“Utang” Politik Pilkada Merauke Belum Dibayar Lunas
PESTA DEMOKRASI Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2020 di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua telah “dimahkotai” dengan seremoni pelantikan Romanus Mbaraka (RM) sebagai Bupati dan H.Riduwan sebagai Wakil Bupati terpilih Kabupaten Merauke oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe pada 3 Maret 2021 di Jayapura. Pasca peristiwa politik ini, kita semua dihadapkan dengan pilihan yang amat sulit, antara: “mahkota emas seorang raja/pemimpin atau mahkota duri seorang terduga?”
Banyak orang mengira bahwa “hingar-bingar pertarungan politik” pada pesta demokrasi di Merauke tahun 2020 itu, sudah seratus persen tuntas dengan terlantiknya Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Merauke, namun ternyata, pesta demokrasi itu masih meninggalkan satu masalah krusial -- yang boleh dianggap sebagai “utang yang belum terlunasi” yaitu, belum tuntasnya proses hukum dugaan penggunaan ijazah palsu oleh RM - bupati terlantik di kabupaten itu.
Realitas kehidupan kita hari ini menyatakan bahwa : Proses politik Pilkada Merauke telah berakhir tanpa gejolak yang mengganggu Kamtibmas di wilayah bagian Selatan Tanah Papua itu, namun, proses hukum dugaan ketidakaslian ijazah sekolah, belum juga dituntaskan secara benar, adil, jujur dan transparan.
Ternyata, proses politik berjalan tidak seiring dengan proses hukum. Proses politik berlari secepat kilat, sebaliknya proses hukum merayap, terseok-seok bagaikan seekor ulat tanah : pelan.., pelan.., pelan.., tapi pasti! Kata orang, Hukum tak mengenal kata “basi”!
Sendainya ketika itu
Salah satu tahapan Pilkada serentak tahun 2020 yang tercantum dalam PKPU RI Nomor 5 Tahun 2020 adalah verifikasi persyaratan pencalonan dan syarat calon yang di dalamnya terdapat pengumuman dokumen pasangan calon dan dokumen calon di laman KPU untuk memperoleh tanggapan dan masukan masyarakat (tanggal 4 – 8 September 2020).
KPU Merauke berdasarkan PKPU RI itu, melalui Pengumuman Nomor: 328/PL.02.2.Pu/9101/KPU.Kab/IX/2020 Tentang “Masukkan dan Tanggapan Masyarakat Terhadap Dokumen Syarat Pencalonan Dan Syarat Bakal Pasangan Calon Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Merauke Tahun 2020” yang ditandatangani Ketua KPU Merauke, Theresia Mahuse,SH memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat Kabupaten Merauke untuk memberikan tanggapan dan masukan terhadap dokumen persyaratan pencalonan dan syarat calon bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Merauke.
KPU Merauke meminta masyarakat untuk memberikan tanggapan dan masukan terkait pasangan calon Pendaftar 1 Drs Romanus Mbaraka,MT - H.Riduwan, S.Sos, M.Pd; Pendaftar 2: Heribertus Silvinus Silubun,SH - Bambang Setiadji,S.Sos; Pendaftar 3: Hendrikus Mahuse,S.Sos, M.Si - H. Edy Santosa,B.Sc; Pendaftar 4: Herman Anitu Basik Basik,SH - Sularso,SE. KPU Merauke memberikan tenggat waktu penyampaian masukan dan tanggapan masyarakat itu pada 4 September hingga 8 September 2020. Masukan dan tanggapan masyarakat dibuat secara tertulis dan dilengkapi dengan identitas diri.
Berdasarkan pengumuman KPU Merauke itulah, maka pada 7 September 2020, salah seorang warga masyarakat Merauke atas nama Aloysius Dumatubun yang dalam keadaan sehat rohani dan jasmani, pikiran yang waras dan dewasa, tanpa tekanan dan pengaruh dari siapapun atau lembaga manapun, berbekalkan nurani yang jernih dan basis ilmu pengetahuan di bidang Hukum, melayangkan surat kepada KPU Merauke untuk memberikan tanggapan dan masukan terkait Pendaftar 1 atas nama RM.
Hal yang dipermasalahkan adalah keaslian ijazah, gelar dan sebutan lulusan perguruan tinggi yang disandang RM selaku bakal calon bupati Merauke.
Seandainya, ketika itu KPU Merauke usai tenggat waktu yang diberikan, yaitu tanggal 4 – 8 September 2020 segera memberikan penjelasan atau klarifikasi atas masukan dan tanggapan dari Aloysius Dumatubun maka, persoalan dugaan ijazah palsu yang dikantongi RM tidak sampai berlarut-larut seperti ini, malahan tidak menjadi “utang” politik dan “utang” hukum pasca pelantikan RM menjadi Bupati Kabupaten Merauke.
Atau, seandainya pasca tenggat waktu yang diberikan KPU Merauke itu, pribadi RM sendiri dan/atau bersama “Tim Suksesnya” langsung menggelar jumpa pers menyampaikan kepada seluruh rakyat Kabupaten Merauke (atau sekurang-kurangnya kepada Aloysius Dumatubun) bahwa ijazah yang dimiliki RM itu adalah benar-benar Asli, bukan palsu seperti yang diduga, maka masalah itu tidak berkepanjangan, tidak mengundang perhatian aparat penegak hukum (polisi) dan tidak membuat pihak-pihak berwenang lain, seperti DKPP sibuk menuntaskan kasus dugaan ini.
Seandainya, pihak “Tim Sukses” RM dan Riduwan ketika itu (September hingga Desember 2020) mendengar dan menerima saran dari warga Merauke agar RM dan Timnya secepatnya melakukan klarifikasi keabsahan penggunaan ijazah RM sejak SMA hingga Perguruan Tinggi, maka persoalan yang krusial ini tidak terbawa hingga usai pelantikan Bupati dan wakil Bupati Merauke hasil Pilkada tahun 2020 lalu.
“Dengan Hati yang tulus dan itikad baik, tanpa bermaksud apapun,namun demi kebaikan bersama, saya telah mengingatkan dan berulang-ulang kali menyarankan kepada salah satu anggota Tim Sukses RM agar segera melakukan klarifikasi dugaan penggunaan ijazah palsu ini, sehingga tidak menjadi bola panas yang bergulir sangat liar di kemudian hari. Namun, mungkin saran sederhana ini tidak ditanggapi secara serius apalagi, saran ini diberikan oleh orang kecil seperti saya ini, sehingga akhirnya masalah ini pun tidak kunjung berakhir” kata Om Bas – salah seorang warga Kota Merauke.
Semua yang terurai di atas adalah “pengandaian” saja: “Seandainya jika....!” Tetapi, bagaimanapun juga, masalah tetaplah masalah, masalah terus bergulir secara liar dan orang pun terus mengejar “Kebenaran, Kejujuran dan Transparansi” itu sendiri. Orang terus menduga-duga bahwa jangan-jangan, RM telah melakukan kebohongan publik selama bertahun-tahun terkait penggunaan ijazah sekolahnya.
Selama yang bersangkutan (RM) atau lembaga pendidikan menengah SMA dan perguruan tinggi tempat dulu RM mengenyam pendidikan, belum atau tidak melakukan klarifikasi tentang: apakah ijazah yang dimiliki RM itu Asli atau Palsu, maka selama itu juga dugaan kebohongan ini akan menjadi seperti “virus kanker” yang terus menggerogoti seluruh sel manusia. Pelan tapi pasti akan mematikan juga.
Mantan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Surabaya Prof.Dr.J.E.Sahetapy pernah menerjemahkan sebuah adagium (peribahasa) dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia: ”Meskipun kebohongan itu lari secepat kilat, suatu waktu kebenaran itu akan mengalahkannya!”. Mudah-mudahan peribahasa ini tidak (sampai) berlaku pada kasus dugaan ini.
Siapa di balik Aloysius dan Media?
Orang atau kelompok orang dapat saja merasa tidak senang, marah, gusar dan sangat emosional ketika mengetahui bahwa seorang Aloysius Dumatubun begitu kukuh dan kokoh pendiriannya untuk memberikan masukan dan tanggapan terkait keabsahan ijazah calon nomor urut 1 atas nama RM. Tidak sedikit orang (termasuk KPU Merauke tentunya), bukannya ikut membantu agar segera dilakukan klarifikasi terkait masalah ini, tetapi malah terkesan “membiarkan” masalah ini bergulir. Malahan, ada orang yang bersikap masa bodoh, apatis dan meremehkan masalah ini. Ada pula yang mencibir memandang seorang Aloysius yang dianggapnya sebagai “pengganggu” atau “penghambat” jalanya proses demokrasi Pilkada serentak Tahun 2020 itu. Orang tidak mau ribut, tidak mau repot.
Begitu pula, tidak sedikit orang yang memandang masalah ini sebagai hal yang harus segera dituntaskan tetapi justru bertindak di luar masalah itu sendiri, antara lain, mereka mulai bertanya, siapa atau apa yang mendorong Aloyisus berbuat demikian? Siapa atau kelompok orang mana yang berada di balik Aloysius? Mengapa dia sampai berbuat demikian, jangan sampai Aloyisus punya dendam pribadi terhadap RM, dan beribu pertanyaan susulan lain yang mengiringi bergulirnya permasalahan krusial ini. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang tidak menyelesaikan masalah namun dapat membuat masalah baru atau semakin memperumit masalah ini.
Malahan, ada pula orang yang berpendapat bahwa KPU memang memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk memberikan “masukan dan tanggapan” tentang setiap calon peserta Pilkada namun, tidak ada satu pasalpun dalam PKPU itu yang meminta KPU kembali memberikan penjelasan atas hasil penelitian administrasi setiap calon kepada masyarakat. Oleh karena itu, KPU tidak perlu dan tidak wajib melakukan klarifikasi kepada masyarakat atau kepada pribadi Aloysius atas masukan dan tanggapannya.
Apabila ada orang berpendapat demikian, maka kalau begitu, tidak perlu ada PKPU RI Nomor 5 Tahun 2020 yang menghendaki agar warga masyarakat memberikan “masukan dan tanggapan”.
Apabila kita menerima pendapat bahwa KPU tidak punya kewajiban untuk menjelaskan kepada publik hasil kerja mereka terkait “masukan dan tanggapan” dari masyarakat (dalam hal ini dari Aloyisus) maka hal itu akan menjadi preseden buruk di kemudian hari, bahwa siapapun bakal calon atau calon kepala daerah yang menyerahkan ijazahnya ke KPU -- sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk ikut bertarung dalam pesta dmokrasi Pilkada, apakah ijazah itu asli atau palsu, tidak perlu dihiraukan dan dipermasalahkan oleh publik, yang terpenting adalah diserahkannya selembar kertas yang bertuliskan Ijazah. Pada titik inilsh pembohongan publik dapat terjadi dan nilai kejujuran akhirnya menjadi “barang murahan” yang dapat diperjualbelikan dalam proses berdemokrasi Pilkada.
Hal yang menjadi jelas adalah, yang mendorong seorang Aloysius Dumatubun memberikan masukan dan tanggapan terkait pemenuhan persyaratan adminiastrasi calon bupati dan calon wakil bupati Merauke adalah: PKPU RI Nomor 5 Tahun 2020 terkait verifikasi persyaratan pencalonan dan syarat calon yang di dalamnya terdapat pengumuman dokumen pasangan calon dan dokumen calon di laman KPU untuk memperoleh tanggapan dan masukan masyarakat.
Begitu pula, justru KPU Merauke berdasarkan PKPU RI, melalui Pengumuman Nomor: 328/PL.02.2.Pu/9101/KPU.Kab/IX/2020 Tentang “Masukkan dan Tanggapan Masyarakat Terhadap Dokumen Syarat Pencalonan Dan Syarat Bakal Pasangan Calon Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Merauke Tahun 2020” memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat Kabupaten Merauke untuk memberikan “tanggapan dan masukan” terhadap dokumen persyaratan pencalonan dan syarat calon bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Merauke.
Pertanyaan cerdas lainnya adalah, dimana posisi dan peran media massa dalam kasus dugaan penggunaan ijazah palsu ini?
Dari sekian banyak media online dan media arus utama (radio, TV, surat kabar), tidak banyak media yang memberikan perhatian serius pada permasalahan krusial ini. Mungkin karena banyak peristiwa di Papua yang jauh lebih penting daripada persoalan ini; mungkin juga karena media sendiri tidak ingin “sibuk” dengan persoalan asli atau tidak aslinya ijazah yang dikatongi RM; atau ada sejuta kemungkinan lain dari itu.
Sebaliknya, ada pula media yang begitu gencarnya memberitakan kasus dugaan penggunaan ijazah palsu oleh RM ini, walaupun jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Pertanyaan kritis terkait media tersebut adalah, apakah benar bahwa media ini ingin secara jujur menegakkan nilai “Kebenaran, Kejujuran dan Transparasni” dalam proses demokrasi Pilkada Merauke, ataukah karena media ini diduga “tidak dapat apa-apa” dari RM dan pasangannya sehingga begitu semangatnya “menyerang” RM melalui dugaan ijazah palsu? Atau media diduga punya agenda politik terselubung dari kasus ini, diboncengi kelompok tertentu, atau jangan sampai ada dendam pribadi wartawan media dengan RM? Atau juga, karena media itu telah disogok oleh Aloysius Dumatubun untuk “menghancurkan” karier RM?
Dari pertanyaan kritis tentang posisi dan peran media ini, satu hal yang menjadi jelas adalah: Media massa dan suara akademisi (termasuk mahasiswa) adalah alat terampuh untuk menilai kebijakan publik (kontrol sosial dan usaha perbaikan keadaan masyarakat). Ilmuwan dan wartawan justru harus bersahabat karena mereka sebagai pencari kebenaran, harus berusaha melihat suatu persoalan dari banyak sisi.
Menurut Galileo, dalam suratnya kepada Christina of Lorraine, pencarian kebenaran (baik oleh wartawan maupun ilmuwan) dilakukan untuk “To see what they do not see, not to understand what they understand and when they seek, to find the opposite of what they find” – yaitu untuk melihat apa yang tidak mereka lihat, tidak untuk mengerti apa yang mereka mengerti dan ketika mereka mencari; untuk mendapat lawan dari yang mereka temukan!”.
Bagaimanapun juga, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi telah membantu keefektifan kontrol sosial dari masyarakat. Era informasi menyebabkan dunia terasa satu. Masyarakat semakin peduli apabila terjadi ketidakladilan, ketidakjujuran di daerah lain (termasuk Merauke), terutama mengenai masalah demokrasi dan hak asasi manusia. (Widjajono Partowidagdo, 1999).
Langkah DKPP
Masalah dugaan penggunaan ijazah palsu ini bagaikan “bola panas” yang bergulir sangat liarnya! Tidak hanya pihak polisi di Polres Merauke dan Polda Papua tetapi juga DKPP RI di Jakarta ikut memberikan perhatian serius. Polisi sudah bekerja dengan “caranya sendiri” yang hasilnya tidak harus diumumkan kepada publik. Polisi sering bekerja penuh misteri (rahasia). Kadang, kita menduga polisi sudah “kemasukan angin” tetapi sebenarnya mereka punya cara dan gaya tersendiri untuk “menjerat” pelaku kejahatan demi tegaknya hukum dan keadilan. Dalam bekerja, polisi sering berprinsip “menangkap ikan tanpa harus mengeruhkan air – mengambil sehelai rambut tanpa harus merusakkan adonan itu sendiri”.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) pada 24 Februari 2022 mengirimkan Surat “Panggilan Sidang” Nomor 0427/PS.DKPP/SET.04/II/2021 kepada Aloyisus Dumatubun selaku “pengadu” pada kasus dugaan penggunaan ijazah palsu oleh RM. Surat panggilan ini ditandatangni Plt Sekretaris DKPP RI, Arif Ma’ruf.
Aloysius dipanggil selaku “Pengadu” untuk menghadap Majelis Sidang DKPP pada Senin, 8 Maret 2021 Pukul 13.00 WIT di kantor Polres Merauke, Jl.Brawijaya No.27, Kelurahan Kelapa Lima, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke.
“Agenda: Mendengarkan pokok-pokok pengaduan dari Pengadu, jawaban Teradu dan mendengarkan keterangan Saksi,” tulis Ma’ruf.
Di dalam surat tersebut, DKPP memberikan catatan bahwa pengadu membawa 8 (delapan) rangkap pengaduan lengkap dengan alat bukti primer serta membawa saksi yang diperlukan.
Dalam perkembangannya, ternyata DKPP pada 6 Maret 2021 kembali mengirimkan surat menyatakan bahwa sidang yang direncanakan digelar 8 Maret 2021 itu ditunda karena kendala teknis pada Kesekrterariatan DKPP. Waktu dan tempat pelaksanaan sidang akan ditetapkan kemudian.
Ternyata, DKPP tidak membatalkan atau menghentikan proses penyelesaian kasus dugaan penggunaan ijazah palsu oleh RM ini tetapi hanya menunda karena alasan teknis. Itu berarti, yang namanya penegakkan hukum, tidak pernah mengenal kata “basi”. Cepat atau lambat, masalah ini harus dituntaskan demi kebaikan bersama, demi tegaknya hukum dan keadilan serta demi tegaknya demokrasi di Merauke.
Hukum adalah alat untuk membentuk masyarakat yang lebih baik. Ada yang menyebutkan “Law is a tool for social engineering” – Dengan hukum kita bisa membawa masyarakat menjadi bermoral, berdisiplin, dan bekerja keras.
Kita tidak perlu emosional dan menggerutu menghadapi permasalahan krusial ini. Tetapi dengan hati yang sejuk, penuh hikmah kebijaksanaan,-- dengan kejujuran, kesabaran dan ketulusan hati, tanpa curiga satu dengan yang lain, tanpa menuduh orang lain melakukan pencemaran nama baik, -- kita semua secara bersama-sama dalam semangat kebersamaan terus berupaya menyelesaikan masalah dugaan penggunaan ijazah palsu oleh RM.
Masalah ini tidak boleh dianggap sepele, jangan meremehkan masalah ini karena apabila benar bahwa ijazah RM adalah Asli, maka semua dugaan selama ini menjadi sirna. Sebaliknya, apabila benar bahwa ijazah yang digunakan RM itu Palsu, maka pertanyaan beruntun akan kita hadapai antara lain, kalau demikian, mengapa RM pada tahun 2011 dapat lolos persyaratan admnistrasi untuk ikut Pilkada Bupati Merauke dan akhirnya sukses menjabat Bupati Merauke periode 2011-2015 ?
Begitu pula, bagaimana RM tempo doeloe dapat sampai lolos seleksi administrasi ketika dia melamar menjadi ASN di Kabupaten Merauke? Bagaimana mungkin perguruan tinggi STISIPOL Merdeka Manado dan ITB Bandung dapat memberikan ijazah kepadanya sebagai sebuah ijazah yang “asli tapi palsu?” Benar juga kata pepatah tua ini:”Kita tidak dapat beranggapan bahwa yang pernah sukses, akan sukses lagi dimasa datang!
Ternyata, sungguh tidak mudah membangun alam demokrasi pada zaman ini. Demokrasi tidak selalu menghasilkan kebijakan terbaik, tetapi paling tidak memberikan kesempatan untuk mengoreksi kesalahan terburuk! Inikah yang diperjuangkan Aloysius Dumatubun?
*Peter Tukan: Mantan wartawan Kantor Berita Indonesia (KBI) ANTARA Papua.