Oleh: Karl Karoluz Wagab Meak.
Kemarin siang, saya duduk, hampir tiga jam, membaca sebuah buku yang ditulis oleh MAW Brouwer disebuah perpustakaan kota. Buku itu adalah bunga rampai opini dan esay-jenaka yang ditulisnya sepanjang tahun 1969-1973. Rangkuman tulisannnya diterbitkan oleh Gramedia ditahun 1980-an atau 1900-an. Buku itu sangat lama (tua), uzur, juga sedikit tak terurus tetapi masih relevan dengan kondisi kekinian.
Karena itu di Perpustakaan, buku itu secara tidak sengaja saya ambil dirak karena judulnya mirip dengan bukunya Dahlan Iskan (Pendiri Jawa Pos dan Mantan Menteri BUMN). Setelah membaca, hampir dua jam lebih, kemudian saya baru disadarkan bahwa MAW Brouwer adalah seorang penulis yang hebat dan nama itu sebelumnya pernah saya jumpai (sedikit lupa, sambil melacak kembali ingatan yang hilang). Kesan prestise itu memang terlambat, padahal Brouwer itu seperti kata Gabriel Garcia Marques untuk Juan Ruflo, waktu mengomentari judul bukunya yang terkenal; Pedro Paramo: “Juan Ruflo adalah penulis hebat yang banyak dibaca tetapi sedikit dibicarakan.” Sedangkan bagi saya, MAW Brouwer adalah kebalikannya Ruflo. Ia banyak dibicarakan, tetapi jarang dibaca.
Jika ditanah Sunda, di negeri Dilan, MAW Brouwer sangat terkenal. Di sebuah jalan menuju alun-alun kota Bandung, tak jauh dari Gedung Merdeka, tempat dilaksanakannya konferensi Asia Afrika. Atau tak jauh dari titik nol kilometer Bandung, namanya tertulis diujung sebuah ungkapan.
“Bumi Pasundan tercipta ketika Tuhan sedang tersenyum-MAW Brouwer. ” Dia mengakui bahwa tanah Sunda adalah surga. Seperti yang saya katakan, kebalikan Ruflo, Brouwer banyak dibicarakan, banyak dikutip oleh kerena ungkapannya itu, tetapi sedikit saja yang membacanya.
MAW Brower dalam banyak perbedaan sedikit mirip dengan Franky Sahilatua dengan secuil narasinya yang monumental: “Tanah Papua adalah surga kecil yang jatuh diatas bumi”. Ini juga pengakuan. Bedanya, ungkapan pengakuan Franky tidak dalam bentuk narasi panjang, tetapi secuil ekspresi musikal yang dinyanyikan berulang dengan bangga.Kita juga tak menemukan jika ada sudut yang menjadi ruang untuk kita dapat membacanya. Mungkin karena kata “surga”, terlalu berat untuk dipertanggung jawabkan disetiap sudut kota ini.
Suatu sore diluar kebiasaan, saya menyetel lalu mendengarkan radio. Melalui radio, saya mendapatkan informasi tentang sejarah nama Kota Jayapura. Disitu dijelaskan dengan durasi yang sama, secara kontinyu, tentang urutan nama kota. Mulai dari Numbay, Hollandia, Soekarnopura, Kota Baru, hingga Jayapura. Menurut informasi di Radio, secara etimologi, Jayapura berasal dari Bahasa Sang Sakerta. Jaya dan Pura. Jaya, kemenangan, pura adalah kota. Jayapura adalah Kota Kemenangan. Walaupun demikian, saya lebih senang menulis nama kota ini dengan Hollandia atau Soekarnopura.
Terlepas dari itu, saya lantas berpikir, jika kota ini punya sejarah, kota ini pasti juga memiliki narasi. Narasi romantis maksudnya. Saya penasaran bagaimana pendahulu, jauh sebelum saat ini, menulis tentang kota ini. Apakah mereka takjub, terpesona atau sejenisnya? Seperti nama Hollandia, yang katanya diberikan oleh seorang Kapten Belanda, karena topografi dan bibir pantai dikota ini mirip dengan Hollandia. Ataukah ada ekspresi lain yang mungkin saat ini bisa dijadikan semangat hidup kota ini.
Tantangan saat ini, jika ada atau belum ada narasi sejarah yang bisa dibaca kembali dari kota ini, maka sudah saatnya kita berpikir untuknya melacaknya.Tentu, ada rasa rindu akan narasi romantis dari seorang penulis yang ditulis untuk kota ini. Seperti negeri Pasundan dengan Brouwer-nya. Jika tidak ada narasi seperti itu, maka sudah saatnya kita menjadi seperti orang-orang di Athena pada waktu dahulu: menulis sejarah tentang diri dan kota mereka sendiri, menulis tentang peradaban mereka.
Dan yang terakhir, ketika seorang kawan mengirimkan sebuah pesan yang sesungguhnya pertanyaan: “Apa kesanmu di HUT 108 Kota Jayapura? Saya menjawabnya: Tidak butuh 108 tahun untuk benar-benar melihat kota ini sesejuk Paris van Java, tetapi di tahunnya yang ke 108, kota ini seperti Paris van Java atau lebih dari itu. Ia sejuk, orang-orang banyak tersenyum serta bahagia dan cocok untuk secangkir Milo hangat, lalu bersepeda di sore hari.
Dirgahayu Kota Jayapura. Terima kasih karena kau telah membesarkan kami. Sekian!