Tambang dan Reduksi Ketimpangan
Ketimpangan dan SDGs
Ketimpangan ekonomi dan sosial sudah lama menjadi perhatian banyak pihak. Bahkan, lembaga-lembaga yang tadinya dianggap tidak cukup peduli pada ketimpangan, sepanjang secara keseluruhan ekonomi dinyatakan maju, kemudian berbalik arah. Mengapa demikian? Agaknya terutama lantaran studi-studi mutakhir membuktikan bahwa ketimpangan ekonomi sesungguhnya tidaklah menguntungkan untuk pertumbuhan ekonomi.
Tetapi pertimbangan yang memihak pada pengurangan ketimpangan tidaklah seharusnya hanya terkait dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi saja. Pertimbangan kemanusiaan, keadilan sosial, dan keadilan lingkungan seharusnya juga merupakan argumentasi yang penting. Dalam hal ini, apa yang dinyatakan di dalam SDG10, reduced inequality within and among countries, sebagai bagian dari Sustainable Development Goals (SDGs) sangatlah penting untuk ditelisik lebih dalam.
Dunia yang lebih adil merata adalah prasyarat dunia yang berkelanjutan, demikian pendirian SDGs. Oleh karenanya SDG10 dengan jelas menyatakan bahwa pertumbuhan pendapatan mereka yang masuk ke dalam 40% pendapatan terendah dalam populasi harus menjadi perhatian dan prioritas. Pemberdayaan ekonomi untuk semua yang ada di dalam kelompok tersebut—termasuk untuk perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya—adalah jalan yang perlu ditempuh.
Tambang Versus Ketimpangan
Perusahaan pertambangan, di antara perusahaan-perusahaan dari sektor ekonomi lain—mungkin adalah yang paling memahami betapa pentingnya upaya untuk memastikan bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial bisa diatasi. Perusahaan pertambangan tahu persis bahwa ketimpangan dapat menyebabkan bukan saja tekanan ekspektasi masyarakat, terkikisnya dukungan masyarakat terhadap perusahaan (social license to operate), melainkan juga gangguan keamanan yang membahayakan masyarakat maupun pekerja perusahaan.
Oleh karena itu, walaupun sesungguhnya ketimpangan ekonomi utamanya adalah tanggung jawab pemerintah lewat kebijakan-kebijakan publik terkait redistribusi kekayaan, namun perusahaan tambang di manapun pasti memiliki perhatian atas isu ini. Secara umum, dengan pajak yang dibayarkan tentu saja perusahaan pertambangan telah berkontribusi dalam peningkatan ekonomi. Tetapi hal itu jelas tidaklah memadai di tingkat lokal, lantaran mekanisme redistribusinya belum tentu adil.
Perusahaan-perusahaan pertambangan yang menyadari betapa pentingnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada pada lapisan bawah ekonomi telah melakukan banyak hal yang penting. Peluang ketenagakerjaan untuk masyarakat lokal, peningkatan kapasitas dan peluang untuk bisnis lokal, serta upaya pemberian dukungan bagi masyarakat untuk mendapatkan beragam sumber pendapatan adalah hal-hal yang telah banyak dilakukan.
International Council on Mining and Metals (ICMM) mengidentifikasi tiga hal penting yang seharusnya diketahui oleh perusahaan tambang yang beroperasi di manapun. Pertama, tingkat ketimpangan di lokasi perusahaan itu hendak beroperasi beserta faktos-faktor penyebab utamanya. Kedua, kebijakan dan inisiatif yang sudah ada dalam pengurangan ketimpangan, serta bagaimana perusahaan bisa berkontribusi di dalamnya. Terakhir, kemungkinan operasi pertambangan bisa memperparah ketimpangan serta upaya yang perlu diambil untuk memitigasinya.
Tentu saja, sebagaimana yang dinyatakan ICMM, upaya memitigasi dampak perusahaan tambang atas ketimpangan ekonomi akan menjadi mustahil dilakukan apabila perusahaan tidak mengetahui statistik ketimpangan tersebut sebelum perusahaan beroperasi, serta memantaunya terus menerus sepanjang operasinya. Perusahaan juga sangat perlu untuk memiliki sensitivitas terhadap disparitas pendapatan antara pendapatan di pertambangan dengan pendapatan dari sektor lainnya. Dan, perusahaan benar-benar perlu menarget kelompok rentan di masyarakat untuk bantuan ekonomi, pelatihan, dan rekruitmen ketenagakerjaan.
Di sisi lain, ICMM juga menyatakan pentingnya meningkatkan dampak positif kehadiran perusahaan tambang. Perusahaan harus bekerjasama dengan kontraktornya untuk sebanyak mungkin membawa peluang ekonomi pada setiap keputusan investasi, pembelian, rekruitmen ketenagekerjaan, dan pelatihan. Jadi, bukan hanya pada keputusan yang diambil oleh perusahaan saja manfaat itu bisa dirasakan masyarakat. Perusahaan juga bisa mendorong partisipasi masyarakat di dalam merancang dan menganggarkan program investasi sosialnya. Dari situ partisipasi dalam perencanaan pembangunan daerah bisa muncul dan dikuatkan. Terakhir, dengan menarget bisnis mikro dan kecil milik kelompok rentan di masyarakat sebagai sumber pasokan bagi perusahaan.
Upaya PTFI di Papua
Di Indonesia, hal-hal itu sudah banyak dilakukan oleh perusahaan tambang, walau mungkin tidak selengkap apa yang menjadi ekspektasi ICMM. Salah satu anggota ICMM yang memiliki operasi di Indonesia adalah Freeport, yang di Indonesia menjadi PT Freeport Indonesia (PTFI). Walaupun kini majoritas sahamnya telah dimiliki oleh Pemerintah Indonesia melalui MIND ID, BUMN holding pertambangan, namun kebijakan dan praktiknya terus dipandu oleh ekspektasi ICMM tersebut.
Dalam laporan PTFI yang telah diverifikasi oleh pihak ketiga dan dapat diakses oleh publik, dapat dilihat kesesuaian antara petunjuk ICMM tentang mitigasi dampak negatif dan penguatan dampak positif untuk pencapaian SDG10 di tingkat lokal. Beberapa yang paling menarik adalah yang terkait dengan ketenagakerjaan dan pendidikan.
Studi yang dilakukan oleh LPEM UI di tahun 2019 menyebutkan bahwa PTFI telah menciptakan 230.000 kesempatan kerja tidak langsung, 122.000 di Papua dan 108.000 di luar Papua. Sedangkan secara langsung PTFI dan mitra kerjanya telah menyerap 30.542 tenaga kerja, di mana sebanyak 24,7% dari jumlah tersebut atau sebanyak 7.529 adalah karyawan asli Papua. Jumlah ini adalah yang terbesar dalam penyerapan tenaga kerja perusahaan di Papua.
Ekspektasi untuk semakin banyak dan tinggi proporsinya karyawan asli Papua benar-benar menjadi isu yang dikelola dengan serius. Para pemangku kepentingan sepakat bahwa untuk bisa meningkatkan jumlah dan proporsi karyawan asli Papua, pendidikan dan pelatihan adalah kuncinya. PTFI telah mendirikan dan mengelola 5 asrama untuk mereka yang berasal dari dataran tinggi Kabupaten Mimika, sekaligus sekolah yang diprioritaskan untuk menampung anak-anak tujuh suku yang diseleksi oleh lembaga pengelola dana kemitraan, yaitu YPMAK, yayasan yang tadinya bernama LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro).
Melalui dana kemitraan bagi pengembangan masyarakat, PTFI juga memberikan beasiswa kepada masih Papua kepada anak-anak yang berasal dari 7 suku khususnya Amungme dan Kamoro mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi bagi siswa yang terpilih melalui seleksi yang dilakukan mitra profesional. Sejak 1996 hingga sekarang, PTFI telah memberikan beasiswa kepada 10.736 anak dari berbagai tingkatan pendidikan dan jurusan. Bantuan pendidikan lain termasuk pendukung operasional pendidikan juga diberikan, termasuk transportasi untuk menjemput dan mengantar anak-anak dari lokasi-lokasi terpencil, pengadaan guru bantu, pemberian kelas matrikulasi untuk penyesuaian anak-anak yang akan melanjutkan studinya di luar Papua.
Upaya lainnya yang sangat menonjol adalah pendirian Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN) yang memiliki program mulai dari pelatihan kompetensi dasar (literasi) hingga tingkat lanjut, yaitu program MBA yang dilaksanakan bekerjasama dengan SBM ITB untuk pengembangan karyawan dengan prioritas karyawan asli Papua. Program andalan IPN adalah program magang untuk mempersiapkan SDM yang siap kerja sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan, khususnya di industri Pertambangan. Total peserta magang sejak tahun 2003-2018 mencapai 4.187, dengan komposisi 91% masyarakat asli Papua dan 9% pendatang. Dan total peserta magang yang terserap di PTFI & kontraktor mencapai 2.982 orang. Untuk meningkatkan kemampuan dasar dan kedisiplinan kerja, IPN memiliki program Papuan Sustainable Human Capital. Pelatihan kepemimpinan juga diberikan kepada karyawan di tingkat supervisor.
****
Tantangan PTFI untuk memenuhi ekspektasi kontribusi atas pencapaian SDG10 sangatlah besar, mengingat kondisi awal ekonomi dan sosial di tempat operasinya memang menantang. Namun upaya yang telah dilakukan dengan petunjuk dari berbagai kebijakan dan standar, termasuk dari ICMM, membuat PTFI berada pada jalan yang mengarah pada pencapaiannya. Dengan waktu yang tersisa, yaitu sekitar 1 dekade lagi, PTFI sangat penting untuk melihat kembali apakah strategi dan programnya memang sudah berkontribusi maksimal untuk pencapaian SDG10 itu, sehingga di tahun 2030 kemerataan ekonomi dan sosial di wilayah operasinya bisa membaik. Bagaimanapun, kemerataan itu akan besar manfaatnya bagi masyarakat, pemerintah daerah, maupun bagi PTFI sendiri.
*Jalal, Pemerhati Keberlanjutan Perusahaan