Penyelesaian Pelanggaran HAM di Bumi Papua Hanyalah Mimpi
JAYAPURA,-Sudah berulangkali Presiden Republik Indonesia Ir.Joko Widodo mengunjungi Tanah Papua dan beberapa kali Presiden menegaskan bahwa dirinya akan menyelesaikan persoalan dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Bumi Cenderawasih.
Namun dalam faktanya tidak terjadi seperti isi pernyataan dan visi Jokowi sebagai tertuang juga dalam nawacita, sehingga sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari saya nyatakan tekad Pemerintahan Jokowi hanya "mimpi" belaka. Ini dikatakan Direktur Eksekutif LP3BH Yan Christian Warinussy, yang juga peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada dalam rilis yang diterima wartaplus.com, Kamis (19/4) siang.
Dikatakan, hal ini dapat dibuktikan dengan telah 16 tahun kasus Wasior, 14 tahun kasus Wamena dan 3 (tiga) tahun kasus Paniai tanpa adanya langkah maju yang bersifat signifikan dalam konteks penyelesaian secara hukum.
"Padahal berdasarkan hasil penyelidikan awal oleh lembaga/institusi yang berkompeten sesuai amanat Undang Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, yaitu Komnas HAM ketiga kasus tersebut diatas ditetapkan mengandung unsur pelanggaran HAM yang Berat,"ujarnya.
Diungkapkan, pelanggaran HAM yang Berat sudah diatur perdefinisnya dalam amanat pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 dari Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Dimana pelanggaran HAM yang Berat disebutkan meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan kejahatan genosida.
Dengan demikian maka menurut pandangan saya sebagai Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua bahwa seharusnya Komnas HAM diberi akses yang seluas-luasnya dan didukung untuk melakukan tugas-tugasnya dalam menyelidki dan mengungkap tuntas dugaan pelanggaran HAM yang Berat dalam kasus-kasus tersebut.
Faktanya hingga hari ini tidak demikian, karena hasil penyeledikan Komnas HAM dari tahun 2003 hingga saat ini senantiasa "dipermasalahkan" oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan berbagai alasan hukum dan juga cenderung politis untuk "mengkaburkan" dugaan pelanggaran HAM berat pada kasus Wasior dan Wamena.
"Sedangkan dalam kasus Paniai, Presiden Jokowi selaku Panglima Tinggi TNI seharusnya dapat mengambil langkah tegas untuk memerintahkan diberikannya akses yang seluas-luasnya bagi Komnas HAM untuk memanggil dan meminta keterangan dari para prajurit TNI yang diduga terlibat dalam dugaan pelanggaran HAM yang Berat di enarotali-Paniai 8 Desember 2014 yang lalu,"ujarnya.
Di sisi lain, LP3BH memandang bahwa Komnas HAM sebagai salah satu institusi terdepan dalam penegakan hukum semestinya memeproleh "penguatan" kewenangan melalui revisi/amandemen Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000.
LP3BH memandang bahwa sudah saatnya Komnas HAM diperkuat dan diberi kewenangan tidak saja sebagai penyelidik tetapi wewenang sebagai penyidik dan penuntut umum penting dipertimbangkan dan diwacanakan untuk didiskusikan dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi Indonesia.
Ini penting karena sejak awal reformasi, keinginan untuk mengkokohkan status Indonesia sebagai negara hukum (recht staat) sangat kuat, dimana hal itu hanya dapat dicapai jika kita dapat melihat bekerjanya 3 (tiga) prinsip dasar.
Ketiga prinsip dasar dimaksud adalah pertama supremasi hukum (supremacy of law), kedua yaitu kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law). Dan ketiga penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).
Hal itu dapat terimplementasi dalam penjabarannya dengan ciri-ciri pertama, jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM), kedua; kekuasaan kehakiman atau pengadilan yang merdeka. Ketiga, legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.*