Inilah Pesan Uskup Jayapura Untuk Membangun Persekutuan demi Terwujudnya Damai di Tanah Papua
JAYAPURA-Peristiwa-peristiwa pahit yang timbul karena tindakan dan perlakuan diskriminatif- rasial di Jawa membangkitkan reaksi di Papua. Unjuk-rasa dengan amukan massa merusak dan menghancurkan banyak barang. Ketegangan dalam hubungan berbagai pihak amat terasa mengancam kedamaian seluruh masyarakat.
Para pemimpin agama, adat dan tokoh-tokoh masyarakat umumnya berusaha memulihkan suasana damai dengan himbauan, seruan bahkan kutukan agar kekerasan dihentikan. Semua seruan itu tentu perlu, tetapi tidak cukup. Karena tindakan dan aksi-aksi itu tercetus dari hal-hal yang lebih dalam rasa harga diri, rasa keadilan, egoisme pribadi dan kelompok, aspirasi politik, dan rasa keagamaan. Maka perlu aktivitas lanjut yang lebih menyentuh arus-arus perasaan yang dalam itu.
“Oleh karena itu kami selaku uskup Jayapura bersama pastor-pastor paroki di Dekanat Jayapura, merasa perlu melanjutkan seruan dan himbauan para tokoh itu dengan kegiatan pastoral kami membangun persekutuan dalam kehidupan umat. Untuk itu kami membarui komitmen kami melaksanakan misi keuskupan membangun persekutuan persaudaraan mulai dari komunitas-komunitas basis gerejawi dan meluas menjangkau umat seluruh paroki serta seluruh masyarakat,”ujar Uskup Leo Laba Ladjar OFM dalam rilisnya yang diterima wartaplus.com Rabu (11/9) siang. Dalam pernyataannya Uskup Leo mengungkapkan kejadian-kejadian dan aksi-reaksi susudahnya, arus-arus di bawah permukaan yang turut jadi pemicu.
Kejadian-Kejadian dan Aksi-Reaksi Sesudahnya
Sekitar perayaan kemerdekaan RI, terjadi tindakan-tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Sekelompok orang dari organisasi masyarakat yang “nasionalis” disertai orang-orang keamanan menyerang asrama mahasiswa Papua yang dicap tidak nasionalis. Kata-kata caci-maki lebih jauh lagi menyerang dan merendahkan martabat manusia Papua.
Reaksi timbul di berbagai kota pada 19 Agustus di Manokwari,Jayapura, Sorong, Deiyai, Merauke. Lalu pada hari-hari berikutnya menyusul Wamena, Biak, Nabire,Serui, Enarotali, Moanemani, Dekai, Timika, Fakfak; aksi protes kembali lagi ditunjukkan di Jayapura tanggal 29 Agustus.
“Long-march”dari Waena-Abepura sampai kantor Gubernur di Jayapura kali ini disertai tindakan-tindakan pengrusakan dan pembakaran gedung umum, rumah dan kendaraan, serta penjarahan dan perampokan. Reaksi anti-rasisme melebar ke pernyataan aspirasi politik dan seruan Papua Merdeka. Suasana Jayapura tegang dan panic dan ribuan orang yang menjadi korban karena kehilangan rumah dan harta bendanya mengungsi ke pangkalan angkatan laut. Tetapi mereka juga beraksi keras. Dengan senjata tajam mereka menghadang para pengunjuk rasa dan men-sweeping orang-orang Papua di jalan.
Aparat keamanan yang mengantar kembali para pendemo pun dihadang dengan senjata tajam, dan katanya ada yang terpaksa ditembak; ada juga orang Papua yang menjadi korban badik atau parang (belum diumumkan secara terbuka). Ketegangan dan ancaman kerusuhan antaretnik dan golognan semakin tinggi karena kelompok korban yang bereaksi keras itu disebut mula-mula sebagai Makassar kemudian sebagai kelompok atau barisan nusantara.
Lalu di Deiyai ada korban di masyarakat pendemo dan ada di pihak pasukan keamanan, di Jayapura “long march” pertama damai dari pihak pendemo dan aman tanpa korban dari pihak keamanan. “Long march” kedua rusuh.
Diungkapkan Uskup, Kepala Polisi Kota bersyukur bahwa tidak ada korban nyawa meskipun menyesal dan merasa seperti tidak berdaya mencegah terjadinya korban materi yang begitu banyak. Reaksi keras terhadap pengunjuk rasa membawa korban manusia. Ada penghadang demonstran yang ditembak mati. Sweeping di jalan membawa korban.
Lanjut Uskup, ada gangguan terhadap asrama seperti terakhir di asrama Nayak, diceritarakan salah seorang pastor kita, ada yang mati kena peluru ada pula yang terluka kena sumpit. Dalam peristiwa itu ada polisi yang hadir, tetapi terkesan tidak mencegah serangan itu, maka menimbulkan curiga bahwa aparat keamanan memihak.
Arus-Arus Dibawah Permukaan yang Turut Jadi Pemicu
Rasisme yaitu sikap dan tindakan diskrimanatif terhadap satu ras, satu suku atau golongan masyarakat hanya karena perbedaan ciri-ciri lahiriah. Seperti terjadi di Surabaya dan Malang dengan tindakan brutal ke asrama Papua dan kata-kata kasar yang merendahkan orang Papua. Tindakan rasis itu amat kita sesali dan pelakunya patut ditindak dengan tegas dalam proses hukum yang terbuka. Tetapi kasus Surabaya dan Malang itu hanya merupakan cetusan puncak dari kecenderungan yang lebih umum dan terselubung dalam hati banyak orang terhadap orang Papua. Maka sambil menyesali dan menindaki kasus khusus itu, kita juga harus secara jujur meninjau diri kita serta pelaksanaan tugas pastoral kita dalam membangun manusia, lebih-lebih menyangkut harkat dan martabat manusia.
Kekerasan dan anarki. Sekelompok orang yang rupanya merasa diri sebagai pejuang dan pembela nasionalisme malah bertindak keras dan brutal di asrama mahasiswa Papua. Berbagai unjuk rasa “tolak rasisme” di kota-kota di Papua juga berujung kebrutalan dan tindakan anarkis. Gejala yang tercetus dalam perisitawa-pristiwa itu menunjuk kecenderungan yang masih amat umum di mayarakat kita, yaitu main hakim sendiri. Seseorang atau sekelompok orang yang dilanggar hak-haknya cenderung langsung mengadili dan menghukum pihak yang lain dengan hukuman yang seringkali lebih berat daripada tuntutan hukum sipil. Akibatnya balas-membalas tidak terhindari. Juga hal ini akhir-akhirnya menyentuh dan menantang kita sebagai pemberita Injil kedamaian dan keadilan.
Lanjut Uskup, “Ego” golongan dan “partai” sendiri. Korban-korban kerusuhan di Jayapura ada banyak sekali karena kehilangan harta benda dan usaha dagangnya yang menjadi sumber hidupnya. Dalam reaksi pembalasan terhadap para pendemo, makin tajam suara siapa korban yang terbanyak itu secara umum disebut Makassar lalu Nusantara. Mereka tidak saja menghadang pendemo, tetapi juga mengadakan razia atas orang-orang Papua, di jalan dan di asrama tertentu. Ancaman kerusuhan antar-golongan dan kelompok masyarakat makin besar. Erat terkait dengan itu juga tegangan hubungan antar-agama.
Ego golongan, seperti kita tahu, mudah terlampiaskan dalam berbagai bentuk “perang suku”, baik suku-suku yang tradiosional maupun kelompok etnis dan politik yang aktual. Peguyuban-peguyuban kedaerahan dalam situasi itu rupanya gampang berubah menjadi benteng pertahanan untuk melindungi diri dan menyerang kelompok lain. Hal itu merupakan tantangan berat bagi kita dalam mewujudkan misi kita membangun persaudaraan dengan semua orang dan semua makhluk.
Polarisasi
Polarisasi antara OAP dan Non-OAP. Tindakan diskriminasi rasis dan reaksi antirasisme melebar ke ketegangan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Di sisi lain, aksi-reaksi itu juga memperuncing pembedaan antara orang asli Papua (OAP) dan bukan OAP atau pendatang. Pembedaan ini sudah lama ditegaskan, sejak UU Otsus, lebih-lebih untuk menentukan pembagian jabatan dalam pemerintahan Papua. Lebih dari itu, pembedaan itu untuk mengutamakan orang asli Papua baik dalam pendidikan maupun dalam karya pengembangan diri di berbagai sektor kehidupan.
Tetapi tumbuh kecenderungan untuk memperuncing pembedaan antara OAP - Non OAP menjadi polarisasi politik. Polarisasi politik itu menjadi makin tajam dan berisiko ketika dijalin dengan aspirasi merdeka, dengan memasang label separatisme pada OAP tertentu. Separatisme politik itu, apalagi kalau djhadapi dengan kekerasan, pasti memicu kerenggangan dalam umat dan membuat pembangunan persekutuan damai menjadi rusak.
Tantangan bagi kita untuk terus mewujudkan visi-misi kita membangun persekutuan yang khas Papua tetapi yang sekaligus terbuka untuk nilai-nilai budaya yang umum. “Peranan aparat keamanan. Dalam aksi dan reaksi terkait dengan rasisme itu peranan aparat keamanan juga disoroti dan patut dievaluasi. Tidak ada korban jiwa oleh pihak keaman. Kita, seperti banyak orang lainnya, memberikan apresiasi untuk itu. Meskipun situasi amat menantang pihak keamanan, namun mereka tidak terpancing untuk ambil tindakan yang keras teradap perusuh, entah dengan pentungan atau dengan senjata lain. Yang tetap menjadi harapan dan tuntutan ialah agar aparat keamanan bertindak netral, tanpa condong ke salah satu pihak manapun. Kalaupun terpaksa bertindak keras untuk memulihkan situasi, tetap dinantikan bahwa tindakan itu tidak memberi kesan pilih kasih atau memihak,”ujarnya
Karena kalau aparat memihak, usaha kita bersama membangun damai pun akan terhambat oleh prasangka dan curiga. Maka kita meminta agar kehadiran aparat keamanan betul memberikan rasa aman untuk semua. Untuk itu, lebih dari sikap netral, diperlukan juga sikap bersahabat dengan semua golongan dan menumbuhkan sikap saling percaya.
Komitmen
Menghadapi situasi dan arus-arus kecenderungan itu, kita mau membarui komitmen untuk mewujudkan arah-dasar membangun Gereja sebagai persekutuan.
Kita membangun persekutuan dalam umat, karena kesatuan iman akan Yesus Kristus, Damai Sejahtera kita, yang menyatukan semua orang dari pelbagai kelompok suku, golongan, ras dan budaya serta status sosial.
Kita mengembangkan persekutuan persaudaaraan itu secara nyata dan dinamis dalam Komunitas Basis Gerejawi (Kombas), yang menghimpun keluarga-keluarga dari berbagai suku, latar belakang daerah dan sosial budaya.
Kita mengobarkan semangat misioner Kombas-kombas agar menjadi komunitas yang terbuka untuk bergaul dan bersahabat dengan semua tetangga, membantu siapapun yang terkena bencana, dan bekerja sama dengan warga di satu rukun-tetangga dan pemerintah setempat untuk memajukan keamanan lingkungan.
Kita membangun kerukunan umat beragama melalui berbagai bentuk hubungan anataragama, dan berpartisipasi aktif dalam persekutuan Gereja-gereja (PGGP, PGGJ,PGGS dll) dan dalam forum kerukunan umat beragama (FKUB).
Kita bersatu dengan semua Gereja dan Agama dalam doa dan puasa bersama dengan intensi terwujudnya Papua Tanah Damai. Untuk itu kita mengikuti tradisi devosi kita dengan menetapkan hari Jumat Pertama sampai Sabtu Pertama setiap bulan untuk berdoa dan berpuasa bersama dengan Ekaristi di gereja doa di Kombas-kombas, dengan doa-doa devosi kepada Hati Mahakudus Yesus dan Hati Suci Bunda Maria agar juga hati kita menjadi lembut dan rendah untuk menjadi pembawa damai.
Kami menyerukan kepada semua pemegang kekuasaan, baik pemerintah sipil maupun militer dan polisi, kejaksaan dan pengadilan, agar semuanya mendukung usaha bersama dalam membangun damai, dengan menjalankan tugas masing-masing dengan hati bersih, jujur dan adil, demi kebaikan masyarakat seluruhnya.
Kami menyerukan kepada semua pihak agar menolak rasisme dan tidak terprovokasi oleh isu-isu yang memecahbelah masyarakat, seperti asli-pendatang, pantai-gunung, suku dan agama.
Kami menyatakan keprihatinan kepada keluarga yang menjadi korban jiwa, luka-luka, harta benda juga mendukung semua pihak meringankan beban dan memberi perlindungan bagi mereka yang mencari kebenaran dan menegakkan keadilan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan itu.*