Saatnya Anak Asli Papua Pimpin PT Freeport Indonesia

Di tengah hiruk-pikuk media sosial pada Oktober 2025, topik PT Freeport Indonesia (PTFI) kembali menjadi sorotan. Bukan hanya soal akuisisi saham tambahan 12% secara "free of charge" yang hampir final dan menunggu arahan Presiden Prabowo Subianto, tapi juga spekulasi panas soal pergantian Presiden Direktur (Presdir).
Meski belum ada pengumuman resmi, ramainya diskusi media sosial menunjukkan aspirasi kuat dari masyarakat Papua dan nasionalis yang menuntut pemimpin asli daerah. Seruan seperti "Saatnya anak Orang Asli Papua pimpin Freeport" bergema, terutama setelah berita akuisisi saham yang membuat pemerintah Indonesia berpotensi pegang 63% saham.
Sebab sudah lebih dari setengah abad PT Freeport Indonesia (PTFI) menggali kekayaan Tanah Papua tembaga, emas, dan perak dari Tambang Grasberg yang mendunia. Namun, di tengah gemerlap keuntungan miliaran dolar, ada pertanyaan yang terus menggema: Mengapa belum ada anak asli Papua yang memimpin perusahaan ini? Seruan “Saatnya Anak Asli Papua Pimpin PT Freeport Indonesia” bukan sekadar wacana, melainkan tuntutan keadilan yang tak bisa lagi ditunda.
Sejarah Panjang Ketimpangan
Sejak beroperasi Freeport telah jadi simbol ambivalensi di Papua. Di satu sisi, ia menyumbang devisa negara dan lapangan kerja. Hanya sedikit anak asli Papua yang mencapai level Vice President pada 2019, dan tak satu pun pernah duduk sebagai Presiden Direktur. Ini bukan soal kurangnya bakat, tapi soal kesempatan. Penunjukan Claus Wamafma sebagai Direktur Pengembangan Masyarakat pada 2020 adalah langkah baik, tapi masih jauh dari puncak kepemimpinan.
Seorang anak asli Papua yang paham denyut nadi Tanah Papua bisa bawa Freeport lebih dekat ke rakyatnya. Ini lebih dari jabatan, Ini soal Identitas Mengapa ini penting? Karena Freeport bukan cuma perusahaan; ia adalah bagian dari narasi panjang Papua.
Tambang ini beroperasi di tanah leluhur, tapi sering terasa asing bagi masyarakat lokal. Seorang pemimpin OAP bisa menjembatani jurang itu memastikan program pemberdayaan seperti pelatihan kerja, pengurangan stunting, atau pelestarian budaya benar-benar tepat sasaran. Bayangkan petani lokal di Mimika jadi pemasok utama ke Freeport, atau anak-anak Papua dilatih untuk jadi insinyur tambang kelas dunia. Ini bukan mimpi, tapi peluang nyata jika kepemimpinan berpihak.
Tantangan dan Harapan
Tentu, ada tantangan. Freeport adalah raksasa global dengan dinamika kompleks, termasuk kepentingan pemegang saham asing dan tekanan operasional. Tapi justru di sinilah keberanian dibutuhkan. Pemerintah Indonesia, yang kini kuasai 51,23% saham Freeport melalui MIND ID, punya kuasa untuk membuat gebrakan.
Presiden Prabowo Subianto, dengan visinya soal pemerataan, punya momen untuk membuktikan komitmennya pada Papua. Menteri ESDM Ignasius Jonan pernah bilang pada 2018: berikan waktu 20 tahun untuk anak Papua memimpin Freeport. Kini, tujuh tahun kemudian, saatnya percepat langkah.
Saatnya Bertindak
Menunjuk anak asli Papua seperti Claus Wamafma atau Frans Pigome atau yang lainnya untuk pimpin Freeport bukan sekadar soal jabatan, tapi soal keadilan, identitas, dan masa depan. Ini tentang mengembalikan martabat Tanah Papua sebagai tuan rumah di tanahnya sendiri.
Jika Freeport ingin diterima sebagai bagian dari Papua, bukan sekadar “tamu” yang mengambil untung, langkah ini tak bisa ditawar. Kepada Presiden Prabowo, kepada MIND ID, kepada Freeport-McMoRan: dengar suara rakyat Papua. Saatnya anak asli Papua memimpin.
*Roberth Isidorus, Pimpinan Redaksi wartaplus.com