Tanah Papua Berdarah Mau Sampai Kapan! Dialog, Bukan Senjata

TANAH Papua, negeri yang kaya akan alam dan budaya, kini seperti medan perang yang tak kunjung usai. Setiap hari, berita tentang kekerasan bersenjata merayap masuk ke layar kita: korban sipil berguguran, guru dan relawan yang datang membawa harapan malah jadi sasaran, dan desa-desa yang seharusnya jadi tempat damai kini dipenuhi suara tembakan.
Pada 15 Oktober 2025 saja, di Kampung Soanggama, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, terjadi kontak tembak antara TNI dan Tentara Nasional Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menewaskan 14 orang, termasuk warga sipil. Tak lama kemudian, pada 17 Oktober, OPM menyerang warga sipil di Nabire, lalu tanggal 18 Oktober seorang warga sipil bernama Anhy Armyanti (40), meninggal dunia setelah menjadi korban penganiayaan oleh orang tak dikenal (OTK) ini menambah daftar panjang tragedi yang seolah tak ada akhirnya.
Data dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) bahkan mencatat 141 korban kekerasan di Papua sepanjang Januari-September 2025, dengan 64 di antaranya warga sipil tak berdosa. Pertanyaan yang menggantung di bibir banyak orang kini bukan lagi "mengapa", tapi "mau sampai kapan?"
Sebagai warga negara yang mencintai Indonesia, hati ini perih melihat Papuabagian tak terpisahkan dari NKR—terjebak dalam lingkaran setan konflik. Kekerasan ini bukan hanya soal senjata; ia lahir dari akar yang dalam: ketidakadilan ekonomi, marginalisasi budaya, dan pengelolaan sumber daya alam yang tak merata.
Kelompok seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) menargetkan warga sipil dengan dalih mereka "agen intelijen", sementara operasi militer pemerintah sering kali menjaring korban tak bersalah, seperti kasus penyiksaan dan pembunuhan Abral Wandikbo di Yuguru, Nduga, pada Maret 2025.
Tambah lagi, tambang emas ilegal di Yahukimo yang memicu pembantaian 17 pendulang pada April 2025, menunjukkan bagaimana "industri konflik" ini dimanfaatkan segelintir pihak untuk kepentingan pribadi.
Komnas HAM sudah mengecam keras eskalasi ini, mendesak dialog sebagai satu-satunya jalan keluar. Uskup Timika Bernardus Bofitwos pun bilang, negara harus serius berkomunikasi untuk cari akar masalah, bukan malah "mengobok-obok" konflik demi kepentingan tertentu.
Saya yakin, pendekatan keamanan semata seperti pembentukan Kodam XXIV/Mandala Trikora pada Agustus 2025 hanya menyembuhkan gejala, bukan penyakitnya. Operasi militer memang perlu untuk lindungi warga dari terorisme separatis, tapi tanpa reformasi, ia justru memperlebar jurang ketidakpercayaan. Bayangkan: guru seperti Rosalia Rerek Sogen yang tewas di Anggruk pada Maret 2025, atau relawan yang datang untuk mendidik tapi malah jadi korban.
Ini serangan terhadap masa depan Papua! Pengamat seperti Viartisiwi dari BRIN bilang, konflik ini juga soal "konflik pengelolaan sumber daya alam", di mana investasi besar-besaran justru diikuti kekerasan aparat yang melindungi kepentingan segelintir elite.
WALHI bahkan sebut Proyek Strategis Nasional (PSN) pangan dan energi di Papua sebagai "kekerasan terbuka terhadap lingkungan dan masyarakat adat", dengan rencana konversi 2 juta hektar hutan yang bakal lepas emisi raksasa dan hancurkan identitas adat.
Mau sampai kapan? Jawabannya ada di tangan kita semua. Pemerintah harus hentikan siklus ini dengan langkah konkret: reformasi polisi seperti yang dijanjikan Presiden Prabowo, tarik pasukan non-organik dari daerah sensitif seperti Paniai, dan libatkan tokoh Papua—gereja, adat, perempuan, bahkan OPM—dalam dialog inklusif.
Bukan lagi pendekatan teritorial humanis yang cuma slogan, tapi aksi nyata: bagikan kue pembangunan secara adil, hentikan perdagangan senjata ilegal yang memasok KKB, dan usut tuntas pelanggaran HAM oleh siapa pun.
Amnesty International sudah ingatkan, impunitas di Papua bikin siklus kekerasan berputar terus. Sementara itu, masyarakat sipil seperti Aliansi Demokrasi untuk Papua dan Imparsial desak stop kekerasan TNI dan ganti rugi yang adil, bukan pengganti hukum.
HUT RI ke-80 tahun ini momentum emas untuk wujudkan Papua damai dan sejahtera.Kepada pemerintah, TNI-Polri, dan kelompok bersenjata: hentikan darah! Kepada kita semua: dukung dialog, bukan kebencian. Karena Papua bukan medan perang, tapi rumah kita bersama. Mau sampai kapan?
* Pimpinan Redaksi Wartaplus.com, Vanwi Roberth