Ibu Hamil dan Bayinya Tewas Karena Prosedur, Gubernur Papua: Kebobrokan Pelayanan Kesehatan di Papua
Ilustrasi wartaplus.com
JAYAPURA,wartaplus.com - Kampung Hobong, Sentani, 21 November 2025 malam. Di tepi dermaga Jembatan Kuning yang biasanya ramai oleh tawa anak-anak dan deru speedboat, malam itu hanya terdengar isak tangis dan suara ombak yang seperti ikut meratap. Kematian ibu hamil adalah tragedi yang sangat memilukan, tetapi lebih memalukan jika penyebab kematian terjadi karena pelayanan rumah sakit lebih mendahulukan prosedur administrasi daripada nyawa manusia.
Kisah pilu ini menimpa keluarga besar Kabey-Sokoy yang selama ini mendiami Kampung Hobong, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Suara Kepala Kampung Hobong, Abraham Kabey dengan perlahan mulai menceritakan bagaimana upaya keluarganya mencari bantuan medis untuk persalinan menantunya, almarhumah Irene Sokoy pada Minggu (16/11/2025).
Sayangnya, upaya keluarga untuk mendapat pelayanan medis yang baik dan cepat, untuk Irene Sokoy dan bayi dalam kandungan harus berakhir duka dan menyakitkan.
Almarhumah Irene Sokoy dan bayinya meninggal dunia akibat mengalami sesak napas dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura, Senin (17/11/2025) dini hari. Tepatnya pukul 05.00 Waktu Indonesia Timur (WIT), setelah ditolak beberapa rumah sakit yang ada di Kabupaten dan Kota Jayapura.
"Apa yang keluarga kami alami adalah hal yang sangat menyakitkan. Kami dari kampung datang minta pertolongan medis, tapi tidak dapat pelayanan yang baik. Apalagi anak mantu saya ini masih muda dan ini adalah kelahiran ketiganya," ujar Abraham Kabey dan didengar langsung Gubernur Papua Matius D. Fakhiri yang saat itu didampingi Ny. Eva Fakhiri, Penjabat Sekda Papua Christian Sohilaet, Plt. Kepala Dinas Kesehatan Papua Arry Pongtiku, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura Anton Tony Mote, serta perangkat kampung yang hadir di dermaga perahu Jembatan Kuning (Jeku) Kampung Ifar Besar Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (21/11/2025) malam.
Dengan suara bergetar, Abraham Kabey mulai menceritakan kronologis perlakukan buruk pihak rumah sakit (RS) yang dinilai merupakan penolakan. Menurut ia, Minggu (16/11) siang keluarga mendapat kabar melalui telepon seluler jika Irene Sokoy mulai merasakan kontraksi, sehingga diputuskan untuk membawa almarhumah dari Kensio, Kampung Hobong menggunakan speedboat ke RSUD Yowari. Saat itu kondisinya sudah mengalami pecah ketuban, dan terasa sakit terus menerus. Bahkan pihak keluarga sudah mendapat kabar bahagia jika bayinya berjenis kelamin laki-laki.
Hingga pukul 22.00 WIT, kondisi Irene terlihat semakin memburuk karena mengalami sesak napas, namun bayi dalam kandungannya tidak kunjung lahir dikarenakan memiliki kondisi tubuh terlalu besar. Namun yang disesalkan tidak ada tindakan medis yang didapat Irene, dengan alasan dokter sedang tidak berada ditempat.
Telepon Seluler
Melihat kondisi itu, keluarga pun meminta perawat di RSUD Yowari membuat surat rujukan ke RS lain yang ada di Kota Jayapura. Namun permintaan itu tidak langsung dibuat dengan alasan masih berkoordinasi dengan dokter melalui telepon seluler.
"Kami keluarga sempat ribut karena pelayanan sangat lama, hampir jam 12.00 malam, surat belum juga dibuat. Ditambah lagi dengan jasa mobil ambulance yang baru tiba sekitar pukul 01.22 WIT," katanya.
Surat rujukan pun keluar, RS Dian Harapan Waena, Kota Jayapura menjadi rumah sakit rujukan pertama. Namun keluarga mengaku kembali ditolak. Bahkan hanya diberikan ruangan yang kondisinya gelap dan panas.
"Yang kami keluarga sayangkan, rujukan yang diberikan RSUD Yowari tanpa adanya koordinasi. Kalau seandainya sebelumnya sudah ada koordinasi, tidak mungkin kami dibuat seperti ini tanpa ada tindakan medis," ujarnya.
Keluarga kemudian diarahkan membawa almarhumah ke RSUD Abepura. Di sana, Irene Sokoy kembali tidak mendapat pelayanan medis seperti yang diharapkan keluarga. Pihak RSUD menolak dengan berbagai alasan. "RS Abepura malah lebih parah. Pihak rumah sakit macam tidak ada tanggapan sampe sempat ada keributan antara keluarga dengan perawat, sebab karena tidak ada dokter. Sementara napas korban sudah sangat sesak, tapi tidak mendapat tindakan medis," sambungnya.
Bentuk penolakan tidak berhenti sampai disitu, pada saat Irene dan bayinya ingin dibawa menuju RSUD Jayapura, namun karena kondisi almarhumah semakin memburuk. Keluarga memutuskan untuk membawanya ke RS Bhayangkara di Jalan Jeruk Nipis, Kotaraja, Distrik Abepura, Kota Jayapura dengan harapan bisa mendapat pertolongan.
Sesampainya di sana dokter sempat memeriksa rujukan dan dua perawat melihat kondisi pasien di dalam mobil. Keluarga memohon agar Irene segera ditangani karena dalam kondisi sesak napas dan mengalami sakit yang sangat luar biasa.
Namun pihak rumah sakit menyampaikan ruangan atau kamar rawat inap BPJS dalam kondisi penuh, dan yang tersisa hanya kelas VIP sehingga keluarga diminta untuk membayar uang muka sebesar Rp4 juta. Dikarenakan tidak memegang uang sebanyak itu, keluarga memohon untuk ada tindakan medis lebih dulu, soal administrasi akan diselesaikan setelah ada penanganan dokter. Tapi tetap tidak diterima.
Dokter kemudian memberikan surat rujukan ke RSUD Jayapura Jayapura. Mobil Ambulans yang membawa Irene Sokoy bersama keluarga kemudian meninggalkan RS Bhayangkara sekitar pukul 03.30 WIT.
Namun dalam perjalanan, saat memasuki kawasan Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Irene Sokoy mengalami kondisi buruk, yang mana mulutnya mengeluarkan busa, dan napasnya tersengal-sengal. Melihat jarak yang masih jauh untuk sampai di RSUD Jayapura, akhirnya keluarga memutuskan untuk kembali ke RS Bhayangkara. Setibanya di sana sekitar pukul 05.00 WIT, nyawa Irene Sokoy dan bayinya sudah tidak lagi dapat ditolong.
"Kami sangat menyesal dengan tindakan para petugas rumah sakit yang tidak ada rasa kemanusiaan, sehingga menyebabkan dua nyawa harus melayang," ujarnya.
"Kami sudah bicara dengan bahasa minta tolong. Tapi tidak ada yang mau mengambil tindakan. Kami minta gubernur bisa ambil tindakan tegas untuk RS yang selalu mengabaikan pelayanan. Bila perlu ganti saja semua perangkat rumah sakit. Terus soal dokter kok bisa tidak ada berhari-hari ditempat tugas. Mereka lebih mementingkan penampilan dari pada nyawa orang," tegas Abraham Kabey.
Pelayanan Buruk
Neil Kabey, suami Irene Sokoy menyoroti pelayanan RS yang dinilainya sangat buruk sekali. Apalagi disaat pasien membutuhkan penanganan medis, tidak ada satupun dokter.
"Kalau saat itu di RSUD Yowari ada dokter, saya yakin istri dan anak saya masih hidup. Kenapa tidak ada dokter pengganti jika memang dokter saat itu tidak ada," kata Neil Kabey dengan nada kesal bercampur sedih.
Ia pun meminta Gubernur Fakhiri untuk memanggil semua direktur RS untuk memberikan alasan yang jelas terkait penolakan yang dialami istri dan anaknya, agar keluarga bisa menerima.
"Pak Gubernur harus memanggil mereka karena kami keluarga ingin mendengar apa yang menjadi alasan pihak RS menolak istri dan anak saya," pintanya.
Menanggapi itu, Gubernur Fakhiri mengatakan akan segera membenahi rumah sakit baik yang ada di tingkat provinsi maupun kabupaten.
"Saya baru mau memulai, tetapi Tuhan sudah memberikan satu contoh kebobrokoan pelayanan kesehatan di provinsi di Papua. Saya mohon maaf dan turut berduka yang mendalam atas kejadian dan kebodohan jajaran pemerintah mulai dari atas sampai ke bawah. Ini kebodohan yang luar biasa yang dilakukan oleh pemerintah," tegas Fakhiri.
Fakhiri berjanji akan segera melakukan evaluasi mendalam dengan melibatkan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Kabupaten Jayapura. "Saya pastikan RS yang dibawah pemerintah provinsi, seluruh direktur RS akan diganti," sambungnya.
Fakhiri mengaku,setelah melakukan inspeksi mendadak di RS, banyak peralatan medis yang bagus tetapi dikarenakan tidak diperhatikan oleh para direktur sehingga banyak yang rusak.
"Hal ini sudah saya minta langsung ke Menteri Kesehatan untuk memperbaiki pelayanan kesehatan di RS yang ada di Provinsi Papua. Saya yakin ada sekat-sekat yang merusak pelayanan di RS. Ini saya pastikan akan memperbaiki," ujarnya.
Menurut ia kejadian ini, tentunya akan menjadi pelajaran berharga bagi kami (pemerintah) untuk menghadirkan pelayanan kesehatan yang prima bagi masyarakat. Termasuk akan memanggil semua direktur RS pemerintah maupun swasta.
"Kami akan panggil dalam rangka menyatukan visi misi dalam melayani kesehatan di Provinsi Papua. Saya sudah berulang kali sampaikan, layani dulu pasien baru urusan yang lain. Hal ini akan saya sampaikan ulang ke seluruh direktur RS dan kepala dinas kesehatan yang ada," katanya.
"Sebagai gubernur, tentunya saya tidak perlu takut dan tidak perlu malu untuk menyampaikan permohonan maaf. Ini pembelajaran yang sangat berharga kepada kami pemerintah," katanya lagi. *


