IPDN Dan Keberpihakan Kepada Orang Asli Papua
Oleh: Peter Tukan
Gonjang-ganjing, diskusi dan polemik terkait proses penerimaan calon mahasiswa putra-putri Orang Asli Papua (OAP) di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang kampusnya berada di kawasan Waena, Kota Jayapura, terus bergulir hingga pada 12 September 2018, Ketua MRP, Timotius Murib, Ketua DPRP, Yunus Wonda dan Gubernur Papua Lukas Enembe mengeluarkan pernyataan tertulis guna menyudahi polemik yang berkepanjangan ini.
Isi utama dari pernyataan tersebut adalah membatalkan seluruh proses seleksi yang selama ini sudah dilakukan oleh panitia seleksi.
Adapun alasan dikeluarkannya pernyataan pembatalan tersebut adalah bahwa (1) Hasil seleksi calon praja IPDN Tahun 2018 kuota Nasional berjumlah 56 orang, hanya 4 OAP yang dinyatakan lulus; (2) Hasil pengumuman seleksi afirmasi Khusus bagi OAP berjumlah 91 orang namun terdapat 11 orang Non Asli Papua yang dinyatakan lulus; (3) Terdapat lima orang yang diluluskan tanpa mengikuti tahapan seleksi pada afirmasi Khusus itu ; (4) tidak adanya pemerataan pada hasil pengumuman yang mewakili dari setiap 29 Kabupaten/Kota di Provinsi Papua.
Pernyataan pembatalan hasil seleksi calon praja IPDN tersebut, patut kita dukung sebagai bagian dari penguatan pelaksanaan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang mengedepankan semangat, sikap dan tindakan keberpihakan (affirmative action) kepada OAP dalam seluruh proses pembangunan Tanah Papua.
Ke depan, kita tentu berharap, tidak hanya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada banyak putra-putri OAP untuk mengenyam pendidikan calon praja di IPDN di Papua tetapi juga memberikan kesempatan seluas dan sebanyak mungkin kepada putra-putri OAP ini untuk tidak hanya belajar di IPDN yang berada di Papua tetapi juga di luar Tanah Papua sekaligus memberikan kesempatan kepada mereka untuk juga menjadi praja (pelayan dan pengayom) rakyat di daerah lain dalam wilayah Nusantara tercinta.
Apa yang diperjuangkan para pemimpin di daerah ini dalam rangka penerimaan calon praja IPDN, kiranya dipahami dalam konteks “keberpihakan” pada OAP, bukan dalam konteks berkobarnya semangat primordialisme sempit yang eksklusif.
Bagaimana pun juga, semangat dan politik afirmasi tidak identik dengan exclusivisme dan primordialisme sempit.
Keberpihakan mengandaikan pemberian kesempatan seluas-luasnya, memberikan prioritas dan memberikan ruang pertama bagi OAP, sembari tetap bersikap inclusif artinya terbuka menerima orang lain di luar OAP sebagai saudara dan rekan seperjuangan hidup di Tanah Papua.
Kebijakan afirmasi khusus bagi OAP diberikan oleh UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua karena disadari bahwa hingga kini masih terdapat kesenjangan di berbagai bidang kehidupan antara OAP dengan yang bukan OAP di Tanah Papua ini, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, lapangan pekerjaan dan sebagainya.
Keberpihakan kepada putra-putri OAP dalam seleksi penerimaan calon praja IPDN, tidak berarti mereka yang mengikuti seleksi itu masuk begitu saja tanpa seleksi apapun juga, tetapi diharapkan persyaratan bagi mereka yang mengikuti seleksi itu “diperhatikan dan disesuaikan” dengan kondisi pribadi dan sosial-budaya peserta seleksi.
Sebagai contoh, jika pada persyaratan umum, dipatok nilai delapan hingga sepuluh barulah dapat dinyatakan lulus dan diterima di IPDN, maka khusus untuk putra-putri OAP, diberi persyaratan sedikit lebih lunak yaitu kurang dari ketentuan umum, seperti minimal mencapai nilai enam atau tujuh barulah dapat dinyatakan lulus dan diterima di IPDN.
Nantinya akan terus dilakukan pendampingan khusus bagi mahasiswa OAP selama masa belajar mereka di IPDN.
Singkat kata, afirmasi khusus tidak boleh sampai mengabaikan persyaratan yang diberikan karena sebenarnya, dalam proses belajar mengajar, hal yang paling pertama dan utama adalah calon mahasiswa (praja) sendiri harus bermutu (memenuhi persyaratan), barulah setelah itu dia menjadi OAP yang terbuka bagi semua orang (inclusive) .
Adalah merupakan suatu kegembiraan dan kebahagian tersendiri apabila calon praja itu, pada dasarnya (dari dirinya sendiri) dia memang orang yang bermutu (cerdas) dan secara kebetulan sekali, dia yang bermutu (cerdas) itu adalah OAP!
Surat Edaran Para Uskup Katolik
Para Uskup-Pemimpin Gereja Katolik dari lima Keuskupan di Tanah Papua yaitu Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Manokwari-Sorong, Keuksupan Agats dan Keuskupan Timika, pada 8 Agustus 2018 lalu mengeluarkan “Surat Edaran” yang antara lain menyatakan bahwa banyak hal yang dirasakan masih kurang dalam kehidupan bersama di Tanah Papua, antara lain belum terpenuhinya rasa keadilan, belum tercapainya kesejahteran rakyat, belum sepenuhnya ada penegakan hukum dan belum sepenuhnya terwujud penghormatan HAM, khususnya masyarakat Papua.
Hasil kekayaan alam belum digunakan dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga terjadi kesenjangan dengan aderah lain.
“Dalam banyak bidang lain, tidak hanya dalam bidang politik dan pemerintahan, OAP belum menjadi tuan di tanah sendiri karena belum memegang peranan yang menentukan dan menguntungkan mereka,” tulis para Uskup Gereja Katolik dalam Surat Edarannya itu.
Lebih lanjut para Uskup mengatakan, penambahan penduduk dalam jumlah besar dari luar Papua menciptakan persingan yang tidak seimbang dalam mencari lapangan kerja. Orang Asli Papua kalah bersaing.
Banyak lapangan kerja, lebih-lebih di sektor informal, dikuasai para pendatang. Hal yang dibutuhkan OAP adalah perlindunagn nyata dan dukungan yang tegas dari penyelenggara Pemerintahan.
Karena, justru dalam sektor informal itu, yang sebenarnya bisa ditangani OAP, paling dirasakan persaingan yang tidak seimbang.
“Maka kami minta agar dalam usaha-usaha di sektor informal itu, para pendatang dibatasi dan masyarakat setempat dilatih untuk bergiat di sektor-sektor itu,” kata Para Uskup Gereja Katolik ini.
Pengalaman Masa Lalu
Saya punya pengalaman khusus dan sangat monumental ketika hidup dan berkarya cukup lama di sebuah daerah yang sudah lepas dari pangkuan ibu pertiwi Indonesia.
Daerah itu kini sudah merupakan sebuah Negara Berdaulat yaitu Negara Timor Leste (sebelum merdeka bernama Timor Timur).
Masa remaja saya habiskan di wilayah Timor (Timor Barat dan Timor Timur) dan ketika berkarier sebagai jurnalis, saya lama bekerja sebagai jurnalis di Timor Timur hingga wilayah itu merdeka melalui jajak pendapat (referendum) September 1999.
Setelah Timor Leste menjadi sebuah Negara Berdaulat, saya masih juga melakukan liputan jurnalisitik di negara itu.
Pada satu ketika di tahun 1995, usai terjadi sebuah insiden pertikaian massa di Kota Dili antara penduduk asli Timor Timur dengan warga masyarakat yang datang dari luar Timor Timur hingga menelan korban jiwa, seorang petinggi TNI saat itu yakni Komandan Korem 164/Wira Dharma Timor Timur, Kol. (Inf) Kiki Syahnakri dengan sangat tegas meminta agar semua pendatang di wilayah itu bersikap “Tahu Diri”.
Jika para penadatang tahu diri, maka kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara di Timor Timur akan aman, tenteram dan sejahtera.
Pernyataan singkat dari Kolonel Kiki Syahnakri ini langsung mendapat tanggapan positif dari Bapak Frans Seda, seorang tokoh umat Katolik Indonesia yang juga mantan Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan pada era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, yang ketika diwawancarai wartawan Majalah GATRA, 3 Oktober 1995 mengatakan: “Saya juga melihat, Danrem Timor Timur, Kiki Syahnakri itu orang baik dan sangat disenangani rakyat setempat di sana. Danrem itu mengatakan dengan sangat tegas supaya para pendatang dari luar Timor Timur tahu diri,” kata Frans Seda yang hasil wawancara itu diterbitkan dalam Buku “Kekuasaan dan Moral” Penerbit Grasindo, hal.189.
*Peter Tukan: wartawan aktif (1984-2010)