Tanggungjawab Moral Media Kawal Pemilu Pilkada 2020
Oleh: Peter Tukan
KITA TAHU bersama bahwa Pemilihan Umum (Pilkada Gubernur, Pilkada Bupati/Walikota, Pilpres dan Pileg) merupakan pelaksanaan demokrasi yang nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Kita pun telah mengetahui bahwa, Pemilu yang merupakan pelaksanaan demokrasi yang nyata itu harus dilaksanakan di dalam jalur atau rel nilai-nilai demokrasi yakni: kebebasan, keadilan, kejujuran, rasa aman dan damai. Jika demikian maka, Pemilu itu sendiri dalam pelaksanaannya harus dikawal sedemikian rupa, agar tidak sampai keluar dari relnya itu.
Media pers adalah salah satu pilar demokrasi, selain eksekutif, legislatif, yudikatif dan opini publik. Sebagai pilar penopang jalannya demokrasi maka salah satu tugas media pers dalam pelaksanaan Pemilu Pilkada serentak tahun 2020 ini adalah, secara ketat, jujur dan benar ikut mengawal jalannya pesta demokrasi ini.
Satu pertanyaan yang menggelitik adalah: Apakah media pers dapat benar dan jujur menjadi “pengawal” jalannya seluruh proses Pilkada itu, padahal, pada saat yang sama, media pers itu sendiri pun memiliki kepentingan yang instant di dalamnya? Apabila kita mengandaikan bahwa “demokrasi” itu adalah “Panglima” maka media pers sendiri adalah “Prajurit pengawalnya”.
Bagaimana mungkin, “Panglima” dapat berjalan di atas jalurnya yang sebenarnya, sementara “Pengawal”nya sendiri dengan tahu dan mau mengobrak-abrik rel tersebut hanya karena pengawal punya kepentingan yang terselubung di dalamnya? Sang pengawal dapat dengan mudah mengobrak-abrik jalannya “panglima demokrasi” ketika pangawal itu mudah dibeli, dan mudah menggadaikan dan menjual martabat dan profesionalismenya, demi tercapainya kepentingan (uang) atau ambisi pribadi dan lembaganya tempat dia bekerja dan yang merupakan “ladang subur” untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Dosen Senior pada program studi Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Chusnul Mar’iyah, Ph.D mengatakan bahwa perjalanan dan perkembangan demokrasi Pemilu di Indonesia semakin mengkhawatirkan, justru diakibatkan oleh praktik politik yang menggunakan uang (money politics).
“Kecenderungan praktik politik penggunaan uang atau money politics dalam pemilu, baik pada tingkat nasional maupun lokal memunculkan ketidakpuasan dan pesimisme terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia” (“Politik Lokal dan Otonomi Daerah Revisited: Demokratisasi Melalui Pemilu” dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 33 Tahun 2010, hal.93).
Lebih lanjut dia mengatakan, secara kritis kita dapat melihat dengan pendekatan analisis kualitatif yang menunjukkan bahwa terjadi kembali praktik-praktik non demokratik masa Soeharto dalam praktik pemilu, namun berbeda bentuk. Tentu saja perubahan sistem dalam kelembagaan tidak serta merta menjadikan perubahan tingkah laku para aktor politik yang berada dalam lembaga tersebut.
Demokrasi itu sendiri ditandai dengan pemilu, namun semua pemilu tidaklah sama. Penyelenggara pemilu tidak secara langsung dapat dikatakan memiliki electoral integrity, namun dapat pula terjadi electoral manipulation.
Apa yang dikatakan Chusnul Mar’iyah di atas, hampir mirip dengan pendapat lain yaitu: Jika pada masa lalu, nilai demokrasi dalam Pemilu dicederai oleh “tangan kuat” Sang penguasa rejim saat itu, maka pada Pemilu masa kini, kemurnian demokrasi itu justeru diobrak-abrik dan dihancur-leburkan oleh “isi pundi-pundi Uang”.
Sudah di ambang pintu
Pesta Demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang menurut rencana berlangsung pada 9 Desember 2020 sudah di ambang pintu. Berbagai persiapan menuju perhelatan akbar demokrasi itu sudah mulai dilaksanakan pada beberapa bulan lalu dan bersamaan dengan itu, “suhu politik” terasa mulai menanjak naik yang berpengaruh pula pada mulai meningkatnya eskalasi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Kembali kepada peran media pers dalam Pemilu Pilkada 2020, dapat dikatakan bahwa : Apabila kita tahu bersama bahwa Pemilu merupakan salah satu perwujudan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sementara media pers sendiri sebagai salah satu pilar demokrasi selain eksekutif, legislatif, yudikatif dan opini publik maka, media pers harus mampu menjadi “pengawal profesional ” bagi seluruh proses demokrasi selama berlangsung Pemilu Pilkada tersebut .
Dengan mengedepankan fungsinya sebagai media pendidikan politik dan membangun demokrasi serta media yang tidak berpihak kepada kepentingan sesaat dari oknum atau kelompok orang yang sedang “birahi” merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan cara menghalalkan semua cara dan daya -- maka selama berlangsung pesta demokrasi Pilkada itu, media pers sekali-kali tidak boleh menggadaikan atau mengorbankan nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kedamaian, persatuan dan kesatuan serta persaudaraan sejati sesama anak bangsa.
Pertarungan Kepentingan: Potensi Kerawanan
Pengalaman kita dalam menggelar atau mengikuti Pemilu selama ini,membuktikan bahwa perhelatan demokrasi siklus lima tahunan ini, selalu rawan terhadap berbagai gangguan keamanan, dan rawan terhadap perpecahan sesama warga masyarakat yang berujung pada terancamnya keutuhan Bangsa dan Negara Indonesia dan punahnya nilai-nilai persaudaraan, persahabatan, nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Pemilu menjadi sangat rawan lantaran pihak-pihak yang “bertarung” di arena pesta demokrasi ini memiliki kepentingannya masing-masing, antara lain kepentingan akan uang, kekuasaan/jabatan dalam lembaga eksekutif dan/atau legislatif , kepentingan akan kelanjutan dan keamanan bisnis serta berbagai kepentingan lainnya.
Patut dicamkan baik-baik bahwa pihak yang punya kepentingan (kepentingan jangka pendek atau jangka panjang) pada Pemilu, tidak pernah luput dari apa yang disebut “politik uang”. Ada pihak yang mengucurkan uang (beli dengan uang kecil – dapat uang besar) untuk membantu pasangan calon kepala daerah itu dalam membiayai Pilkada. Sebaliknya, ada pihak lain yang mengambil uang dari proses Pilkada ini (dapat dengan cara yang wajar atau tidak wajar seperti memeras calon kepala daerah tersebut dengan cara yang sangat halus).
Kami mencatat pihak-pihak yang punya kepentingan dalam Pemilu tersebut yang tidak mungkin tidak, akan mengeluarkan uang atau mengambil/memanfaatkan uang. Setiap pihak yang disebutkan di bawah ini hampir pasti membutuhkan “kerjasama” dengan media pers (wartawan).
Wartawan hampir pasti hadir di setiap kelompok yang saya sebutkan di bawah ini; apakah wartawan itu dilibatkan secara langsung sebagai tim sukses atau tidak dilibatkan sebagai tim sukses – tetapi yang jelas bahwa wartawan akan selalu berada samping oknum atau kelompok kepentingan yang terurai di bawah ini untuk meliput dan menyiarkan berita terkait aktivitas dari oknum atau kelompok ini.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa apabila terjadi pertikaian fisik antar kelompok pendukung calon kepala daerah dalam Pilkada itu, oknum atau kelompok orang yang tersebut di bawah ini dapat saja ikut menyaksikan dan malahan mungkin saja diduga atau patut diduga punya andil di balik konflik politik hingga kerusuhan (pertikaian fisik) itu demi memenangkan pertarungan Pilkada ini. Mereka dengan berbagai cara, daya, pengaruh dan “kekuasaan” yang melekat pada dirinya itu berpeluang menggerakkan (memprovokasi) massa untuk menjadi beringas - sangat emosional serta menggiring publik (para pendukung) untuk saling berhadap-hadapan dalam Pemilu ini apabila mereka menganggap atau menduga akan kalah atau memang sudah kalah dalam pertarungan politik merebut kursi kekuasaan kepala daerah.
1. Pasangan calon kepala daerah itu sendiri yang punya kepentingan merebut atau mempertahankan kekuasaan. Sejak dia bersama pasangannya mengambil keputusan untuk maju “bertarung” dalam pesta demokrasi Pilkada maka sejak itu juga uang mulai mengalir dari pundi-pundinya. Untuk apa? Untuk “belanja politik” seperti membayar mahar kepada partai politik pengusung dan pendukung. Dia harus memiliki “perahu” (dukungan kursi di lembaga legislatif) untuk dapat memenuhi persyaratan yang disampaikan KPU. Memang benar bahwa ada Parpol tertentu yang secara terbuka di depan publik mengatakan, “Kami tidak meminta “mahar” politik dari calon kepala daerah saat berproses untuk mendapatkan “perahu”. Namun, demikian mahar politik akan tetap diberikan di meja tamu, di pasar, di kedai dan restoran serta di mana saja, yang dirasakan sebagai “tempat aman” dari pantauan mata manusia, signal HP dan CCTV.
Pada zaman ini berlaku ungkapan : “Tidak ada makan siang yang gratis!”. Jika Parpol tersebut secara kelembagaan tidak menerima uang sebagai mahar politik namun, oknum-oknum yang mengurus administrasi untuk mendapatkan “perahu” bagi sang calon, pasti membutuhkan “uang pulsa”, baik diminta maupun tidak diminta. Malahan, tidak diminta pun, calon kepala daerah dalam Pilkada itu sendiri sudah merogoh “koceknya”. Dia dan pasangannya mendadak menjadi “orang yang murah hati” dan royal.
2. Tim Sukses dari masing-masing calon kepala daerah punya kepentingan juga. Tim sukses membutuhkan uang untuk “belanja” semua kegiatan dan untuk mengepulkan asap dapur di rumahnya sendiri. Selain itu, Tim Sukses pun membutuhkan “ucapan terimakasih” setelah meraih kemenangan. Ucapan terimakasih dapat dalam bentuk uang tunai dan/atau juga “kebijakan” bupati/walikota/gubernur pasca pelantikannya; baik kebijakan dalam memberikan jabatan bagi dirinya atau relasinya atau kebijakan memperlancar bisnis keluarga atau kelompok dari Tim sukses tersebut.
3. Parpol pengusung dan parpol pendukung seperti: Kepentingan uang untuk “kas partai” dan kepentingan politik pasca pelantikan seperti adanya kesepakatan untuk membiayai kegiatan dan kebutuhan Parpol serta kesepakatan untuk “menyumbangkan kursi” dari daerah pemilihan itu pada Pemilu legislatif mendatang, baik untuk legislatif di tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat dan kepentingan Pemilu Presiden yang akan datang yang calon presidennya diusung Parpol itu.
4. Para pihak (oknum atau kelompok orang) di Pusat (Jakarta) seperti: Kepentingan untuk Pilpres yang akan datang dimana kepala daerah tersebut akan “mengawal” dan menyukseskan/memenangkan jalannya Pilpres. Sedangkan terkait kepentingan Parpol di Pusat yang telah memberikan “perahu” baginya maka yang dibutuhkan adalah penambahan jumlah anggota legislatif untuk duduk di Senayan. Hal yang sama untuk Pilgub di daerah itu dimana kepala daerah ini akan memberikan dukungan kemenangan bagi calon Gubernur dan calon Wagub yang diusung Parpol itu yang telah berjasa baginya sampai berhasil menduduki kursi kepala daerah pada Pilkada kali ini.
5. Para penyandang dana Pilkada. Tidak mungkin tidak, setiap pasangan calon Pilkada akan meminta dukungan dana dari para pebisnis atau investor dengan perjanjian bahwa setelah menang dan dilantik duduk sebagai kepala daerah maka sebagian besar proyek bernilai ratusan milyar rupiah akan dikerjakan oleh penyandang dana selama lima tahun kepemimpinan sebagai kepala daerah. Sering terjadi, penyandang dana ini akan mengeluarkan uang tambahan bagi para pendukung dan simpatisan untuk kemenangan pasangan kepala daerah ini. Penyandang dana harus berjuang habis-habisan karena uang yang diberikan (dipinjamkan) kepada calon kepala daerah itu tidak sedikit jumlahnya. Bagaimanapun juga, Pilkada itu sendiri merupakan “bisnis tersendiri”.
6. Para kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau para kepala dinas/badan dan lembaga lingkup pemerintah setempat. Para kepala SKPD ini akan dengan segala cara dan daya (termasuk menggunakan uang) untuk berjuang habis-habisan agar calon yang dijagokan untuk menang dalam Pilkada dapat berhasil menduduki kursi kekuasaan selama lima tahun. Jika calon yang dijagokan itu menang, maka yang bersangkutan akan tetap menjabat sebagai kepala SKPD tersebut.
7. Para ajudan dan pengemudi mobil calon kepala daerah itu. Apabila calon kepala daerah tersebut menang dalam Pilkada maka, tenaga mereka masih dapat diberdayakan selama lima tahun ke depan. Sering terjadi bahwa ajudan dan pengemudi mobil kepala daerah jauh lebih kaya daripada seorang ASN yang sudah bekerja belasan tahun.
8. Wartawan dan medianya (seandainya mereka tidak berpegang pada Kode Etik Jurnalistik dan UU Per) juga punya kepentingan. Apabila calon kepala daerah tersebut menang dalam Pilkada maka, mungkin saja kepentingan wartawan pribadi dan keluarga dapat terpenuhi, antara lain kepentingan akan uang dan kepentingan lainnya yang akan diperolehnya pasca pelantikan kepala daerah itu.
Dapat saja, wartawan tersebut akan berpindah kerja (beralih profesi) menjadi aparat sipil negara (ASN) di Biro atau Bagian Humas pemerintah setempat atau anggota keluarga wartawan (suami atau istri atau anggota keluarga besar) akan diterima menjadi ASN di lingkup pemerintahan ini. Sedangkan untuk lembaga media/pers tempat wartawan itu bekerja, selain mendapatkan Iklan selama berlangsung masa Pilkada, juga akan terjalin kerjasama berbayar (berlangganan media, kerjasama advertorial dan lainnya) selama lima tahun ke depan.
Di atas panggung “pertarungan kepentingan oknum atau kelompok atau lembaga” yang tersebut di atas inilah, harga diri, etika dan moralitas wartawan dan medianya sungguh-sungguh dipertaruhkan!
Ketaatan pada Etika Jurnalistik dan UU Pokok Pers menjadi sebuah kewajiban moral bagi setiap wartawan dan medianya yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.
Wartawan dan medianya memiliki kewajiban moral untuk mengawal jalannya Pilkada secara benar, adil dan jujur serta demokratis yang akan tampak dari hasil liputan dan pemberitaan di medianya.
Wartawan dan medianya sekali-kali tidak boleh menggadaikan martabat dan profesinya hanya karena telah dibayar dengan uang dan kenyang dengan janji-janji politik yang akan terpenuhi pasca kemenangan Pilkada tersebut. Padahal, patut juga diketahui bersama bahwa “janji-janji politik yang bertaburan di jagat Pilkada itu adalah “makluk gaib” yang dalam sekejap bisa raib!
Jangan sampai wartawan dan medianya -- hanya karena uang dan janji-janji politik sesaat -- berjibaku (di luar batas-batas moral dan etika) menghalalkan semua cara untuk memenangkan calon kepala daerah yang didukungnya itu dengan melahirkan produk berita lisan,tulis, foto, video dan karikatur yang membohongi dan memprovokasi rakyat pemilih.
Hanya demi kemenangan calon yang didukung, wartawan melalui pemberitaan di medianya melakukan pemhonongan publik, mewartawan berita yang tidak benar, tidak adil dan tidak jujur sampai dengan sangat berani mengobarkan api konflik, petikaian fisik antarpendukung dan pemilih, perseteruan antar tim sukses dan kekacauan massal yang tidak terkendalikan hingga memorak-porandakan harta benda dan menelan korban nyawa sesama manusia.
Penguatan Peran Media Dalam Pilkada
Agar wartawan dan medianya dapat berperan aktif, jujur dan benar dalam mengawal pesta demokrasi Pilkada 2020 sesuai tugas utamanya yakni memberitakan kebenaran, keadilan dan kedamaian serta kejujuran, sebaliknya bukan kebohongan dan tipu muslihat, maka tindakan atau langkah nyata yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pada setiap menjelang Pemilihan Umum (Pilkada bupati, walikota, dan gubernur dan Pemilihan Umum Presisen serta Pemilihan Umum Legislaitf), pihak KPU, Kemen Kominfo serta Dewan Pers bekerjasama dan bekerja bersama-sama menyelenggarakan semacam “Sekolah Demokrasi” bagi wartawan sesuai wilayah atau regio yang telah ditentukan berdasarkan permasalahan sosial, poliitk dan Kamtibmas setiap wilayah di Indonesia.
Apabila PDIP sendiri telah menyelenggarakan “Sekolah Demokrasi” bagi para calon kepala daerah yang diusungnya, mengapa Dewan Pers, Kemenkominfo dan KPU tidak melakukan “Pendidikan demokrasi”, menyegarkan kembali rambu-rambu etika jurnalitisk dan UU Pokok Pers bagi para wartawan agar mereka memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang realitas dan dinamika demokrasi di wilayahnya sendiri dan di seluruh Tanah Air Indonesia.
Tanpa memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup tentang “Demokrasi” maka sulit bagi wartawan dan medianya untuk berperan secara baik dan benar dalam pesta demokrasi Pemilihan Umum.
Pada kesempatan “Sekolah Demokrasi” para peserta bersama instrukturnya melakukan “Pemetaan Politik Lokal” dari setiap wilayah yang menyelenggarakan Pemilu. Dengan memahami secara baik dan benar tentang peta politik lokal, regional dan nasional maka para wartawan dan medianya akan mampu melakukan tugas jurnalistiknya secara profesional dengan tetap berpijak di atas Kode Etik Jurnalitik dan UU Pokok Pers.
Pemetaan politik lokal akan mengarah kepada kajian bersama atas rekam jejak setiap calon kepala daerah atau calon legislatif jika digelar Pemilu legislatif (Pileg). Hal ini sangat bermanfaat bagi wartawan dalam melakukan rencana liputan Pilkada, Pilpres dan Pileg untuk memenangkan calon yang bertarung dalam Pemilihan Umum itu sesuai harapan rakyat, bukan sesuai kesiapan uang yang dimilki para calon dan nafsu politik serta kepentingsan bisnis dari oknum atau kelompok tertentu.
Media harus dapat memberikan informasi yang memadai (well-informed) di medianya terkait rekam jejak setiap calon: Siapa yang dipilih: perkataannya, tindakannya dan perbuatannya di tengah masyarakat. Ketika media memberikan informasi yang cermat tentang rekam jejak pasangan calon maka, ketika itu juga rakyat pemilih akan merasa didorong atau dimotivasi untuk menjatuhkan pilhan mereka kepada pasangan calon kepala daerah yang berintegritas, sebaliknya rakyat tidak akan memilih “kucing dalam karung”.
Untuk mengenal lebih jauh jati diri para calon, tidak cukup kita hanya mengandalkan CV (Curiculum Vitae) atau riwayat hidup mereka. Biasanya, CV itu sudah banyak “dibedaki” dengan kampanye pencitraan.
Apa gunanya media menyampaikan calon yang punya persediaan uang yang jumlahnya menakjubkan namun tingkah lakunya koruptif, manipulatif, mendukung kekerasan dan seterusnya yang nantinya merugikan rakyat sendiri selama lima tahun ke depan?
Realitas membuktikan bahwa banyak calon yang berintegritas namun tidak memiliki cukup uang untuk menang dalam pertarungan politik Pilkada.
Pemimpin yang berintegritas umumnya tidak punya cukup uang untuk membayar wartawan dan medianya.
Virus politik uang yang merasuki wartawan dan medianya dapat menghambat hadirnya pemimpin yang berintegritas yang sebenarnya merupakan dambaan rakyat. Rakyat sering sangat terkejut, usai Pilkada, KPU mengumumkan pemimpin yang menang adalah pasangan calon yang tidak berintegritas yang kemenangannya diperoleh antara lain dengan “Politik Uang”.
“Sekolah Demokrasi” bagi para wartawan dan medianya dapat menjadi medium penguatan semangat kebangsaan (nasionalisme) atau Cinta Tanah Air Indonesia di dalam diri setiap peserta. Penguatan semangat nasionalisme merupakan hal yang sangat penting karena pesta demokrasi Pemilu harus menjadi momentum penguatan pilar-pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebihnekaan.
Lahir sebagai orang Indonesia, bernenek moyang Indonesia dan memiliki KTP sebagai warga negara Indonesia malahan hidup dan sekolah dibiayai Negara Indonesia, belum merupakan jaminan satu-satunya bagi seseorang menjadi “Manusia Indonesia Yang Mencintai Bangsa dan Negaranya sendiri”.
Semangat Cinta Tanah Air atau Nasionalisme itu bukanlah sekali jadi, tiba hari – tiba akal, tetapi harus dialami dan diamalkan di dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara setiap hari. Tanpa pengalaman akan “Cinta Tanah Air Indonesia” maka seseorang tidak akan mampu mengamalkan kecintaannya kepada Bangsa dan Negaranya di dalam keseharian hidupnya.
Wartawan Senior Rosihan Anwar (alm) menulis: ”Seorang wartawan tidak hanya bisa melihat dari satu sudut pandang, karena itu sifatnya persepsi. Kita harus melihat persoalan secara utuh, dari dua sisi yang berbeda, cover both stories. Namun, jika sudah berbicara soal kepentingan Negara dan Nasionalisme, maka sudah jelas, kepentingan Negara harus menjadi prioritas!”
Hal ini harus didapat oleh para wartawan dan medianya selama berlangsung “Sekolah Demokrasi” yang diselenggarakan Dewan Pers, Kemenkominfo dan KPU pada setiap menjelang pesta demokrasi Pemilihan Umum : Pilkada, Pilpres dan Pileg.
2. Pada setiap menjelang perhelatan demokrasi Pemilihan Umum, kita tidak dapat mengelak dari ajakan kerjasama antara para calon kepala daerah (yang akan bertarung pada Pilkada itu) dengan wartawan dan medianya. Agar hasil liputan media yang bekerjasama itu tetap berada pada jalur yang benar sesuai Kode Etik Jurnalistik dan UU Pokok Pers maka, ada baiknya (sebagai usulan): media dan wartawannya yang melakukan kerjasama tersebut didaftarkan di KPU, Dewan Pers dan Kemenkominfo sehingga tiga lembaga ini bersama publik dapat ikut memantau dan mengawasi produk liputan media tersebut: Apakah media itu masih tetap berpijak pada Etika Jurnalistik dan UU Pers ataukah hasil liputannya ternyata telah keluar dari relnya. Meminta media dan calon kepala daerah melaporkan kerjasama ini kepada KPU, Dewan Pers dan Kemenkominfo bukan bermaksud membatasi atau mengekang kebebasan pers dan bukan pula ingin mencampuri urusan “rumah tangga” media tersebut namun bertujuan Baik yaitu ikut mengawal komitmen media pada Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers agar media tetap berada pada jalur tuntutan profesinya yakni menjadi “Pengawal Profesional” dalam Pilkada sekaligus menjadi Pilar Demokrasi yang mumpuni!
Penutup
Mengakhiri ulasan sangat sederhana ini, terutama terkait peran media dalam mengawal kemurnian demokrasi dalam Pilkada 9 Desember 2020, saya mengutip kembali sebuah ungkapan bijak yang ditulis Rafli Hasan dalam “Media Online: Dilema Antara Kecepatan dan Tanggung Jawab Moral” dalam Tiffanews.com yaitu : ”Sebuah kebohongan, tidak akan pernah menjadi sebuah kebenaran; kesalahan juga tetaplah sebuah kesalahan; begitu pula kejahatan tidak akan pernah menjadi kebaikan hanya karena diterima oleh mayoritas”.
*Peter Tukan: pernah menjadi wartawan ANTARA