Memberikan Selamat Itu Adalah Sikap Negarawan, Jika Menempuh Jalur Hukum Adalah Hak Konstitusional

JAYAPURA,wartaplus.com - Walaupun banyak masa yang melakukan aksi protes dari kedua pasangan calon,Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua akhirnya resmi menetapkan pasangan Matius Fakhiri – Aryoko Rumaropen (MARI-YO) sebagai pemenang Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua tahun 2024.
Hal ini terungkap dalam rapat pleno penetapan hasil penghitungan perolehan suara pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilgub Papua di Kantor KPU Papua, Rabu (20/8/2025) malam.
"Seharusnya,PSU pilkada Papua menjadi jalan yang sah bagi rakyat Papua untuk menentukan pemimpinnya tanpa ada tekanan dan intervensi dari pihak manapun. Tetapi apa artinya PSU jika hasilnya penuh dengan manipulasi yang berulang? Dari politik uang, penyalahgunaan wewenang,penyelenggara pemilu yang tidak netral, hingga keterlibatan aparat, PSU Pilkada Papua memperlihatkan bahwa pelanggaran masih menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pemilihan di Papua,"kata Direktur Eksekutif NSL Political Strategic and Campaign Nasarudin Sili Luli , Kamis (21/8/2925) pagi
Ditegaskan bahwa pemilu yang sehat harus memastikan kesetaraan peluang bagi semua kandidat. Tetapi bagaimana mungkin ada kesetaraan jika negara dan aparat pemerintah justru menjadi alat bagi mereka yang sudah terafiliasi dengan calon? Putusan PHPK ada PSU Papua seharusnya menjadi refleksi besar bahwa proses pemilihan kita masih pincang. Jika PSU dianggap sebagai solusi, maka pertanyaannya mengapa penyelenggara membiarkan begitu banyak pelanggaran sejak awal? Mengapa mereka tidak bertindak sebelum pemilu berantakan?
Setiap PSU yang diperintahkan MK adalah bukti kegagalan penyelenggara pemilu. Bagaimana mungkin begitu banyak daerah gagal menjalankan Pilkada dengan jujur dan adil, tetapi tidak ada satu pun pejabat KPU atau Bawaslu yang benar-benar dimintai pertanggungjawaban termasuk Papua ?
Kata dia, masalah utama dalam Pilkada PSU Papua adalah lemahnya proses seleksi calon. Banyak kandidat yang seharusnya tidak lolos seleksi tetap diizinkan maju, hanya untuk kemudian didiskualifikasi setelah pemungutan suara selesai. Jika seorang calon memang tidak memenuhi syarat sejak awal, mengapa pencalonannya tidak dibatalkan sebelum pemungutan suara berlangsung?
Penyelenggara PSU Papua bukan hanya bertugas menjalankan prosedur teknis, tetapi juga harus menjadi benteng utama demokrasi. Jika mereka tidak bisa menjaga integritasnya, maka seluruh sistem pemilu akan kehilangan maknanya.
Sementara itu, pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Papua juga patut dipertanyakan. Seharusnya, Bawaslu Papua menjadi lembaga yang aktif dalam mencegah kecurangan sejak dini, bukan hanya sekadar mencatat pelanggaran setelah semuanya terjadi. Tetapi yang kita lihat adalah pengawasan yang reaktif, bukan preventif.
Jika penyelenggara pemilu hanya bekerja setelah kecurangan menjadi kasat mata, maka untuk apa ada lembaga untuk pengawasan sejak awal.?
"Apapun itu kita mesti lebih dewasa menyikapi kompetisi politik elektoral PSU Pilkada Papua .Perbedaan pilihan politik adalah kelaziman demokratis yang tidak perlu berlarut. Setelah pilkada semua warga dan publik Papua adalah saudara.”Jika BTM-CK memberikan selamat kepada MDF-AR itu adalah sikap negarawan yang patut di hargai,"ujarnya
Jika BTM-CK memilih untuk menempu jalur hukum dengan menggugat SK penetapan KPU provinsi Papua ke Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari hak konstitusional sebagai peserta dalam pilkada PSU Papua.
Prinsipnya, semua harus berjalan dalam koridor hukum, dari protes dan aksi jalanan harus memasuki ruang yang lebih elegan dan berwibawa yaitu diruangan Mahkamah Konstitusi.
"BTM -CK harus mendalilkan semua kecurangan selama dalam proses tahapan berlangsung, akan tetapi tidak kala penting adalah kemampuan BTM -CK untuk melakukan Pembuktian. Frasa "Actori incumbit probatio" yang berarti "siapa yang menggugat, dia yang membuktikan. Begitulah kita bernegara,"tandasnya. *