di sebuah pasar rakyat kawawan Youtefa, Distrik Abepura, terlihat seorang pembeli dan penjual bertikai – beradu mulut. Penjual sayur mayur dan buah-buahan yang adalah seorang Mama asal Papua menetapkan harga buah mangga Rp25 ribu per buah. Seorang calon pembeli manawarkan harga Rp15 ribu per buah.
Secara spontan, Mama penjual mangga ini dengan nada agak kesal bercampur sedikit marah mengatakan: “Jika harga mangga ini Rp15 ribu per buah maka sebaiknya kamu sendiri yang menanam, memetik dan menjualnya dengan harga yang kamu inginkan itu,” kata Abisai mengutip perbincangan di pasar tersebut.
Bagi Mama penjual mangga ini, lanjut Abisai, harga yang ditetapkan itu sudah tidak dapat ditawar lagi alias harga mati. Sedangkan bagi pembeli, harga yang ditetapkan itu masih dapat ditawar lagi.
Di pasar atau toko yang menjual serba macam barang kebutuhan hidup, berlaku kebiasaan ini yakni terjadi “lalu lintas” tawar menawar harga sampai antara penjual dan pembeli bersepakat pada satu harga.
Di sini dapat diketahui bahwa “harga” itu sendiri dapat menjadi biang pertikaian atau percecokan antarsesama manusia.
Kembali kepada NKRI, lanjut Ketua DPRD Kota Jayapura ini, NKRI itu sendiri tidak boleh menjadi “bahan tawar-menawar politik”. Mengapa? Karena, NKRI bukanlah harga mati tetapi NKRI sampai mati, artinya sekali NKRI seumur hidup untuk NKRI! Apabila terdapat warga masyarakat atau warga negara ini atau siapa saja dan dari mana saja orang itu berasal, masih menjadikan NKRI sebagai sebuah barang jualan di pasar yang masih boleh dilakukan “tawar-menawar politik” maka orang atau kelompok orang yang melakukan penawaran itu harus dihadapi untuk diberikan pengertian atau pemahaman sampai titik darah penghabisan.
“Untuk keutuhan NKRI itu sendiri, kita tidak mengenal kata harga mati atau tidak berlaku tawar-menawar harga politik itu, tetapi harus kita pertahankan sampai mati!” tegasnya.
Abisai Menyegarkan Kembali
Dari pikiran dan pandangan Abisai tentang NKRI yang terurai di atas, sebenarnya putra asli pemimpin besar adat dari Kampung Skouw Yambe -- yang wilayah adatnya hingga berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua Nugini (PNG) itu – sebenarnya ingin menyegarkan kembali kesadaran semua anak bangsa di Persada Nusantara ini tentang cita-cita persatuan Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Sangir Talaud hingga Rote-Ndao sekaligus memperkuat pengabdian kita demi terwujud cita-cita itu.
Bagi seorang Abisai, persatuan bangsa itulah yang menjadi landasan pijak bagi kita semua untuk menyebut dan mempertahankan NKRI sampai mati yang wilayahnya juga meliputi seluruh Tanah Papua Indonesia – meskipun Tanah Papua sendiri dengan latar belakang sejarah yang berbeda, lebih kemudian untuk bersatu dengan wilayah-wilayah lain dalam NKRI.
“Bersatunya Tanah Papua dalam NKRI bukanlah bersatu dalam sebuah bingkai NKRI karena bingkai itu sendiri dapat rusak dan hancur atau dihancurkan. Papua bersatu bukan dalam sebuah bingkai tetapi benar-benar bersatu di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa mengenal istilah atau ungkapan bingkai. Jangan sampai kita menyamakan Negara dengan sebuah bingkai foto atau bingkai sebuah lukisan,” kata Abisai mengingatkan.
Sama juga seperti saudara-saudara lain di seantero persada Nusantara ini, persatuan masyarakat dan Tanah Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kehendak rakyat melalui proses politik yang sah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk bebas dari penjajahan kolonial Belanda masa itu yang dialami bersama. Dengan demikian hidup bersama, senasib sepenanggungan dalam suatu negara-bangsa yang kita sebut Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat itu, bertujuan tergapainya kesejahteraan dan keadilan bersama serta perdamaian abadi di atas Tanah Papua ini - terlepas dari perbedaan latar belakang daerah, budaya, ras, suku, agama, bahasa dan kebudayaan.
Bagi seorang Abisai Rollo – alumni Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih (Uncen) tahun 2013 itu mengakui bahwa menjaga dan memelihara serta menegakkan persatuan bangsa itu merupakan usaha yang tiada akhirnya, sama halnya dengan perjuangan untuk menegakkan demokrasi, keadilan, perdamaian, kebebasan dan menciptakan masyarakat adil-makmur.
“Menjadi Indonesia itu merupakan sebuah proses panjang yang terus-menerus dalam hidup kita sebagai bangsa Indonesia yang tiada akhirnya. Tdak sekali jadi.Tentu ada jatuh dan bangunnya, tetapi marilah kita menghargai proses ini untuk menjadi bangsa Indonesia yang adil, damai dan sejahtera. Kita memang sedang berproses untuk menjadi Indonesia seutuhnya,” kata Abisai.
Pengalaman dan Pengamalan
Terkait berproses menjadi manusia Indonesia seutuhnya itu, Abisai Rollo yang pada masa remajanya (1987-1989) sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Teknologi Menengah (STM) Kristen Tomohon, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) itu menyatakan sangat bersyukur bahwa `Tuhan telah menuntunnya untuk bersekolah di luar Tanah Papua sebagai kesempatan emas baginya untuk “berproses menjadi manusia Indonesia seutuhnya”.
Dirinya harus keluar dari zona nyamannya di Tanah Papua untuk pergi mendaptkan pengalaman baru. Di Minahasa, dia bertemu, hidup dan bergaul, berpapasan siang dan malam dengan begitu banyak orang dari berbagai suku, agama dan golongan. Dia berbaur dengan siapa saja terutama ketika jam-jam sekolah, dia berbaur di tengah rekan-rekan remajanya yang berlatarbelakang majemuk itu.
“Bersekolah di Minahasa,Tomohon merupakan pengalaman hidup dalam kemajemukan yang sangat indah dan terpateri dalam sanubariku. Dan ketika sudah tamat sekolah dan pulang ke Kampung Skouw Yambe di Tanah Papua, pengalaman kemajemukan itu saya amalkan dalam keseharian hidupku hingga detik ini. Pengalaman hidup dalam kebhinekaan mengantarkan aku untuk mengamalkan nilai kebhinekaan itu dalam keluarga dan masyarakat luas,” katanya mengenang masa lalu itu.
Bagi Abisai Rollo, menjadi manusia Indonesia dalam NKRI adalah berporses menjadi manusia asli Papua yang mampu hidup dan menghidupi perbedaan, menerima dan mengakui perbedaan serta terus hidup di dalam perbedaan itu sendiri. Perbedaan atau kemajemukan itu sungguh indah! Allah Maha Besar sendirilah yang mengaruniakan kemajemukan itu bagaikan bermacam-macam jenis bunga yang berwarna-warni tumbuh di taman yang indah itu.
“Tidak usah muluk-muluk men-jadi manusia Indonesia dalam NKRI. Sudah cukup bagi kita untuk dapat hidup dalam kemajemukan, menerima, mengakui dan menghargai serta berproses dalam kemajemukan itu sendiri. Itulah Bhineka Tunggal Ika – berbeda-beda tetapi tetap satu sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Itulah yang saya alami, hayati dan amalkan,” tegasnya.
Abisai Rollo yang adalah Ketua DPD Partai Golkar Kota Jayapura 2017-2025 dan mantan Ketua Tim Sukses Jokowi-Ma’ruf Amin, Kota Jayapura pada Pilpres 2019 itu mengatakan, sepertinya dirinya sudah “selesai dengan kehidupan”: dia adalah seorang Pemimpin Adat (Ondoafi Besar) Kampung Skouw Yambe, Distrik Muara Tami yang melekat pada dirinya dan pada saat ini juga menjabat Ketua DPRD Kota Jayapura. Kehidupan ekonomi keluarga sudah terbilang cukup dan tidak boleh rakus namun harus berbagi karena hidup yang berbahagia adalah hidup yang berbagi.
“Kini saya hanya ingin mengabdi dan terus-menerus mengabdi bagi Indonesia, khususnya bagi seluruh warga masyarakat di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Pengabdianku tak mengenal ruang dan waktu. Pengabdianku tidak mengenal batas usia selagi Tuhan masih memberikan kesempatan untuk hidup dan berkarya di atas Tanah Papua tercinta ini demi NKRI sampai mati!” kata Abisai Rollo mengakhiri sebuah perbincangan.
*Peter Tukan: mantan wartawan