Pilkada Keerom Dibayangi Isu Politik Uang, Masuk Penjara dan Pemekaran DOB
Oleh: Peter Tukan
PESTA demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak di beberapa kabupaten dan provinsi di Indonesia, sesuai jadwal yang ditetapkan pemerintah bersama KPU RI, insyah Allah berlangsung Rabu, 9 Desember 2020 atau tinggal sekitar 12 hari lagi rakyat sudah berbondong-bondong mendatangi Tempat Pemberian Suara (TPS) untuk melaksanakan kedaulatannya dalam menentukan siapa yang paling tepat dan mumpuni memimpin kabupaten atau provinsinya hingga tahun 2024 mendatang.
Menjelang pesta demokrasi itu, rakyat di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, sedang dihantui bayang-bayang tiga isu besar yang membuat bulu roma berdiri tegak, yaitu isu politik uang (menghambur uang membeli suara rakyat); isu atau menang atau kalah, harus diseret ke meja hijau dan dijebloskan ke dalam penjara (bui); dan isu pembentukan daerah otonom baru (DOB) Kabupaten Yafi - pemekaran dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Keerom.
Untuk Pilkada Kabupaten Keerom wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua Nugini (PNG) itu, tampil tiga pasang calon bupati dan wakil bupati yang terus bersaing secara sangat ketat.Nama-sama mereka sudah kita ketahui bersama. Setiap calon pasti ingin menang dengan segala cara dan daya,hahal maupun tidak halal; dengan cara terhormat maupun tidak terhormat.
Jual kecap manis
Selama berlangsung masa kampanye Pilkada, semua pasang calon bupati (cabup) dan wakil bupati (cawabup) bersama Tim Suksesnya (Timses) terlihat sangat rajin “menjual kecap manis” tidak ada kecap yang pahit. Artinya, setiap pasangan adalah figur-figur yang berkualitas, baik orangnya maupun program yang ditawarkan, terutama saat debat pasangan calon yang digelar KPU dan disebarluaskan media sosial, media online dan media arus utama televisi dan radio.
Ada pasangan calon yang mengedepankan kemampuan intelektualnya, bahwa dialah yang paling pintar, paling energik di antara calon lainnya. Dia punya segudang ilmu pengetahuan yang dapat diabdikan kepada seluruh rakyat Keerom. Dia didukung berbagai lembaga keagamaan, kelompok tani dan pemuda serta siap tampil sebagai “penyelamat” rakyat Keerom yang sudah puluhan tahun hidup dalam cengkeraman kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan serta ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan. Dia tampil sebagai “Ratu Adil”.
Ada pasangan calon lainnya juga yang mengedepankan keaslian suku warisan leluhur yang tak tergantikan. Mereka mampu merangkul semua pihak karena sudah punya segudang pengalaman dalam membangun Keerom. Dia dan pasangannya sudah memiliki begitu banyak “isi pundi-pundi” yang pada detik ini pun, dapat membayar lunas suara rakyat, berapapun harganya.
Uang yang disiapkan untuk “membeli suara” rakyat telah disiapkan jauh-jauh hari sebelum memasuki masa kampanye, malahan sudah sejak sekitar lima bulan lalu telah diangkut dari sebuah Bank menuju salah satu tempat dengan menggunakan mobil truk sebanyak dua kali muatan perjalanan pergi-pulang. Uang miliaran rupiah itu terisi di dalam mobil besar bagaikan tumpukan pasir bangunan yang disedot dari tambang pasir gunung Cycloop.
Pasangan ini menyatakan siap menyejahterakan rakyat Keerom bermodalkan begitu banyak “duit” bagaikan seorang saudagar kaya yang royal melakukan jual-beli barang dagangan dan piawai melakukan transaksi bisnisnya.
Ada pula pasangan calon yang mengumbar janji pembentukan Daerah Otonom Baru (DOM) yang akan semakin membuat rakyat di kabupaten baru itu semakin cepat menggapai mimpi untuk hidup sejahtera dilimpahi “susu dan madu”.
Dengan janji politik pemekaran Kabupaten Keerom menjadi dua kabupaten maka, figur-figur muda yang kompeten yang belum berhasil ikut “bertarung” pada Pilkada serentak tahun ini, dapat dengan sendirinya menjadi pemimpin baru di kabupaten yang baru itu. Orang muda Keerom yang memiliki kemampuan mumpuni itu, tentu saja sudah membuat kalkulasi untung atau rugi dalam berpolitik, misalnya: apabila saya mendukung pasangan yang berada di samping kanan saya, maka selama sepuluh tahun ke depan, saya tentu sulit menjadi bupati Keerom karena orang ini baru memulai menjadi bupati.
Sebaliknya, apabila saya mendukung pasangan di sebelah kiri saya, maka saya pun akan sulit juga menjadi pemimpin baru Keerom, karena orang ini yang adalah “putra mahkota” akan tetap tampil memimpin Keerom pasca tahun 2024. Apalagi, selama menjadi “putra mahkota” dia tentu memanfaatkan kesempatan untuk mengisi “pundi-pundinya” guna bertarung pada Pilkada pasca 2024.
Oleh karena itu, peluang yang paling memungkinkan bagi tokoh muda Keerom ini untuk dapat cepat menjadi pemimpin baru Keerom pasca 2024 adalah mendukung penuh, berjuang mati-matian - pasang badan, untuk keberhasilan pasangan yang hari ini tampil memberikan janji politik pemekaran (DOB) Kabupaten Keerom, dan janji politik Regenerasi dimana orang ini menjadikan dirinya sebagai “seorang Bapa yang sangat bijaksana menyiapkan regenerasi kepemimpinan yang alamiah” di Keerom salama empat tahun ke depan untuk mendapatkan pemimpin baru Keerom pasca 2024.
Apa yang terurai di atas merupakan “kecap paling manis” produk terbaru yang dipasarkan selama masa kampanye menuju hari “H” Pilkada Kabupaten Keerom, Rabu 9 Desember 2020 mendatang.
Tidak ada satu pun penjual di pasar, toko dan kios yang jujur mengatakan kepada calon pembelinya bahwa barang jualannya itu tidak baik, kecap yang dijualnya ini pahit rasanya.
Selama masa kampanye, semua “jualannya” itu tetap disimpan rapih di dalam bungkusan (paket) yang sangat indah menarik mata dan baru diketahui, apakah isi paket itu dalam keadaan baik atau buruk, setelah pembeli tiba di rumah, saat membuka paket yang terlilit indah dengan pita berwarna-warni itu. Itulah namanya politik – JJS alias “janji-janji sorga”.
Tikungan maut saling menjegal
Kini, Pilkada Kabupaten Keerom tinggal menghitung hari. Inilah hari-hari kritis yang dapat disebut “tikungan maut” saling menjegal satu sama lain.
Pada Rabu, 9 Desember 2020, seluruh rakyat Keerom memberikan suaranya di setiap TPS. Dan pada sisa waktu 12 hari ini, terkuak politik saling menjegal.
Terdapat pasangan cabup dan cawabup mulai mengeluarkan “jurus-jurus maut” untuk menjegal lawan tandingnya.
Kata orang, lima menit terakhir (injure time) merupakan titik kritis, dimana bola bundar dapat sangat liar dan sangat cantiknya menggelinding mengoyak dan menjebol gawang pertahanan lawan.
Jurus-jurus maut untuk menjegal lawan tanding itu antara lain, dengan membangun tekat bersama untuk tidak mundur sejengkal pun dari rencana awal yaitu: “pokoknya asal bukan si dia!”. Menang atau kalah, dia pasti kita giring ke dalam Bui alias “hotel prodeo” dengan bermodalkan bukti-bukti awal dugaan (praduga tak bersalah) yang sangat kuat terkait kasus korupsi, apalagi korupsi itu sendiri tidak mengenal kata “basi” alias kadaluwarsa. Cepat atau lambat, si dia harus diistirahatkan di hotel prodeo.
Sebaliknya, lawan tanding di sebelah pun sudah mencium aroma yang tidak sedap itu, sehingga dengan segala cara dan daya, pada siang maupun malam akan habis-habisan berjibaku mengalahkan lawan tandingnya dengan prinsip “Dari pada saya kalah, maka lebih baik, dia yang kalah! Karena jika saya menang, saya masih dapat “bermain mata” lagi untuk mengulur-ulur waktu agar tidak sampai terjeblos atau dijebloskan ke dalam penjara.Itulah tekat bulat dalam berjibaku menuju puncak Pilkada. “Menang untuk selamatkan diri mengalahkan untuk kembali modal!”
Pada pihak lain, ada juga pasangan cabup dan cawabup yang tidak kenal lelah, tertatih-tatih melangkah untuk menyelinap di setiap tikungan maut ini.
Dengan pengalaman dan kepiawaiannya dalam berpolitik bagaikan seekor belut di sungai yang mengalir deras, dia bersama pasangannya terseok-seok mendatangi para sahabat lamanya, dimana nama-nama sahabatnya itu hampir terlupakan, lantaran dia sudah menuju usia senja.
Namun, bermodalkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dia bertekat terus mengawal ketat semua sahabat lamanya itu yang hari ini tersebar dan menyebar di seantero kampung dan distrik untuk nantinya bergandengan tangan mendatangi bilik suara di setiap TPS pada Rabu, 9 Desember 2020.
Itulah namanya “politik sang mantan” bak seekor belut di sungai yang sulit ditangkap lantaran begitu licin tubuhnya. Itulah isu politik “saling menjegal” di setiap tikungan maut menjelang Pilkada Keerom. Yang namanya “isu”, belum tentu kebenarannya!
Akhirnya, biarkanlah rakyat sendirilah yang memilih secara bebas sesuai bisikan nuraninya; dan di atas segala-galanya: nilai persaudaraan, kejujuran politik, solidaritas dan pertemanan serta kedaulatan rakyat harus menjadi “Panglima” tertinggi dalam seluruh tahapan perhelatan demokrasi Pilkada serentak 9 Desember 20202 mendatang.
Di dalam situasi seperti ini, rakyat harus dapat mengetahui rekam jejak setiap pasang calon bupati dan wakil bupati agar kita tidak memilih calon pemimpin Keerom yang tidak berpihak kepada amanat hati nurani rakyat. Kita tidak memilih calon pemimpin yang berpotensi korupsi atau yang sudah memiliki sejumlah bukti bahwa dia telah diduga kuat mengorupsi (mencuri) uang rakyat Keerom untuk kepentingan diri, keluarga, kelompok dan bisnisnya.
Kita berusaha agar Pilkada tetap berjalan aman dan damai, jauh dari gadai-menggadai harga diri dengan uang, jauh pula dari dendam kesumat, saling menghujat dan menjegal. Bagaimanapun juga, hal yang kita semua sepakat adalah: Mengupayakan Kesejahteraan seluruh rakyat Keerom. Kesejahteraan Rakyat adalah hukum tertinggi - Salus Populi Suprema Lex!
Marilah kita “berpesta” ria pada Pilkada serentak ini, karena Pilkada merupakan pesta demokrasi – kesempatan emas bagi seluruh rakyat Keerom merayakan kedaulatannya!
*Peter Tukan: mantan Kepala Biro LKBN ANTARA Papua