Pedis, Kritikan Direktur LP3BH Manokwari Terhadap Kinerja Kapolda
JAYAPURA,wartaplus.com - Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy menegaskan bila Papua terus dirundung berbagai masalah penegakan hukum yang dapat berimbas pada pembangunan, selayaknya Kepala Kepolisian Daerah Papua diganti.
“Saya dengan tegas mengatakan, jika masalah-masalah terus terjadi, maka seorang Kapolda sebagai penegak hukum tertinggi di daerah (di Papua), kalau memang tidak mampu, sebaiknya mundur. Cari lagi Kapolda lain,” kata Yan Christian Warinussy, Rabu (1/12/2021).
Yan Christian Warinussy mengungkapkan, Kepolisian memiliki potensi yang bisa digunakan untuk menjadikan Papua damai dan sejuk. “Tapi dari Kapolda ganti Kapolda, yang sekarang Pak Mathius Fakhiri juga, saya lihat hal ini tidak dimaksimalkan,” tukasnya.
Ia menyarankan, cara mengembangkan potensi dari kepolisian misalnya dengan melakukan diskusi atau tukar pendapat, tukar pikiran dengan kelompok-kelompok non militer. Contohnya, kata dia, membangun dikusi dengan akademisi di perguruan tinggi, kelompok pemikir Papua yang ada di perkotaan, di sekitar pemerintahan atau berdialog dengan kelompok agama.
Dari diskusi tersebut, akan diperoleh masukan atas penanganan masalah di Papua. “Karena mereka punya pengalaman-pengalaman di internal sendiri baik secara regional maupun internasional, (Saya kira) mereka harus diajak bicara. Itu yang saya lihat selama ini tidak ditangani,” sambungnya.
Warinussy menambahkan, operasi penegakan hukum telah tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981, mengatur cara penanganan penegakan hukum. Misalnya, bila seseorang diduga melakukan kejahatan, dengan dua alat bukti kuat, dapat mengantar terduga hingga ke pengadilan.
“Celakanya, selama ini cara itu tidak digunakan. Operasi penegakan hukum (saat ini) yakni dengan tembak mati, dan tidak ada langkah-langkah hukum untuk membuktikan benar atau tidak terlibat dalam kejahatan (kelompok-kelompok tertentu),” katanya.
“(Bahkan) jika terduga itu benar maka akan dicari kesalahannya. Setelah itu baku lempar statement, dan penguraiannya tidak tuntas,” tambahnya.
Akibat berbagai situasi tersebut, urai dia, telah membuat publik percaya adanya kekerasan aparat terhadap rakyat. Disebutnya sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
“Persoalan-persoalan di Papua bukan baru terjadi, dalam 5 atau 10 tahun ini, tapi sudah lebih dari 50 tahun, kok tidak ada perbaikan juga?,” cetusnya.
Baginya, dari beragam rentetan persoalan di Papua, telah membuat orang Papua pesimis membantu pemerintah di dalam pembangunan. “Ini imbas dari pimpinan aparat keamanan di Papua yang tidak dapat menangani situasi agar Papua menjadi aman, damai dan sejuk.”
Berkaitan dengan dugaan kasus korupsi di Papua, Warinussy berpendapat bila seseorang terduga korupsi dipandang mesti dimejahujaukan, maka penting dilanjutkan.
“Kalau sudah ada dua alat bukti, tidak usah ditahan lama-lama, daripada menimbulkan cercaan di media sosial. Lebih elegan menurut saya, bawa ke jaksa dan jaksa bawa ke pengadilan, sehingga pengadilan bisa dengan mudah memutuskan bersalah dan dihukum setimpal dengan perbuatannya merugikan keuangan Negara,” paparnya.
Ia berharap Kapolda Papua memahami apa yang terjadi. “Jadi sederhana saja, saya pikir Kapolda memahami itu sebagai seorang penegak hukum,” tutupnya.*