MENU TUTUP

Darah dan Air Mata di Tanah Papua: Surat Terbuka Aktivis Hak Asasi Manusia yang Mengguncang Istana, Desak Dialog Damai

Kamis, 23 Oktober 2025 | 09:55 WIB / Roberth
Darah dan Air Mata di Tanah Papua: Surat Terbuka Aktivis Hak Asasi Manusia yang Mengguncang Istana, Desak Dialog Damai Theo Hesegem/Istimewa

JAYAPURA,wartaplus.com– Di tengah gemuruh operasi militer yang tak kunjung usai, suara tangisan dari pegunungan Papua kini menggema hingga ke Istana Negara. Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), lembaga advokasi hak asasi manusia yang vokal, hari ini merilis surat terbuka dramatis kepada Presiden RI, mengungkap luka dalam yang tak terobati di tanah yang kaya alam namun miskin keadilan.

Surat ini, yang ditandatangani oleh Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem bukan sekadar keluhan ia adalah jeritan darurat yang memperingatkan: tanpa dialog damai dan penentuan nasib sendiri, pemberontakan bersenjata, aksi sipil, hingga tuntutan di forum internasional akan membara lebih hebat.

" Tanah Papua dipenuhi tangisan, darah, dan air mata, walau kekayaan alamnya melimpah ruah," begitu pembuka surat yang ditulis dengan nada hormat namun penuh kepedihan itu. Pengirim surat, yang mewakili ribuan korban konflik, menyoroti kekerasan negara yang mereka klaim sebagai "sistematis, terstruktur, dan masif".

Mereka menuding operasi militer sejak 2018 di Gunung Kabo, Nduga yang memicu penyanderaan pilot Susi Air Philip Mehrtens—telah meluas ke Pegunungan Bintang, Puncak Jaya, Maybrat, Intan Jaya, Yahukimo, Yalimo, dan wilayah lain, meninggalkan jejak mayat dan pengungsi.

Kisah-kisah mengerikan mendominasi surat itu, seperti babak horor dari film tragedi kemanusiaan. Di Distrik Mebarok, Nduga, Abral Wandikbo, seorang pemuda berusia 27 tahun, diculik, disiksa, dimutilasi, dan jasadnya dibuang ke perkebunan warga. Kasus ini, yang terjadi pada Maret 2025, telah memicu kontroversi nasional: keluarga dan koalisi sipil menuding TNI sebagai pelaku, sementara militer membantah dan menyebut korban sebagai anggota OPM yang melarikan diri.

"Ia ditemukan tak bernyawa dalam kondisi mengenaskan, setelah ditahan tanpa bukti sah," tulis YKKMP, mengutip laporan yang diserahkan ke Komnas HAM. Orang tua Abral bahkan meninggal karena serangan jantung akibat duka yang tak tertahankan, meninggalkan luka abadi di keluarga yang sederhana.

Tak kalah tragis, di distrik yang sama, seorang anak bernama Eral Gwijangge ditembak di pergelangan kaki oleh aparat, menyebabkan tulangnya patah. "Ia menderita berminggu-minggu berjalan kaki ke Kwiyawage hingga RSUD Wamena, dan bahkan di rumah sakit masih diintimidasi serta diteror oleh anggota TNI," ungkap surat itu, menggambarkan penderitaan anak tak berdosa di tengah konflik yang seharusnya tak menyentuhnya.

Kisah serupa bergulir di Tanggma, Yahukimo, di mana seorang lansia ditembak mati saat baku tembak TPNPB-OPM dan TNI, serta di Melagi, Lanny Jaya, di mana warga sipil Yoban Wenda hilang tanpa jejak setelah serangan Satgas TNI Habema. MRP Papua Pegunungan melaporkan ribuan pengungsi di Lanny Jaya akibat pengeboman pada Oktober 2025, dengan jenazah Yoban dibiarkan membusuk di lokasi, memicu tuntutan evakuasi darurat.

Puncak tragedi yang disebut dalam surat adalah pembantaian di Kampung Soanggama, Kabupaten Intan Jaya, pada 15 Oktober 2025. Pada pagi subuh, Satgas Rajawali I, II, dan 0712 TNI menyerbu rumah-rumah warga yang sedang tidur, memerintahkan mereka keluar dan menunjukkan KTP. "Mereka mencari marga Kogoya, rambut panjang atau gimbal—ditembak saat itu juga di depan masyarakat," tulis YKKMP. Sebanyak 12 warga sipil tewas ditembak "secara babi buta", termasuk 5 warga murni sipil dan 5 diduga simpatisan TPNPB tanpa senjata. Seorang ibu hamil jatuh dari jembatan dan hanyut saat mengungsi, jasadnya ditemukan di Dusun Wisiga. Total 15 korban terkubur di hadapan TNI, tanpa perlawanan apa pun.

ULMWP menyebutnya "pembantaian sadis" oleh militer Indonesia, sementara TNI mengklaim menewaskan 14 anggota OPM dalam operasi pembebasan desa. Ribuan warga kini mengungsi tanpa makanan, obat-obatan, atau pendidikan, hidup dalam ketakutan abadi.

Surat itu tak luput menyentuh kerugian negara: "Kami sadar tak sedikit anggota TNI gugur, termasuk warga non-Papua. Ini kerugian tak tergantikan." Namun, YKKMP menekankan akar masalah yang diabaikan—kajian LIPI (kini BRIN) sejak lama mengidentifikasi empat akar konflik Papua, tapi pemerintah tak kunjung bertindak. "Jika tak ada perdamaian melalui dialog atau referendum internasional, pemberontakan akan terus meledak," tegas mereka.

Sebagai respons kemanusiaan, YKKMP mengajukan empat rekomendasi mendesak:

Buka akses wartawan asing ke Papua untuk liputan HAM bebas. PBB bentuk tim investigasi khusus akar masalah Papua.

Izinkan kunjungan Dewan HAM PBB ke Papua sebagai korban pelanggaran berkepanjangan.
Buka dialog damai antara ULMWP (payung pro-kemerdekaan) dan RI.*


BACA JUGA

Jubir TPNPB-OPM: Duka Nasional Papua Undius Kogoya, Panglima TPNPB Kodap VIII Intan Jaya, Berpulang

Kamis, 23 Oktober 2025 | 09:15 WIB

Tanah Papua Berdarah Mau Sampai Kapan! Dialog, Bukan Senjata

Senin, 20 Oktober 2025 | 07:44 WIB

Juru Bicara TPNPB Organisasi Papua Merdeka Mengutuk Tindakan Premanisme Kepada Pieter Ell

Selasa, 07 Oktober 2025 | 05:37 WIB

9 Orang Tewas Dieksekusi TPNPB-OPM, Jubir Sebby Sambom: Kami Bertanggungjawab, Papua Aman-Aman Saja Adalah Hoax

Selasa, 23 September 2025 | 07:43 WIB
TERKINI

Darah dan Air Mata di Tanah Papua: Surat Terbuka Aktivis Hak Asasi Manusia yang Mengguncang Istana, Desak Dialog Damai

3 Jam yang lalu

Plh Sekda Buka Seminar Hari Dokter Nasional: Nakes Siaga Wujudkan Puncak Jaya Bebas Stunting

4 Jam yang lalu

Jubir TPNPB-OPM: Duka Nasional Papua Undius Kogoya, Panglima TPNPB Kodap VIII Intan Jaya, Berpulang

4 Jam yang lalu

Saatnya Anak Asli Papua Pimpin PT Freeport Indonesia

6 Jam yang lalu

"PT Freeport Dukung KOMIKOM 2025: Wujudkan Generasi Muda Papua Berprestasi di Bidang Sains"

7 Jam yang lalu
Kontak Informasi wartaplus.com
Redaksi: wartaplus.media[at]gmail.com