Pengembalian Berkas HAM Wasior dan Wamena Dari Kejagung RI Picu Pilihan Internasional
MANOKWARI - Pengembalian berkas kasus Hak Asasi Manusia (HAM) Wamena dan Wasior oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia memicu pilihan mekanisme Internasional.
Demikian disampaikan Yan Christian Warinussy selaku penerima penghargaan HAM Internasional Canada 2005. Ia menyikapi sikap Kejagung RI yang telah mengembalikan dua dari 9 berkas pelanggaran HAM di Indonesia.
Ia memandang bahwa langkah Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) mengembalikan 9 (sembilan) berkas peristiwa pelanggaran HAM. Termasuk Kasus Wasior-Papua Barat (2001) dan Wamena-Papua (2003), justru bisa menjadi faktor pemicu bagi pilihan membawa persoalan pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena serta kedelapan kasus lainnya tersebut dengan menggunakan mekanisme regional maupun internasional.
Hal mana disebabkan karena tindakan Kejagung RI dalam mengembalikan ke-9 berkas perkara dugaan pelanggaran HAM Berat tersebut sama sekali tidak disertai petunjuk yang perlu dilengkapi Komnas HAM sebagai penyelidik dugaan pelanggaran HAM yang Berat sebagaimana diatur di dalam UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Oleh karena itu sebagai salah seorang Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, Warinussy sama sekali tidak melihat adanya tindakan hukum yang dilakukan Kejagung RI dalam merubah status proses hukum dari penyeledikan ke penyidikan menuju kepada penuntutan sesuai amanat UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Bahkan mereka tidak bisa menentukan siapa atau institusi apa yang bertanggung jawan dalam kasus-kasus tersebut, termasuk Wasior dan Wamena.
Berkenaan dengan itu, sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Warinussy memandang bahwa negara Indonesia yang diprersonifikasikan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sama sekali tidak memiliki kemauan politik dan rasa tanggung jawab dalam memenuhi komitmen menuntaskan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua.
Padahal jelang akhir periode pertama pemerintahannya. Dengan demikian masyarakat Papua khususnya Orang Asli Papua (OAP) sebagai korban pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena dapat mengambil langkah hukum dan politik dalam mendayagunakan mekanisme regional maupun internasional untuk mendorong dan mendesak kasus Wasior dan Wamena tersebut.
"Mekanisme regional misalnya melalui Melanesian Spearhead Group (MSG) atau Pacific Islanda Forum (PIF) di kawasan Pasifik maupun di kawasan Asia dan Eropah. Atau mekanisme internasional melalui Komisi HAM Internasional dan Dewan HAM PBB di Jenewa -Swiss maupun mekanisme Pengadilan Internasional, " kata Warinussy, Senin (14/1).
Ataupun kata dia, mekanisme politik di Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB di New York- Amerika Serikat. Untuk itu masih diperlukan kajian-kajian ilmiah dan hukum maupun politik untuk mempersiapkannya secara baik.
Pada bagian lain Warinussy ingin mengatakan pula bahwa tindakan pengembalian berkas kasus Wasior dan Wamena tersebut sejak mulai diselidiki oleh Komnas HAM RI tahun 2003 (15 tahun) benar-benar menunjukkan bahwa Negara tidak menghormati hak-hak asasi Orang Asli Papua (OAP) sebagai warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM Berat Wasior 2001 dan Wamena 2003.
Sekaligus pula menjadi sinyal negatif bagi hilangnya harapan rakyat Papua untuk menggapai keadilan dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM Berat di Enarotali-Paniai tahun 2014, temasuk Sanggeng-Manokwari 2016 yang lalu. *