Kependudukan di Papua Harus Melihat Status Otsus dan Hak-Hak OAP
JAYAPURA,-Para Uskup Gereja Katolik di Tanah Papua berharap agar masalah kependudukan di Papua diatur dengan memperhatikan status otonomi khusus Papua dan hak-hak Orang Asli Papua yang mayoritas beragama kristiani.
Hal tersebut dinilai guna meminimalisir tingkat kecemasan dan kekacauan yang rentan mengganggu hubungan antar umat beragama di Tanah Papua, yang dikenal sebagai Tanah yang penuh kedamaian.
"Kenyataan bahwa orang-orang yang bermigrasi dari luar Papua kebanyakan datang dari daerah-daerah yang mayoritas menimbulkan kecemasan dan kecurigaan yang mengganggu hubungan antar umat beragama," ujar Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM Uskup Keuskupan Jayapura, kepada wartawan Kamis (9/8) di Susteran Maranatha Waena Jayapura bersama Uskup Keuskupan Timika Mgr Yohannes Philipus Gaiyabi Saklil dan Uskup Keuskupan Agung Merauke Mgr Nicolaus Adi Seputra, MSC.
Maka pihaknya menyarankan penataan kependudukan dan perlindungan hak-hak orang asli Papua seperti ditetapkan dalam UU Otsus perlu dilaksanakan dengan peraturan yang pasti dan jelas, karena masalah kependudukan itu mudah memicu konflik dan merusak kerukunan umat beragama.
"Dalam masyarakat kita hidup bermacam-macam agama, masing-masing dengan visinya mengenai kehidupan. Namun ada titik-temu yang sama, semua merindukan damai, semua mau hidup dalam damai. Dan semua dipanggil untuk membangun kerukunan serta hubungan yang harmonis dengan semua komponen dalam masyarakat,"tuturnya.
Kata Uskup, Gereja-gereja dan agama-agama dalam forum kerjasamanya mau mewujudkan visi dan misi Papua Tanah Damai. Dan umat katolik seluruhnya dipanggil untuk bersama komponen masyarakat lainnya mengembangkan usaha-usaha membangun Papua menjadi Tanah Damai.
"Dengan begitu, kita mewujudkan Injil Tuhan serta misi untuk membawa damai. Kita, umat katolik, harus ikut-serta secara aktif dalam semua kegiatan pembangunan yang menunjang damai sejahtera semua warga masyarakat. Secara khusus, karena panggilan injili kita, kita harus membangun hubungan yang baik dan harmonis dengan agama-agama dan gereja-gereja lain," terangnya.
Uskup mengungkapkan, ada banyak perbedaan di antara umat beragama baik dalam hal ajaran tentang Tuhan dan akhirat, maupun dalam pandangan tentang manusia dan tata cara beragama. Perbedaan-perbedaan itu menurutnya, tidak perlu dijadikan alasan untuk saling bermusuhan dan konflik antar agama.
"Kita dipanggil untuk membangun sikap dan langkah yang positif dengan menjalin hubungan persahabatan, menghormati kebebasan beragama serta apa yang khas dan khusus dalam masing-masing agama. Segala bentuk perseteruan, konflik dan perang adalah tembok-tembok pemisah yang harus dirobohkan," tandasnya.*