Petani Kopi Menaruh Harapan pada John Wempi
JAYAPURA,- Ketika melakukan blusukan ke Pabrik Kopi Baliem Arabica di Kampung Yagara, Kabupaten Jayawijaya, Kamis (8/3). Calon Gubernur Provinsi Papua, John Wempi Wetipo (JWW) dititipkan sebuah harapan dari para petani kopi untuk bisa menduniakan produksi kopi dari tanah asalnya tersebut.
Saat menjalani masa kampanye dialogisnya di Kabupaten Jayawijaya itu, JWW melihat dari dekat komoditas kopi yang menjadi unggulan di kabupaten tersebut. Mengingat salah satu poin dalam visi misi yang diusung pasangan John Wempi Wetipo-Habel Melkias Suwae atau yang biasa disapa sebagai pasangan JOSUA adalah peningkatan ekonomi kerakyatan.
John Wempi berharap, Kopi Arabika Wamena yang telah ditanam turun menurun oleh masyarakat Wamena, menjadi komoditas yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat. John menilai masalah kopi menjadi budaya masyarakat Baliem.
Menanam kopi bagi masyarakat Wamena, tidak dilakukan saat ini saja, tetapi sudah dilakukan berpuluh tahun lamanya yang dibawa oleh Missionaris Belanda.
“Kualitas Kopi Wamena berbeda dengan kopi daerah lain, dimana Kopi Wamena tidak dipanen dengan sistem sisir, tetapi memilih biji yang sudah merah atau masak. Dengan cara panen itulah Kopi Wamena bisa mempertahankan kualitasnya,” kata Wempi.
Wempi yang menjabat sebagai Bupati Jayawijaya sepanjang dua periode menyebutkan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya telah lama mengembangkan perkebunanan kopi melalui Program Gertak atau Gerakan Tanam Kopi bagi masyarakat di Kabupaten Jayawijaya.
Secara geografis Kabupaten Jayawijaya yang terletak diatas ketinggian rata-rata 3.800-4.000 meter diatas permukaan laut, sangat cocok untuk ditanami kopi.
“Tanam kopi memiliki umur yang panjang hingga 30 tahun. Jika tanam kopi dimulai saat anak kita masih TK, maka hingga biaya kuliah, bisa dilakukann dengan uang dari hasil panen kopi,” jelasnya.
Saat ini yang menjadi masalah adalah rendahnya harga kopi dibawah rata-rata, hingga menyebabkan masyarakat malas kembali untuk menanam kopinya. “Harga yang ditawarkan per kilogram kopi saat panen bisa Rp 45 ribu hingga Rp 60 ribu,” kata Wempi.
Ke depan, pemerintah perlu memberikan dana tambahan untuk mendorong petani kopi lebih mengembangkan hasil panennya. Dana tambahan tersebut bisa bersumber dari dana Otsus, melalui pemberian bantuan bibit, bantuan alat pembukaan lahan, lalu bagaimana masyarakat bisa mengembangkan usaha yang lebih luas lagi.
“Itulah makanya kita datang hari ini, untuk melihat petani kopi, sehingga jika atas kehendak Tuhan, saya terpilih menjadi Gubernur Papua, pasti akan kami programkan untuk pengembangan petani kopi didaerah pengunungan Papua,” kata Wempi mantap.
Sementara itu, Maximus Lany, salah satu petani Kopi Arabika Wamena yang beruntung karena pernah dididik oleh Starbuck yang merupakan nirlaba kopi asal Amerika Serikat, menjelaskan kondisi produksi kopi saat ini sedang menipis, karena belum datang masa panen. Biasanya pada Januari hingga Mei adalah musim bunga. Lalu diikuti bulan Juni-Juli musim panen dan proses pembersihan kopi hingga menghasilkan keuntungan bisa dirasakan hingga Desember.
“Petani Kopi Wamena menjaga cita rasa kopi hingga masa panen. Petani tidak memetik buah yang masih hijau, tetapi harus sudah masak yang berwarna merah,” ujarnya.
Sepanjang 2017, kami telah mengirim 28 ton kopi ke Jayapura dan Timika. Ia berharap jumlah itu akan terus bertambah, jika dilakukan dengan perluasan lahan bagi petani kopi.
Dirinya minta pemerintah ikut membatu membuka lahan baru. Apalagi jika Pak Wempi Wetipo menjadi Gubernur Papua, harus tolong petani kopi di Pegunungan Tengah Papua. Apalagi masyarakat setempat menganggap kopi adalah emas bagi kehidupannya.
“Kami yakin Pak Wempi bisa menolong petani kopi, untuk kehidupan yang lebih kami. Kami dukung bapak menjadi Gubernur Papua,” ucapnya. [Djarwo]