Proses Wakil Bupati Keerom dan Kesempatan Bagi Orang Asli Papua
Oleh: Peter Tukan
PROSES penetapan Wakil Bupati Keerom, Provinsi Papua, pengganti mantan Wakil Bupati Muhammad Markum (yang kini menjadi Bupati Keerom menggantikan Bupati Celsius Watae yang berhalangan tetap meninggal dunia) terasa semakin berlarut-larut menuju titik krusial berpotensi konflik.
Bersamaan dengan itu, masyarakat asli Keerom yang adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Orang Asli Papua (OAP) menginginkan segera hadirnya seorang Wakil Bupati anak asli Keerom, lantaran hingga hari ini, baik Bupati, Ketua DPRD maupun Sekretaris Daerah (Sekda) Keerom bukan OAP.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua, memang tidak mengamanatkan Bupati dan Wakil Bupati di wilayah Provinsi Papua harus OAP. UU Otsus Pasal 12 hanya menyatakan bahwa “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat (a) Orang Asli Papua”.
Walaupun UU Otsus hanya mensyaratkan Gubernur dan Wagub Papua harus OAP namun paling tidak, spirit atau semangat UU tersebut berlaku juga di tingkat kabupaten dengan pemahaman bahwa paling tidak, ada “sharing” (berbagi) kekuasaan di lembaga eksekutif dan yudikatif Kabupaten Keerom.
Dengan demikian ada semangat “Kebhinekaan, kemajemukan, pluralisme” dalam memimpin rakyat yang bermukim di wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua Nugini (PNG) itu.
Jangan sampai terlihat dengan mata telanjang bahwa semuanya “diborong habis” oleh orang yang bukan OAP karena hal ini akan langsung menohok “jantung perasaan dan hak kesulungan anak negeri Keerom ”dan dapat membuyarkan semangat keikutsertaan OAP dalam membangun negerinya.
Dengan adanya “sharing” kekuasaan maka Orang Asli Keerom yang adalah OAP akan merasa sebagai “tuan di negerinya sendiri”, merasa bahwa dia juga diakui keberadaannya di tanah kelahirannya sendiri sekaligus berhak membangun tanah leluhurnya.
Melalui siaran RRI Jayapura, Bupati Keerom, Muh Markum menyatakan bahwa proses pencalonan Wakil Bupati Keerom hingga saat ini masih menunggu surat usulan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sedangkan Partai Golkar sudah mengusulkan nama bakal calon Wakil Bupati Keerom.
“Untuk wakil bupati, ada dua partai pengusung yaitu Partai Golkar dan PKS. Pemkab Keerom tetap jalankan pemerintahan, saya sudah hampir satu bulan tidak keluar, minggu besok saya keluar sesuai arahan Gubernur. Saya harapkan Pak Sekda harus selalu berada di tempat,”katanya.
Dari pernyataan tersebut, muncul berbagai pertanyaan cerdas antara lain, mengapa sejak awal proses penjaringan dan pencalonan wakil bupati (usai pelantikan Muh.Markum menjadi Bupati definitive Keerom, 20 Februari 2018), PKS tidak bersama-sama dengan Partai Golkar melakukan proses pencalonan wakil bupati Keerom seperti ketika Partai Golkar dan PKS pada tahun 2014-2015 lalu mengusulkan Celsius Watae dan Muh. Markum menjadi calon Bupati dan calon Wakil Bupati Keerom untuk dipilih pada Pilkada Tahun 2015 lalu?
Tentu Golkar punya alasan kuat yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum untuk sendiri (tanpa bersama PKS) memroses calon Wakil Bupati Keerom sehingga pada 25 September lalu DPD Golkar Kabupaten Keerom menyerahkan Surat kepada Bupati Keerom yang berisi dua nama bakal calon Wakil Bupati yaitu Herman Yoku dan Piter Gusbager untuk diteruskan kepada DPRD Keerom guna dilakukan pemilihan dan penetapan sebagai Wakil Bupati Keerom sisa masa bakti 2016-2021.
Mengapa setelah Partai Golkar mengirimkan surat kepada Bupati Keerom, (surat tertanggal 18 September 2018 dan diterima Bupati Markum 25 September 2018) barulah PKS sendiri mulai beraksi mengusulkan nama bakal calon Wakil Bupati lagi?
Undang-Undang dan peraturan mana yang mengamanatkan PKS atau Partai Golkar mengusulkan sendiri–sendiri nama bakal calon Wakil Bupati? Apabila ada perintah undang-undang yang menyatakan bahwa Partai Golkar bersama-sama dengan PKS menjaring dan mengusulkan nama bakal calon Wakil Bupati, mengapa hal itu tidak dilakukan setelah Markum dilantik sebagai Bupati definitive Kabupaten Keerom 20 Februari 2018 lalu, tetapi membiarkan Partai Golkar sendiri berproses (berbulan-bulan) hingga pada akhirnya Bupati Markum melalui siaran RRI Jayapura mengeluarkan pernyataan bahwa PKS juga mengusulkan sendiri calon wakil bupati? Camkanlah: Barangsiapa yang meniup angin, dia akan menuai badai!
Setelah wafatnya Bupati Keerom yang juga adalah Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Keerom, Celsius Watae pada 10 Januari 2018, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Keerom terlihat begitu cepatnya memroses Muhammad Markum yang saat itu menjabat sebagai Wakil Bupati Keerom untuk menjadi Bupati Keerom.
Pada 20 Februari 2018, Muh. Markum dilantik oleh Gubernur Lukas Enembe atas nama Menteri Dalam Negeri menjadi Bupati definitive Kabupaten Keerom hingga tahun 2023 mendatang.
Waktu terus bergulir begitu cepatnya! Usai pelantikan Muh Markum, Partai Golkar Kabupaten Keerom (yang kadernya Celsius Watae telah meninggal dunia) mulai memproses pencalonan Wakil Bupati untuk mendampingi Muh Markum.
Semua tahapan telah dilalui dengan segala lika-likunya dan berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, DPD Golkar Kabupaten Keerom menulis surat Nomor: P-273/DPD/P.Golkar/KR/IX/2018 tertanggal 18 September ditujukan kepada Bupati Keerom yang berisi usulan dua nama bakal calon pengganti antar waktu Wakil Bupati Keerom. Dua nama tersebut adalah Herman Yoku dan Piter Gusbager.
Pada 25 September 2018, Bupati Markum menerima surat tersebut langsung dari Pengurus DPD Golkar Kabupaten Keerom dan berharap, Bupati Markum meneruskan surat itu kepada Pimpinan DPRD Keerom untuk selanjutnya digelar pemilihan dan penetapan salah satu dari dua nama bakal calon Wakil Bupati Keerom yang diusulkan Partai Golkar itu menjadi Wakil Bupati Keerom definitif hingga tahun 2021.
Rakyat butuh penjelasan
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar melalui Surat Nomor : R-772/GOLKAR/VII/2018, Tanggal 9 Agustus 2018 Tentang Persetujuan Calon Pengganti Antar Waktu Wakil Bupati Keerom mencantumkan dua nama bakal calon Wakil Bupati Keerom untuk diproses lebih lanjut di DPD Golkar Kabupaten Keerom dan selanjutnya di DPRD Kabupaten Keerom guna dipilih dan ditetapkan menjadi Wakil Bupati Keerom. Dua nama itu adalah Herman Yoku dan Piter Gusbager.
Walaupun dua nama tersebut sudah diserahkan ke tangan Bupati Markum (25 September 2018) untuk diteruskan ke DPRD Keerom namun Bupati Markum sendiri belum memroses surat tersebut. Malahan, Bupati Markum sendiri memberikan pernyataan baru di RRI bahwa masih menunggu usulan nama dari PKS.
Berbagai dugaan dan perbincangan di tengah masyarakat Keerom terkait semakin berlarutnya proses pemilihan dan penetapan Wakil Bupati Keerom ini yang menjurus kepada terjadinya konflik terbuka di wilayah itu.
Dugaan (praduga tak bersalah) dan berbagai perbincangan ini harus segera dijelaskan kepada rakyat agar tidak terjadi konflik terbuka yang dapat merugikan semua pihak dan memorakporandakan tatanan kehidupan kemasyarakatan, politik dan Kamtibmas di wilayah perbatasan antarnegara RI dengan PNG ini.
Dugaan atau kasak-kusuk di dalam masyarakat ini harus segera dijelaskan agar terbukti bahwa “tidak ada dusta di antara kita”.
Dugaan semakin berlarutnya proses pencalonan dan pemilihan serta penetapan Wakil Bupati Keerom yang harus dijelaskan itu adalah: Pertama: Ada dugaan sangat kuat bahwa Bupati Markum sendiri tidak merasa cocok untuk nantinya bekerjasama dengan salah satu dari dua nama yang diusulkan Partai Golkar guna dipilih dan ditetapkan menjadi Wakil Bupati Keerom mendampinginya hingga tahun 2021 mendatang.
Markum sebenarnya punya “calon tersendiri” yang ternyata tidak terakomodir oleh Partai Golkar. Markum inginkan agar calon wakilnya itu adalah orang yang selama dia menjadi Bupati Kerom, mudah “diatur” atau ikut kemauannya selaku Bupati Keerom.
Dua nama yang diusulkan Partai Golkar itu sepertinya akan sulit bekerjasama dengan dirinya dengan konsekuensi, akan sulit maju (lagi) untuk periode kedua 2016-2021
Kedua: Hingga kini belum ada komitmen pribadi antara dirinya dengan calon wakilnya itu untuk nantinya setelah tahun 2021 maju bersamanya untuk menjadi Bupati dan Wakil Bupati Keerom periode (kedua) 2021-2026 padahal Markum sendiri ingin menjadi Bupati Keerom dua periode 2016-2021 dan 2012-2026.
Ketiga: Ada dugaan bahwa berlarut-larutnya proses pemilihan dan penetapan wakil bupati Keerom diakibatkan adanya permainan politik dari salah satu partai politik di Keerom yang bernafsu “menguasai” perpolitikan di wilayah perbatasan RI dengan PNG ini, baik di lembaga legislative maupun eksekutif.
Ada upaya untuk menggeserkan pengaruh Partai Golkar menjelang Pemilu Legislatif 2019 mendatang sekaligus menghapus dominasi Partai Golkar di wilayah ini. Semua masyarakat mengetahui bahwa Kabupaten Keerom merupakan basis suara Partai Golkar.
Dugaan Ketakutan Bupati
Keempat: Ada dugaan ketakutan pribadi Bupati Markum akan kehilangan “kerajaan bisnisnya” diKabupaten Keerom apabila dia mendapatkan seorang wakil bupatiyang mendampinginya selama sisa masa jabatannya sebagai Bupati Keerom hingga 2021 mendatang.
Kelima: Ada dugaan bahwa Bupati Keerom mengalami ketakutan yang cukup fatal jika dia mendapatkan wakil bupati yang tidak mampu menolongnya apabila pada satu ketika selama dia menjadi Bupati Keerom hingga 2021, masyarakat atau kelompok masyarakat membuka kembali aib dugaan korupsi Milaiaran rupiah yang (diduga) dilakukannya ketika dirinya menjabat sebagai Wakil Bupati Keerom mendampingi Bupati Keerom Jusuf Wally pada periode 2011-2016 lalu, padahal mungkin pihak Kejaksaan Neferi Jayapura sudah “menyudahi”nya.
Keenam: Upaya berlarut-larutnya proses pemilihan dan penetapan wakil bupati Keerom ini pun diduga dilakukan secara sangat sengaja oleh Bupati Markum bersama beberapa orang politisi di Keerom sampai mendapatkan wakil bupati yang benar-benar diinginkan oleh Markum sendiri dan oleh partai tertentu yang ingin “menguasai” perpolitikan di Kabupaten Keerom dan bila perlu, dianya tetap sendiri menjadi Bupati Keerom hingga akhir masa jabatannya tahun 2021 mendatang.
Semua dugaan (praduga tidak bersalah) ini harus segera dijelaskan oleh yang bersangkutan agar tidak ada lagi kecurigaan rakyat terhadap pemimpinnya yang dapat mengarah kepada konflik berkepanjangan yang dapat menelan korban jiwa dan harta benda.
Apabila dugaan ini tidak segera dijelaskan secara jujur maka kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya akan sirna padahal kepercayaan (trust) merupakan modal utama bagi keberhasilan pembangunan politik di sebuah wilayah pemerintahan.
Kita memang tidak boleh menuduh seseorang karena menuduh harus memiliki bukti yang kuat, namun kita sendiri dapat menduga-duga setelah mencermati dan mengikuti dengan saksama pergulatan politik dan dinamika kehidupan kemasyarakatan di wilayah ini.
Bagaimanapun dan sampai kapanpun juga, masyarakat asli Keerom yang adalah bagian integral dari masyarakat Orang Asli Papua dan bagian tidak terpisahkan dari bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus diberikan tempat dan kesempatan untuk memimpin negerinya sendiri yang adalah warisan leluhurnya tanpa dihalang-halangi atau diputarbalikkan dan dibohongi oleh berbagai kepentingan kelompok tertentu yang akan merugikan mereka, padahal Orang Asli Keerom adalah “tuan di negeri sendiri”. Siapa yang meniup angin'akan menuai badai!
*Peter Tukan: Wartawan aktif 1984-2010.