MENU TUTUP

Pilgub Papua 2018 Rawan Gugatan

Minggu, 04 Februari 2018 | 19:16 WIB / ***
Pilgub Papua 2018 Rawan Gugatan Ibu-ibu dan anak- anak mengungsi akibat bentrok Pilkada Kabupaten Puncak Jaya beberapa waktu lalu/wartaplus.com

Oleh: Mathias Refra

Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali”.

Pepatah ini adalah ungkapan kebodohan seseorang atau sekelompok orang yang tak mau mengambil hikmah atau belajar dari kesalahan yang pernah dilakukannya. Alhasil, kesalahan yang persis sama kembali dilakukan.

“Jatuh ke lubang yang sama” akan kembali terjadi pada pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua (Pilgub) periode 2018-2023 yang menelan anggaran hampir setriliun rupiah, bila DPR Papua (DPRP) bersikukuh ikut terlibat sebagai penyelenggara Pilgub. Dan, tanda-tanda ke arah itu sudah tampak ketika Rabu 31 Januari 2018 dicapai kesepakatan DPRP juga terlibat sebagai penyelenggara Pilgub Papua 2018.

“Untuk masing-masing penyelenggara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, segera melakukan tugas dan wewenangnya; KPU Provinsi Papua melaksanakan klarifikasi dan verifikasi ijazah sebagai syarat calon kepada lembaga yang berwenang dengan mengikutsertakan DPR Papua,” demikian bunyi butir nomor 2 huruf “a” Berita Acara Kesepakatan yang diteken di Ruang Rapat Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Rabu 31 Januari 2018.

Berita acara kesepakatan masing-masing ditandatangani oleh Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Dr Sumarsono, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Soedarmo, Salah satu Asisiten Kemenkopolhukam Tedi Rustendi, Komisioner KPU RI Hasyim Asy’ari, Fritz Edward Siregar mewakili Bawaslu RI, Ketua Pansus Pilkada DPRP Thomas Sondegau, Jimmy Mabel mewakili MRP, dan Anggota Bawaslu Provinsi Papua Yacob Paisei.

Pertanyaannya: apa kesalahan (yang sama) itu? Untuk mendapatkan jawabannya, mari sejenak kita menengok ke balakang, mengingat dan melihat kembali rangkaian kejadian yang mengawali pelaksanaan Pilgub Provinsi Papua periode 2013-2018 lalu.

Niscaya masih segar dalam benak kita, Provinsi Papua pernah tanpa Gubernur dan Wakil Gubernur definitif hampir 2 tahun (sejak 26 Juni 2011 sampai dengan 8 April 2013). Penyebabnya, karena DPR Papua (DPRP) ngotot terlibat sebagai penyelenggara Pilgub. Dengan dalih Provinsi Papua berstatus Otonomi Khusus, DPRP lantas membentuk Panitia Khusus Pilkada yang bertugas ikut melaksanakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (bersama KPUD, Panwas, dan Majelis Rakyat Papua).

Ketika itu, peraturan yang menjadi rujukan DPRP dan Pansus Pilkada adalah Pasal 139 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Landasan yuridis PP Nomor 6 Tahun 2005 adalah (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; serta (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Rezim Pemilu Berubah

Hanya saja, para pihak yang bersikukuh DPRP terlibat menjadi penyelenggara Pilgub, entah tahu, entah tidak atau pura-pura tidak tahu alias masa bodoh, bahwa seiring perjalanan waktu, antara tahun 2005 sampai 2011 (sebelum Pansus Pilgub dibentuk), Pemerintah telah melahirkan dan memberlakukan sejumlah regulasi yang bertujuan agar penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada kian sesuai dengan asas-asas Pemilu, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen. Hal ini seiring dengan berubahnya rezim Pemilu dan Pilkada dari tidak langsung menjadi langsung.

Untuk maksud inilah, UU Nomor 12 Tahun 2003 kemudian dicabut. Sebagai pengganti,  diberlakukanlah UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum. Selanjutnya, UU Nomor 22 Tahun 2007 ini pun kemudian dicabut, setelah UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum diberlakukan pada 16 Oktober 2011. Perubahan UU ini berimplikasi pada hilangnya fungsi dan wewenang lembaga legislatif di seluruh Indonesia untuk memilih kepala dan wakil kepala daerah.

Bagaimana dengan dalih Otonomi Khusus yang menjadi “senjata” Pansus Pilkada DPRP bersikukuh ikut menjadi penyelenggra Pilgub Papua 2013? Untuk menemukan jawabannya, lagi-lagi mari sejenak menengok ke belakang.

Selain UU Nomor 12 Tahun 2003, landasan yuridis lain bagi PP Nomor 6 Tahun 2005 adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Seiring perjalanan waktu pula, Pemerintah kemudian memberlakukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, pada 16 April 2008. Salah satu hal substansial dari UU Nomor 35 Tahun 2008 adalah kewenangan DPRP memilih Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana tertera dalam Pasal 7 ayat (1) huruf “a” UU Nomor 21 Tahun 2001, DIHAPUS. Penghapusan ini sejalan dengan bergantinya rezim Pemilu/Pilkada dari tidak langsung oleh lembaga perwakilan rakyat, ke rezim Pemilu/Pilkada langsung oleh rakyat.

Selain itu, pada tahun 2008, Pemerintah juga melahirkan dan memberlakukan UU 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 42 UU Nomor 12 Tahun 2008 dengan jelas memaparkan tugas dan wewenang lembaga perwakilan rakyat di daerah: tidak ada satu pun ketentuan di dalamnya yang memberikan kewenangan kepada DPRD termasuk DPRP sebagai penyelenggara pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

Apa artinya? Artinya, pemberlakukan sejumlah regulasi setingkat Undang-Undang yang sudah disebutkan, dengan sendirinya mengakibatkan keberlakuan PP Nomor 6 Tahun 2005 batal demi hukum, sesuai asas lex superior derogate lex inferior (peraturan yang lebih tinggi membatalkan peraturan yang lebih rendah) dan asas lex posterior derogate lex priori (peraturan yang baru membatalkan peraturan yang lama).

Uji Materi Ditolak MK

Akan tetapi, merasa, mengklaim, dan menilai pemilihan gubernur dan wakil gubernur adalah bagian dari kekhususan Papua sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001, DPRP dan DPR Provinsi Papua Barat yang kala itu diketuai John Ibo dan Yosep Yohan Auri sepakat melakukan uji materi UU Nomor 35 Tahun 2008 ke Mahkamah Konstitusi. Kantor pengacara Bambang Widjojanto dipercaya sebagai kuasa kuasa DPRP dan DPR Papua Barat.

Tujuan para pemohon mengajukan uji materi ini adalah agar MK menyatakan penghapusan Pasal 7 ayat (1) huruf “a” UU Nomor 21 Tahun 2001 (DPRP dan DPR Papua Barat berwenang memilih gubernur dan wakil gubernur), bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Apabila dalil pemohon dikabulkan MK, maka DPRP dan DPR Papua Barat tetap punya wewenang memilih gubernur dan wakil gubernur. Bagaimana hasilnya?

Hasilnya, MK Menolak permohonan John Ibo – Yosep Yohan Auri cs! Dalam putusan Nomor 81/PUU-VIII/2010 yang dibacakan pada 2 Maret 2011, majelis hakim MK antara lain menyatakan, “... Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua adalah merupakan kekhususan Provinsi Papua yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh DPR Papua, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, UU 21/2001, tidak memenuhi kriteria kekhususan atau keistimewaan yang melekat pada daerah yang bersangkutan sebagaimana telah diuraikan pada paragraf [3.20], baik karena hak asal-usul yang melekat pada Provinsi Papua yang telah diakui dan tetap hidup, maupun karena latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata diperlukannya kekhususan atau keistimewaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Mahkamah, pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh DPRP [Pasal 7 ayat (1) huruf a UU 21/2001] serta tata cara pemilihan yang harus diatur dalam Perdasus [Pasal 11 ayat (3) UU 21/2001], adalah seiring dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD yang diberlakukan di daerah lainnya di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU 22/1999 yang berlaku pada saat itu. Kekhususan Provinsi Papua berkaitan dengan pemilihan gubernur yang berbeda dengan provinsi lainnya adalah hanya mengenai calon gubernur dan calon wakil gubernur yang harus orang asli Papua dan telah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP, sedangkan persyaratan dan mekanisme lainnya sama dengan yang berlaku di daerah lainnya di Indonesia. Seiring dengan perubahan cara pemilihan gubernur dan wakil gubernur dari pemilihan oleh DPRD Provinsi menjadi pemilihan langsung oleh rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi pula perubahan cara pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Papua dari pemilihan oleh DPRP menjadi pemilihan langsung oleh rakyat…

Sesesungguhnya putusan MK Nomor 81/PUU-VIII/2010 sudah terang benderang memaparkan posisi DPRP (dan DPR Papua Barat) dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur: yaitu tidak lagi berwenang!

Nyatanya, putusan MK tersebut tidak serta merta memupus keinginan dan kekukuhan sejumlah pihak di DPRP untuk (tetap) terlibat dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, dengan dalih Otonomi Khusus Papua.

Maka, menghadapi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua setelah Barnabas Suebu dan Alex Hesegem yang mengakhiri masa jabatannya pada 25 Juni 2011, DPRP lantas berinisiatif membentuk Pansus pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Mereka sama sekali mengabaikan putusan MK No 81/PUU-VIII/2010 yang dibacakan pada 2 Maret 2011!

Malahan untuk ‘melegalkan’ keinginannya itu, dibuatlah Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 6 Tahun 2011 yang disahkan pada 28 Desember 2011. ‘Hebatnya’ atau celakanya, payung hukum yang dirujuk adalah Pasal 139 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Padahal, dua landasan yuridis PP Nomor 6 Tahun 2005, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2003 sudah tidak berlaku lagi. Demikian pula dengan UU Otonomi Khusus Papua (UU Nomor 35 Tahun 2008) yang telah menghapus wewenang DPRP memilih gubernur dan wakil gubernur.

Namun kala itu, DPRP menutup mata dan telinga dari berbagai saran dan kritik bahwa kekukuhan sikapnya itu nyata-nyata menabrak UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, menabrak UU 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum, dan juga menabrak Putusan MK Nomor 81/PUU-VIII/2010.

Laksana anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, DPRP sama sekali tidak bergeming. Juga tak bergeming terhadap peringatan Mendagri Gamawan Fauzi, yang disampaikan lewat surat pertamanya Nomor 188.34/271/SJ tanggal 31 Januari 2012. Lewat suratnya ini, Pemprov Papua diminta Mendagri mengoreksi Perdasus Nomor 6 Tahun 2001 karena bertentang dengan UU Otonomi Khusus Papua. Untuk itu Mendagri meminta Penjabat Gubernur Syamsul Arief Rivai menyesuaikan Perdasus tersebut dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Namun surat Mendagri ini tidak digubris. Maka Mendagri kembali melayangkan surat pada 3 April 2012. Lewat suratnya bernomor 183.3/1177/SJ, Mendagri kembali menegaskan agar Penjabat Gubernur Papua dan DPRP melakukan perubahan terhadap Perdasus Nomor 6 Tahun 2011 dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dilaksanakan berdasarkan Perdasus Nomor 6 Tahun 2011, mengandung resiko hukum.

Sayang, lewat surat yang sama Mendagri Gamawan Fauzi juga ‘memberi angin’ kepada DPRP untuk ikut menjadi penyelenggara Pilgub dengan menyatakan, untuk meminimalkan resiko hukum dan melakukan percepatan pelaksanaan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, Menteri Dalam Negeri memberikan arahan pelaksanaan wewenang DPRP dalam verifikasi persyaratan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua perlu mendapat pertimbangan dan masukan KPU Provinsi Papua.

Panen Gugatan

Langkah kompromistik Mendagri Gamawan Fauzi yang menabrak sejumlah aturan ini, tampaknya terpaksa diambil menghadapi sikap Penjabat Gubernur Syamsul Arief Rivai dan DPRP yang tetap bersikukuh Pansus DPRP harus terlibat, tanpa memperhatikan norma konstitusi dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Buktinya pada 27 April 2012 DPRP menerbitkan Keputusan DPR Papua Nomor 064/Pim DPRP-5/2012 tentang Jadwal Tahapan Pelaksanaan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Papua.

Kontan saja keputusan DPRP ini memantik gugatan. Prihatin atas sikap dan tindakan DPRP menyelenggarakan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Papua tanpa wewenang yang sah, Barnabas Suebu, menggugat Mendagri ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, karena menerbitkan surat Nomor 188.3/1177/SJ tanggal 3 April 2012 yang memberi angin kepada DPRP teribat sebagai penyelenggara.

Hasilnya, PTUN Jakarta berpendapat penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Papua oleh DPRP dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan kepentingan peserta Pemilukada. Untuk itu, Majelis berpendapat adanya keadaan mendesak untuk dilakukan penundaan pelaksanaan objek sengketa Tata Usaha Negara (TUN) yaitu surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188.3/1177/SJ tanggal 3 April 2012.

Selain Barnabas Suebu, KPU RI dan KPU Provinsi Papua pun tak ketingalan menggugat. Menilai kewenangannya telah diambil alih oleh Pemprov Papua dengan cara menerbitkan Perdasus Nomor 6 Tahun 2011 dan Keputusan DPR Papua Nomor 064/Pim DPRP-5/2012 tanggal 27 April 2012, KPU RI lantas melayangkan surat gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Pada 19 September 2012, MK menyampaikan putusannya. Butir pertama amar putusan Nomor 3/SKLN/-X/2012, MK menyatakan, “Menyatakan Pemohon (KPU) berwenang melaksanakan semua tahapan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur di Papua, termasuk meminta kepada Majelis Rakyat Papua untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua.”

Ketika membacakan putusan tanggal 19 September 2012, Majelis Hakim MK kembali mengingatkan telah adanya Putusan MK Nomor 81/PUU-VIII/2010, bertanggal 2 Maret 2011, yang telah menyatakan, pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh DPRP, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a UU 21/2001, tidak memenuhi kriteria atau tidak termasuk kekhususan Papua.

Majelis Hakim MK kembali mengingatkan bahwa berdasarkan Putusan Nomor 81/PUU-VIII/2010, kekhususan dalam bidang pemerintahan di Provinsi Papua mencakup: (i) Adanya Majelis Rakyat Papua (MRP), yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat, budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan umat beragama; (ii) Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) merupakan nomenklatur yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, yaitu DPRD provinsi. Demikian pula terdapat perbedaan perekrutan anggota DPRP, yakni sebagian anggotanya diangkat, sedangkan sebagian lainnya dipilih melalui pemilihan umum; (iii) Adanya Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) di samping Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi), dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua; (iv) Perbedaan nomenklatur, yakni adanya distrik yang pada dasarnya adalah kecamatan di provinsi lain; dan (v) Calon gubernur dan calon wakil gubernur harus orang asli Papua.

Pertimbangan hukum butir 3.12 putusan Nomor 3/SKLN/-X/2012 dengan terang juga menyebutkan, “Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua tetap harus berdasarkan asas-asas pemilihan umum, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen (mandiri). Maksud UUD 1945 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 tersebut, tidak mungkin dicapai apabila penyusunan dan penetapan pedoman teknis tentang tahapan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua didasarkan atas Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua yang disusun bersama antara DPRP dan Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP, serta penyelenggaraan proses pendaftaran dan verifikasi bakal Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dilakukan oleh DPRP. Sebab, DPRP sebagai lembaga perwakilan rakyat Papua dan Gubernur Papua terdiri atas unsur partai politik dan perorangan yang dapat menjadi pendukung atau pelaku dan memiliki kepentingan langsung dalam kompetisi Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua tersebut. Sekiranya DPRP dan Gubernur, serta MRP akan mengatur hal-hal yang terkait dengan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, maka materinya terbatas mengenai persyaratan dan proses penentuan orang asli Papua sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

 Nasib Perdasus 6/2011

Selain itu, pada pertimbangan hukum putusan Nomor 3/SKLN-X/2012, Majelis Hakim MK juga sudah memastikan “nasib” Perdasus Nomor 6 Tahun 2011 yang ketika itu dijadikan Pansus Pilkada DPRP sebagai payung hukumnya.

Menimbang, meskipun berdasar pendapat Mahkamah permohonan Pemohon (KPU) cukup beralasan hukum dalam arti bahwa semua tahapan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua menjadi kewenangan dan harus ditangani oleh KPU (Pemohon), namun oleh karena Termohon I (DPRP) melaksanakan kewenangan berdasarkan Perdasus yang dibuat bersama oleh Termohon I dan Termohon II (Gubernur Papua), serta telah memulai proses penjaringan yaitu pendaftaran, verifikasi, dan penetapan bakal pasangan calon berdasarkan Perdasus yang dianggap sesuai dengan UU 21/2001, maka demi kemanfaatan hukum, Mahkamah perlu menetapkan posisi hukum atas hasil penjaringan bakal pasangan calon yang dihasilkan berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut. Menurut Mahkamah, apa yang telah dilakukan oleh Termohon I dan Termohon II dapat diterima sebagai bagian dari proses yang sah khusus untuk Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua saat ini dan sekali ini (einmalig),” demikian butir 3.14 pertimbangan hukum Majelis Hakim MK dalam putusan Nomor 3/SKLN/-X/2012.

Tak hanya Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung (MA) RI dalam amar putusan perkara Nomor 16 P/HUM/2012 tanggal 28 Februari 2013 juga sudah memastikan “keberlangsungan hidup” Perdasus Nomor 6 Tahun 2011 maupun “induknya” yaitu Pasal 139 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.

Butir 2 amar putusan MA Nomor 16 P/HUM/2012 berbunyi, “Menyatakan Pasal 139 ayat 1, 2, 3 PP Nomor 6 Tahun 2005 dan Pasal 1 angka 5, 17 dan 18, Pasal 4 ayat 1 dan 2, Pasal 5 ayat 1, Pasal 6 ayat 4, Pasal 7, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 17, 22. 23, 25, 26 ayat 2 dan 3, Pasal 28 ayat 2, Pasal 29 dan Pasal 30 Perdasus Nomor 6 Tahun 2011, bertentangan dengan: (i) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; (ii) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan (iii) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

MA juga memutuskan, “Pasal 139 PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan Pasal, serta Peraturan Daerah Khusus Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tidak sah dan tidak berlaku untuk Pemilihan Umum Gubernur  dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua,” demikian butir 3 amar putusan MA Nomor 16 P/HUM/2012.

MA juga memerintahkan termohon I (Presiden RI) untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku Pasal 139 ayat 1, 2, dan 3 PP Nomor 6 Tahun 2005, serta termohon II (kala itu Penjabat Gubernur Papua) untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku Pasal 1 angka 5, 17 dan 18, Pasal 4 ayat 1 dan 2, Pasal 5 ayat 1, Pasal 6 ayat 4, Pasal 7, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 17, 22. 23, 25, 26 ayat 2 dan 3, Pasal 28 ayat 2, Pasal 29 dan Pasal 30 Perdasus Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur.

Dari fakta-fakta hukum yang telah diuraikan, sejatinya sudah sangat terang benderang tidak ada satu pun ketentuan perundangan-undangan yang memberikan ruang kepada DPRP, termasuk Pansus Pilkadanya, untuk ikut berpartisipasi sebagai penyelenggara Pilgub Papua.

Sikap sejumlah oknum di DPRP yang bersikukuh DPRP (masih) punya kewenangan yang diberikan UU Otonomi Khusus Papua maupun turunannya Perdasus Nomor 6 Tahun 2011, kini terbukti argumentasi tanpa dasar. Maka bila oknum-oknum tersebut tetap bersikukuh, maka yang terpampang di Hadapan kita adalah ketidakpastian hukum jilid II yang amat rawan gugatan, dan hanya menguras sumberdaya kita secara sia-sia. Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. ***

(Penulis adalah Mantan Wartawan SKM Tifa Irian, kini Anggota Dewan Redaksi Harian Bisnis Papua)


BACA JUGA

Siapapun Anak Papua Bisa Mencalonkan Diri Sebagai Cagub Papua

Jumat, 19 April 2024 | 17:51 WIB

Sabtu Halal Bihalal Jurnalis se Jayapura, Vanwi Subiyat: Jadi Ajang Temu Paling Romantis

Kamis, 18 April 2024 | 18:59 WIB

Freeport Indonesia Bina Pengusaha Muda Papua melalui Papuan Bridge Program

Kamis, 18 April 2024 | 18:48 WIB

Freeport Setor Rp3,35 Triliun Bagian Daerah atas Keuntungan Bersih 2023

Kamis, 18 April 2024 | 04:58 WIB

Seorang Anggota Polres Yahukimo Ditemukan Tewas dengan Kondisi Mengenaskan

Selasa, 16 April 2024 | 20:07 WIB
TERKINI

Siapapun Anak Papua Bisa Mencalonkan Diri Sebagai Cagub Papua

20 Jam yang lalu

Sabtu Halal Bihalal Jurnalis se Jayapura, Vanwi Subiyat: Jadi Ajang Temu Paling Romantis

1 Hari yang lalu

Freeport Indonesia Bina Pengusaha Muda Papua melalui Papuan Bridge Program

1 Hari yang lalu

Kembalikan Uang Pemudik Rp100 Juta, Aiptu Supriyanto Dihadiahi Sekolah Perwira dari Kapolda Lampung

1 Hari yang lalu

Tempat Produksi Miras CT di Wamena Jayawijaya Digerebek Polisi

1 Hari yang lalu
Kontak Informasi wartaplus.com
Redaksi: wartaplus.media[at]gmail.com