Bupati Wandik: Pendekatan Militer, Pemicu Konflik Di Puncak
JAYAPURA - Pemerintah Kabupaten Puncak menilai pendekatan militer memicu konflik antara Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) dan aparat keamanan TNI-Polri di wilayah Puncak, Papua.
Pasalnya, pendekatan ini berimbas pada masyarakat sipil hingga melumpuhkan pembangunan di wilayah Puncak. Bupati Puncak, Willem Wandik pun mengharapkan Pemerintah Pusat tidak memakai pendekatan militer dalam menangani persoalan di wilayah Kabupaten Puncak.
“Saya berharap Pemerintah pusat, dalam menangani persoalan di Pegunungan Tengah Papua, jangan menggunakan cara-cara kontak senjata atau pendekatan militer karena cara milter sudah tentu akan menimbulkan saling serang antara sipil bersenjata di mana-mana,” kata Willem Wandik seperti dikutip dalam keterangan tertulis yang diterima Minggu (6/10) malam.
Menurutnya, kontak senjata antara TPN-OPM dan TNI-Polri tidak akan menyelesaikan persoalan di Puncak. Misalnya, rentetan kasus penembakan terhadap warga non-Papua di Kabupaten Puncak adalah akumulasi dari penembakan dan penyisiran aparat keamanan kepada warga asli di Gome dan Kampung Olen.
Penyisiran itu menimbulkan reaksi kelompok TPN-OPM dengan melakukan aksi belasan menembak warga sipil non-Papua di Ilaga, Puncak. Beruntung kesigapan anggota TNI-Polri membuat Puncak sudah kembali kondusif.
“Itu sebenarnya akumulasi dari rentetan kasus penembakan dan penyisiran sebelumnya, sehingga TPN-OPM balik membalas dan terjadinya korban warga sipil ,” ujar Willem.
Selain korban warga berjatuhan, lanjut Willem Wandik, kontak senjata antara TPN-OPM dan TNI-Polri membuat pembangunan di Puncak menjadi lambat. Bahkan, aktivitas pemerintahan, pendidikan dan ekonomi lumpuh total.
“Kontak senjata kalau tetap terjadi, maka pemerintahan, pendidikan, ekonomi, pembangunan infratruktur jalan akan lumpuh total. Pembangunan di satu daerah tidak akan berjalan dengan baik,” katanya.
Melihat kondisi di Puncak, Willem Wandik mendorong Pemerintah Pusat melakukan pendekatan hati dan dialog untuk membangun Papua, sehingga masyarakat akan merasa menjadi bagian dari negara ini.
“Mereka akan menerima negara ada di tengah mereka, ketimbang menggunakan pendekatan militer yang justru akan membuat hati rakyat Papua menjadi sakit dan akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu akan meletus,” ujar Wandik.**