Ganti Rugi Bandara Jacob Pattipi Seyogyanya Diterima Secara kolektif Bukan Kepada Satu Orang Tertentu
JAYAPURA,wartaplus.com – Pemberian ganti kerugian tahap II pengadaan tanah Bandar Udara Jacob Pattipi, Distrik Warutin Kabupaten Hak-Fak Provinsi Papua Barat, Senin (7/9) di Winder Tuara Fak-Fak, jadi sorotan DR Pieter Ell, SH, MM selaku kuasa hukum lima pemilik hak ulayat yakni marga Uss, Pattipi, Patiran, Amor/Komor dan Hombore. Ia pun berharap tidak salah sasaran.
“Ganti rugi Bandara Jacob Pattipi Fak Fak seyogyanya diterima oleh pemilik hak ulayat secara kolektif bukan kepada satu orang tertentu. Hak ulayat ini bukan sertifikat hak milik oknum tertentu tapi milik para marga. Pemda harusnya arif menitipkan dana ganti rugi di pengadilan, biar hakim yang membayar kepad mereka yang berhak. Kalau ada ‘oknum’ aparat Pemda masih ada gerakan tambahan soal dana ganti rugi pasti muncul pertanyaan dari masyarakat,”ujarnya, Selasa (8/9) malam
Sebelumnya sebagai kuasa hukum ia berharap pembayaran ganti rugi tepat sasaran kepada pemilik hak ulayat yg berhak. Pihak-pihak tertentu jangan ulangi kesalahan tahap pertama Rp 26 Milyar yang tidak jelas dan cenderung merugikan banyak orang.
Seperti diberitakan sebelumnya lima suku adat di Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat menuntut ganti rugi hak ulayat sebenar Rp. 105 milliar kepada pemerintah setempat terkait pembangunan bandara udara Siboru diatas tanah seluas 70 hektar.
Kuasa Hukum dari perwakilan lima suku, DR Pieter Ell SH menjelaskan permohonan ganti rugi lahan seluas seluas 70 hektar guna proses pembangunan bandar udara di Kbaupaten Fak-Fak sudah tertuang dalam surat permohonan nonmor 01/SK/Tim/V/2020 kepada pemerintah daerah Fak-fak.
“Masyarakat disana meminta untuk proses pengerjaan bandara yang saat ini sedang berjalan segera dihentikan lantaran penyelesaian hak ulayat belum terselesaikan oleh pemerintah setempat. Bahkan kami sudah menyurat secara resmi kepada pemda,”cetusnya ketika dikonfirmasi, Kamis (4/6) siang.
Menutur Pieter Ell, pembayaran pernah dilakukan oleh pemerintah daerah setempat, namun dana tersebut tidak tepat sasaran yang artinya uang itu dibayarkan hanya kepada salah satu marga yang notabenya sebenarnya lahan tersebut dimiliki lima suku (marga red).
“Tahap pertama sudah dilakukan pembayaran sebesar Rp 26 miliar kepada salah satu marga, dan pembayaran itu tanpa sepengetahuan empat suku atau marga pemilik hak ulayat, bahkan uang tersebut tidak jelas digunakan untuk apa,”cetusnya.
Dikatakan, lima pemilik hak ulayat yakni marga Uss, Pattipi, Patiran, Amor/Komor, dan Hombore meminta agar proses penyelesaian hak ulayat segera di selesaikan oleh pemerintah setempat.
“Sudah pernah dilakukan pertemuan namun tidak ada penyelesaian, sementara saat ini proses pembangunan sedang berjalan, dan klaien kami memeinta untuk semua jenis pekerjaan dihentikan sampai dengan adanya penyelesaian oleh pemerintah,” ungkapnya.
Apabila nantinya proses pekerjaan bandar udara tetap berjalan, namun proses penyelesaian sengketa belum terselesaikan, menurut Pieter pihaknya akan menempuh jalur hukum yang berlaku.
“Jika tidak ada pembayaran ganti rugi kepada pemilik hak ulayat, maka kami akan menempuh proses hukum dan selama proses hukum berlangsung maka semuan aktivitas diatas lokasi tanah adat dihentikan sampai ada keputusan hukum tetap,”tegasnya.*