Rasisme Harus Dilawan, Makar dan Bintang Kejora Bukan Separtis Tapi Simbol Adat Papua
JAKARTA-Senator asal Papua dan Papua Barat di DPD RI membahas tentang masalah Papua dalam agenda dialog Pansus Papua DPD RI. Ketua Pansus Papua DPD RI, Dr. Filep Wamafma SH.,M.Hum menegaskan bahwa masalah sikap rasisme perlu dilawan semua warga negara Indonesia.
Dalam kesempatan itu hadir masing-masing Yorris Raweyai, Filep Wamafma, Yance Samonsabra, Ottopianus Tebay anggota DPD RI asal Papua dan Papua Barat, dan Wellem Wandik anggota DPR RI asal Papua.
Filep Wamafma mengatakan bahwa pada kejadian di Surabaya Jawa Timur lalu mahasiswa Papua disangkakan dengan adanya makar. Padahal menurut pendapat Wamafma bahwa persoalan saat ini bukan tentang makar atau rasisme, tetapi persoalan hak-hak masyarakat adat Papua.
"Jadi kami menduga ada upaya lain yang dimainkan seolah-olah proses politik yang dilakukan saat itu menjelang proses pemilihan kepala negara sehingga sampai sekarang ini belum ada proses hukum jelas kepada para pihak yang menuding mahasiswa Papua" ungkap Filep Wamafma, Selasa (19/11).
Bahkan adanya kait mengkait antara rasisme dan makar. Padahal dua kata ini sudah berbeda maknanya. Padahal saat itu mahasiswa Papua hanya perjuangkan hak dasar orang Papua, namun justru mereka mendapat perlakuan dengan kata rasisme.
Kemudian muncul lagi tentang bendera bercorak Bintang Kejora (BK), padahal waktu jaman Presiden Gusdur telah ditetapkan bahwa bendera bercorak Bintang Kejora adalah bukan bendera Negara, melainkan bendera kultur orang asli Papua.
"Jadi BK adalah bagian dari simbol kultur Papua, maka jangan salah persepsi. Bahkan mucul kata bahwa BK dikibarkan karena Papua ingin merdeka. Padahal perjuangan itu adalah bagaimana mencapai proses keadilan" katanya.
Lebih lanjut, Wamafma menjelaskan bahwa saat Pansus Papua DPD RI temui mahasiswa di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, mereka temui adanya masalah mahasiswa Papua yang mengeluh sakit.
Termasuk disana juga proses hukum sampai sekarang belum juga berjalan, sehingga jangan sampai penahanan mahasiswa Papua hanya sebatas mengisolasi aktivitas mahasiswa Papua.
"Jadi enam mahasiswa Papua yang kini masih ditahan harus ada kepastian hukum, sehingga jelas bagi mereka dan jelas juga kepada rakyat Papua" katanya.
Kepastian hukum yang dimaksud adalah agar kedepannya mahasiswa Papua yang akan kuliah ke tanah Jawa bisa terjamin dan jangan merasa ketakutan. Sebab persoalan di Surabaya lalu terjadi pemulangan masal mahasiswa Papua, karena ada rasa ketakutan.
Dia menekankan bahwa pada prinsipnya bagaimana negara menyelesaikan masalah Papua tanpa harus melakukan kekuatan dan ketakutan kepada mahasiswa dalam berekspresi sampaikan pendapat dimuka umum.
"Hal ini kami memandang penting agar 1 Desember nanti mahasiswa Papua atau aktivis Papua yang ditahan mendapat pertimbangan hukum dan bila perlu dibebaskan sehingga jangan menimbulkan konflik lagi" tambah Wamafma.*