Pembelaan si ‘Pembela Sejati LukMen’ Panji Agung Mangkunegoro Yang Tersandung Perkara Tindak Pidana Khusus UU ITE
JAYAPURA-Panji Agung Mangkunegoro sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura, dituntut dengan pasal pencemaran dan penghinaan yang diatur dalam UU ITE Pasal 45 ayat 3, terkait laporan individu Jhon Wempi Watipo (Calon Gubernur Papua) kepada Reskrim Polda Papua. Namanya paling berkibar saat Pilkada Papua beberapa waktu lalu.
Dia media sosial ia jadi pembela sejati Lukas Enembe-Klemen Tinal saat Pilkada berlangsung, adu argumen dan dan sebagai-sebagianya hingga akhirnya UU ITE menjeratnya. Wartaplus mencoba menemuinya disela-sela sidang, Rabu (24/7) sore. Saat itu ia membacakan pledoinya dihadapan hakim. Berikut pledoinya;
Izinkan saya untuk bisa menyampaikan beberapa penjelasan pembelaan terkait maksud dan tujuan saya membuat status yang mengakibatkan saya berada di pengadilan ini. Kasus ITE yang saya alami yang dilaporkan oleh salah satu kandidat calon gubernur Papua yaitu Bapak Jhon Wempi Wetipo ke Reskrimsus Polda Papua pada tanggal 23 maret 2018 pada saat masa kampanye Pilgub Papua, saya mau menyampaikan beberapa poin pembelaan saya atas status yang saya buat saat itu:
1. Dalam narasi status yang saya tulis “Tim JWW diperintahkan oleh kandidatnya untuk menjatuhkan Lukmen dengan cara apapun, begitukah sikap seorang pemimpin? bukan bermaksud untuk menghina JWW, kalimat tersebut, lebih mengarah pada imbauan dan ajakan kepada TIM JWW untuk menggunakan narasi kampanye yang sehat, dan mengutamakan penjabaran visi/misi dalam materi kampanyenya, agar rakyat di Tanah Papua dapat membandingkan, konsep pembangunan yang ditawarkan oleh Pasangan JWW, dan menjadi alasan kuat mengapa rakyat memilihnya dalam Pemilu. Dalam hal Pemilu, perdebatan tentang visi/misi kandidat menjadi sesuatu hal yang lazim, bahkan diperlukan untuk menghidupkan demokrasi. Pikiran rakyat dapat dicerahkan dengan hadirnya perdebatan diantara para kandidat, tujuannya agar rakyat dapat memilih secara rasional, dengan bebas dan merdeka, untuk memilih siapa pemimpin mereka di daerah.
2. Bahwa sebagai calon gubernur, JWW berkedudukan sama dengan pasangan LUKMEN yang juga sebagai calon gubernur. Dengan demikian, interaksi diskusi menyangkut tema kampanye dalam Pemilu, juga menyangkut kepentingan dua kandidat. Bukankah, Pasangan LUKMEN juga di serang dengan hal yang sama oleh TIM JWW? Lalu mengapa hanya JWW seorang diri yang melaporkan pasal pencemaran nama baik ini kepada kepolisian? Yang mana bukti - buktinya sudah saya serahkan kepada hakim di persiadangan sebelumnya, sebagai bukti tambahan bahwa tim JWW juga melakukan hal yang sama.
3. Pernyataan saya, dengan mengutip kalimat di atas, bukanlah bertujuan untuk “merendahkan martabat JWW sebagai calon gubernur”, akan tetapi sebagai bagian dari tanggung-jawab moral saya, untuk mengingatkan kepada JWW dan tim-nya agar menggunakan materi kampanye yang sehat, mendidik, dan tidak terjebak pada metode “black campign” yang justru tidak sehat bagi demokrasi di Tanah Papua.
4. Perlu pula saya uraikan pendapat bahwa dalam Pasal 310 KUHP, juga mencantumkan ayat 3, yang menerangkan alasan pengecualian, dari tuduhan perbuatan pencemaran nama baik/penghinaan terhadap seseorang, terlebih lagi kepada para kandidat pejabat publik/publik figur/ calon gubernur, di mana seketika mereka mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah, maka seluruh sikap dan perbuatannya, menjadi domain penilaian publik/masyarakat. Adapun isi pasal 310 ayat 3 KUHP sebagai berikut: Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi keuntunganumum atau karena terpaksa untuk bela diri.
5. Bahwa saya dalam statusnya sebagai individu, yang secara sukarela menjadi tim sukses Pasangan Lukmen dalam Pilgub Papua,dilantik sah sebagai ketua tim Relnus Papua dan juga sudah terdaftar di KPU dan BAWASLU PAPUA saat itu juga sedang berusaha mempertahankan “harga diri dan kehormatan Pasangan Lukmen” terhadap berbagai serangan kampanye hitam dan kampanye negatif yang dialamatkan kepada pasangan tersebut selama masa kampanye berlangsung.
Bentuk Pembelaan
“Sehingga narasi diatas memang bertujuan untuk melakukan klarifikasi/counter opini, atau bentuk pembelaan diri terhadap “kehormatan Pasangan LukMen” yang pada saat itu, sedang menghadapi banyak serangan dan tuduhan kampanye hitam. Asumsi setiap orang yang berakal, pasti dapat menarik kesimpulan yang rasional dan acceptable bahwa dalam Pemilu Gubernur di Provinsi Papua, hanya terdapat dua pasangan calon Gubernur, sehingga salah satu di Antara keduanya akan menjadi calon penantang, dengan konsekuensi keterlibatan para pendukung dari kedua belah pihak, yang berebut simpati para pemilih di Tanah Papua (termasuk pilhan untuk terlibat dalam kampanye hitam/positif),”tukas Panji
6. Sejatinya, kehormatan kedua pasangan calon Gubernur, baik JWW maupun LukMen, sama-sama berada pada posisi yang diserang dalam Pemilu Gubernur. saya bertindak sebagai Ketua Tim Sukses Relnus Papua yang bekerja untuk memastikan bahwa “kehormatan dan harga diri” Pasang LukMen tidak dinodai oleh narasi-narasi Kampanye Hitam yang dapat dilakukan oleh Tim Kampanye dari pasangan lawan politik dalam Pilgub Papua.
7. Secara pribadi saya mengenal beliau bapak JWW sejak kecil di Wamena dan juga bapak saya adalah tim sukses JWW pada saat maju mencalonkan diri menjadi Bupati Jayawijaya, sejak itu sampai saat ini saya tidak pernah mempunyai masalah pribadi dengan beliau, dan masalah ini adalah perdebatan politik/dinamika pilkada saat masa kampanye yang di jadikan alas an status saya menjadi dasar laporan JWW saat itu, semua terjadi karna tuntutan politik dan demokrasi yang menciptakan ketersingguangan yang berkepanjangan, seharusnya tidak dbawah keranah hukum
8. Pada saat jannuari ada deklarasi siap kalah dan siap menang, kedua kandidat mendeklarasikan untuk siap menang dan siap kalah dengan sikap yang ditanamkan agar tidak ada dendam ketika kalah dan saling memaafkan ketika pilgub berakhir, sikap profesionalisme seorang kandidat seharusnya tidak ditunjukkan dengan cara melaporkan salah satu tim ke polda papua.
9. Ada aturan yang mengatur tentang kampanye selama masa kampanye yang menjadikewenangan bawaslu dan Gakumdu, apakah salah satu timsus dalam hal ini saya pribadi melanggar UU pemilu mengenai negative campign? Ketika saya terdaftar di KPU dan Bawaslu Papua segala bentuk pelanggaran kampanye seharusnya menjadi kewenangan Bawaslu dan Gakumdu untuk diberikan peringatan atau saknksi kepada saya dan tim kami, dengan demikian yang menjadi catatan penting yang harus diketahui bahwa masalah ini bukanlah menjadi kewenangan Reskrimsu Polda Papua karena masih dalam masa kampanye walaupun faktanya UU ITE tidak melihat waktu dan saat apapun.
10. Berdasarkan restorative juctice dari Timur Pradopo yang dilanjutkan oleh Titio Karnavian yang garis besarnya adalah kepolisian bersikap sebagai mediator dalam kasus UU ITE harus melakukan mediasi antara pelapor dan terlapor namun faktanya saat itu diawal penyidikan di Reskrimsus Polda Papua tidak melewat proses pertemua Antara Pelapor dan Terlapor diawal penyidikan. Bahkan saya sempat harus mengadu ke Wakapolda Papua untuk meminta dan memerintahkan untuk dilakukanya mediasi. Sampai pada panggilan keempat JWW tidak hadir hanya diwakilkan dengan surat pernyataan penolakan mediasi.
Dari proses penyidikan saya merasa tidak ada keadilan yang sama dengan JWW seharusnya saat itu sama–sama mematuhi panggilan polda, hanya dengan surat pernyataan itu saya diproses lanjut ke meja hijau. Equality be for the law adalah persamaan dihadapan hukum, secara makna mengandum konsep bahwa setiap orang harus didudukkan sejajar dihadapan hukum yang artinya saat itu kami memiliki hak yang sama walau pun berbeda status pelapor dan terlapor.
11. Ketika dinamika pilkada, saat masa kampanye penerapan UU ITE ini bermuara pada perdebatan politik dalam dinamika Pilkada. Sehingga jelas bahwa UU ini bernuansa politik dan menjadi produk hukum yang laris menjelang dan sesudah Pilkada (momentum politik). Netralitas penegak hukum harus ditunjukan dengan cara bijak melihat situasi kapan dan saat apa serta pada momen apa? Dan juga apakah terindikasi menjadi masalah pribadi atau untuk kepentingan banyak orang? Akan menjadi rancu ketika UU ITE menjadi produk hukum yang bernuansa politik. Karena semua berawal dari momen politik dan keterlibatan orang-orang kritis dalam mempertahankan argumentasinya hingga berpotensi ada upaya-upaya kriminalisasi terhadap seseorang.
“Saya pribadi membuat status tersebut awalnya tidak mengetahui samas ekali bahwa akan berujung pada UU ITE, dan semua itu saya lakukan terpaksa karna sebuah tuntutan politik dan demokrasi dan perdebatan politik selama masa kampanye. Saya merasa sangat prihatin ketika perdebatan politik semasa kampanye berujung tuntutan penjara satu tahun pada hal apa yang saya lakukan untuk kepentingan banya orang. Saya pribadi meminta maaf dan memohon kepada majelis hakim untuk membebaskan saya dari tuntutan jaksa, karena status yang saya buat bukan untuk kepentingan pribadi saya namun untuk membela kandidat Cagub saya yang saat itu juga mendapat hujatan dan kritikan yang sama bahkan lebih dari yang saya lakukan,”ungkap Panji
Meminta Maaaf Kepada JWW
“Situasi saat itu kami selaku tim Relnus LukMeN Papua tidak melaporkan siapapun dari tim JWW ke Rekrimsus Papua walaupun juga melakukan kampanye hitam dan kandidat kami juga tidak melaporakan siapa pun karna semuanya adalah resiko politik dan konsekuensi yang harus dihadapi pada masa kampanye. Masalah saya menjadi contoh baik dan buruknya kepada public atau multitafsir memang karna saat Pilgub Papua Polarisasi Politik saat itu menjadi dua kelompok pendukung. pembelaan saya sampaikan sejujur–jujurnya tidak membuka atau menyinggung siapa pun atau membuka kembali situasi saat itu yang memang faktanya terjadi, menjadi teguran bersama bahwa dendam politik pada masa pilkada tidak menjadi kita mundur melangkah dan berkarya,”ujar Panji ddalam persidangan di PN Abepura
Dirinyapun sampaikan terima kasih dan permohonan maaf kepada JWW, atas semua proses ini yang saya lewat dan menjadi pelajaran berharga untuk saya kedepannya. “Demikian surat permohonan saya buat untuk menjadi pertimbangan majelis hakim, kiranya bisa membebaskan saya dari tuntutan jeratan hukum UU ITE ini,”kata Panji mengakhiri pembacaan pledoinya.*