Sejarah Tidak Pernah Berulang, Namun Sejarah Memberi Pelajaran
SEJARAH tidak pernah berulang, namun sejarah memberi pelajaran (lesson learned) bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia yang beragam etnik, suku, ras dan agama mau melangkah untuk menyongsong masa depan dengan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu menuju globalisasi. Kita juga khawatir bahwa dalam era reformasi dan demokrasi dewasa ini, yang telah kita perjuangkan dengan banyak pengorbanan (Trisakti berdarah, kasus Munir, dll) tenggelam dan hilang tanpa bekas karena masih ada oknum birokrat pemerintah yang bersikap otoriter (baca berfaham fasisme).
Perjalanan masa lalu mengingatkan kita bahwa kesenjangan mendatangkan ketidak stabikan politik. Di sisi lain pengalaman juga menunjukkan bahwa para demagog (pemimpin rakyat yang pandai menghasut) memanfaatkan kebebasan berbicara untuk mengangkat dirinya sebagai pemimpin. Yang dibayangkan adalah pengambilan kekuasaan oleh kelompoknya demi kepentingan pribadi mereka.
“A democratic power is never likely to perish for lack of strength or of its resources, but it may very well fall because of the misdirection of its strength and the abuse of its resources”. (Daoed Joesoef, Studi Strategi, 2014:hal.IX)
Sejarah telah membuktikan hal ini baik di Indonesia maupun Eropa, Amerika Serikat, Afrika dll. Para “Founding Fathers” (bapak pendiri) Republik Indonesia memiliki cita-cita yang luhur sebagai suatu komitmen kebangsaan berupa Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, namun dalam perjalanan waktu setelah Indonesia merdeka 76 tahun masih terasa adanya gejolak sosial, politik dan ekonomi yang membuat kita sebagai bangsa prihatin.
Menurut penulis: “Pluritas etnik, suku, ras dan agama di bumi Nusantara tercinta tidak selamanya muncul sebagai taburan mozaik yang indah, tetapi juga sarat dengan potensi konflik. Potensi konflik ini akan muncul lebih dahsyat lagi manakala dipicu kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan politik, baik secara vertikal maupun horizontal.”
Kita tidak boleh tergoda dengan berpikir bahwa era reformasi dan tradisi demokrasi akan secara otomatis melindungi bangsa Indonesia dari “keterpurukan”, kita tidak bisa “taken for granted” (terima apa adanya) tetapi sebaliknya kita harus bekerja keras dan memperjuangkan serta bergandengan tangan satu sama lainnya agar komitmen kebangsaan harus terus dijaga dan ditegakkan dalam rangka menyelamatkan maupun mensejahterakan bangsa Indonesia yang kita cintai bersama dimasa mendatang.*