Terkait Pemberitaan Jubi, FKLKM Akan Lapor Dewan Pers dan Polda Papua
JAYAPURA,wartaplus.com – Panglima Kodam (Pangdam)XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Ignatius Yogo Triyono, MA membantah soal tudingan bahwa guru di Distrik Beoga dan pelajar di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua yang ditembak mati oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) adalah mata-mata TNI-Polri. “Memang cara-cara mereka (KKB) untuk memutarbalikan fakta, contohlah seperti guru kemarin yang ditembak, orang Toraja. Itu mereka menghembuskan opini bahwa orang itu adalah mata-mata TNI Polri, padahal itu tidak ada,”katanya di Kota Jayapura beberapa waktu lalu
Ditegaskan, guru yang dituduh sebagai mata-mata itu, tidak benar karena sudah mengajar bertahun-tahun di Kabupaten Puncak. Apalagi, sudah ada pernyataan resmi dari intansi terkait soal status guru yang dituduh tersebut dengan beredarnya surat kontrak sebagai tenaga pengajar.
“Mereka itu guru, benar-benar guru asli yang sudah bertahun-tahun mengajar disitu, tidak ada mata-mata. Itulah cara mereka (KKB) memutarbalikan fakta, menghembuskan opini yang tidak benar, termasuk anak muda yang tadi malam ditembak, itu mereka bilang sering ke koramil, iyakan, sehingga dibilang mata-mata," katanya.
Padahal, kata Pangdam, pelajar yang bernama Ali Mom itu sering ke Koramil setempat karena bercita-cita menjadi prajurit TNI, sehingga diberikan pelatihan yang tepat untuk mempersiapkan diri pada tes nanti.
“Anak itu di koramil, dalam rangka mau jadi prajurit TNI, sehingga disiapkanlah oleh Koramil untuk latih fisiknya. Itulah dihembuskan opini bahwa, dia adalah mata-mata TNI-Polri sehingga ditembak, itulah selama ini yang dikembangkan oleh mereka,” katanya.
Terkait pengembangan opini ini, Pangdam mengaku bahwa masyarakat secara luas sudah mengetahui modus pembenaran dari KKB untuk menembak mati warga sipil yang tidak bersalah.
“Dan masyarakat sudah tahu pada umumnya mereka ini pembohong, dan mereka menyusahkan, banyak aksi aksi mereka yang membuat masyarakat muak. Contoh beberapa bulan lalu ada pesawat misionaris yang dibakar oleh mereka. Itu pesawat itu selalu melayani masyatrakat di pedalaman untuk pendorongan logistik, itu pelayanan agama, tapi tetap juga dibakar,”katanya mencontohkan perlakukan KKB.
“Pada akhirnya menurut saya masyarakat akan menilai, apa yang mereka lakukan, kebiadaban yang dilakukan terhadap masyarakat tetapi mereka selalu memutarbalikan fakta. Mereka bilang ini mata-mata TNI-Polri, artinya mereka selalu berbohong. Intinya TNI Polri selalu menjaga keamanan dan mengejar para pelaku kejahatan itu,” tegasnya.
Forum Komunikasi Lintas Kerukunan Nusantara (FKLKN) di Provinsi Papua menilai pemberitaan yang diterbitkan oleh Jubi.co.id dengan judul 'Guru di Beoga, Puncak ditembak karena kerap dijumpai membawa pistol' dinilai telah menggiring opini berupa penyebaran informasi yang tidak benar atau memprovokasi. Ini disampaikan oleh Koordinator FKLKN Provinsi Papua Junaedi Rahim didampingi Ketua HKJM Sarminanto, Ketua K3 Yorrys Lumingkewas dan perwakilan suku Buton, Padang, Pasundan serta paguyuban lainnya di Kota Jayapura, Papua, Minggu (19/4/2021) malam.
Diketahu pada laman Jubi.co.id dengan judul 'Guru di Beoga, Puncak ditembak karena kerap dijumpai membawa pistol' yang terbit pada 9 April 2021 menyebutkan seorang warga sipil di Beoga, Kabupaten Puncak kepada Jubi, Jumat (9/4/2021) membenarkan penembakan terhadap seorang guru di Beoga oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
“Benar bapak guru almarhum Oktovianus Rayo ditembak mati. Almarhum adalah guru honorer tapi juga berdagang. Dia juga dicurigai mata-mata aparat keamanan. Sebab beberapa kali masyarakat jumpai dia sedang bawa pistol. Sehingga mereka (TPNPB) menembak mati dia,”kata warga Beoga ini kepada Jubi melalu sambungan telepon.
DiketahuI Guru honorer SD Inpres Kelemabet Beoga Kabupaten Puncak bernama Oktovianus Rayo (40) ini ditembak dua kali hingga meninggal dunia pada Kamis (8/4/2021) sekitar pukul 10.00 WP di Kampung Julogoma, Distrik Beoga.
"Dari media Jubi memberitakan bahwa guru itu adalah mata-mata, dan ini tidak benar. Tentu kami minta media itu, agar aparat untuk segera diselidiki, karena sudah membuat provokasi yang tidak benar. Dan nanti akan menimbulkan banyak opini dipublik," katanya.
Menurut dia, seharusnya berita yang disajikan itu dimuat lebih berimbang dengan menghadirkan pernyataan dari pihak atau instansi terkait agar lengkap dan tidak menimbulkan pemahaman yang salah, sehingga tidak terkesan mendeskreditkan atau menyudutkan profesi seorang guru ataupun oknum warga. Karena stigma sebagai mata-mata bisa tersemat kepada siapa saja, terutama warga non Papua.
"Korban itu adalah guru dan ada juga tukang ojek yang tidak pernah berafiliasi terhadap politik atau apapun, mereka hanya masyarakat biasa, hanya guru. Dan itu kita sudah kami tanyakan kepada pihak keluarga, bahwa mereka betul-betul sebagai guru dan sekaligus membantah pernyataan dari kelompok tertentu atau pun pemberitaan dari Jubi," katanya.
Junaedi mengaku pihaknya akan segera menelaah lebih detail lagi soal pemberitaan yang diyakini telah merugikan publik dan bisa menimbulkan pandangan yang salah soal keberadaan guru serta warga non Papua.
"Kita akan menelaah lebih detai tentang isi pemberitaan. Yang jelas dari rapat tadi sudah mengemuka soal pemberitaan Jubi yang mengarah pada suatu pernyataan atau pemberitaan yang tidak bertangungjawab. Masa begitu cepat dinyatakan sebagai mata-mata, padahal itu adalah seorang guru," katanya.
Ditegaskannya, membuat suatu berita itu, ada konfirmasi kepada pihak terkait sehingga tidak asal berita. “Kami ada divisi hukum yang akan menelaah. Jika kasus itu terkait jurnalistik, akan kami adukan ke Dewan Pers dan jika itu menyangkut pidana, kami akan ke Polda untuk disikapi," sambungnya.
Untuk itu, Junaedi meminta agar dalam pemberitaan lebih mengedepankan kesejukkan, bukan sebaliknya yang bisa membuat kegaduhan di tengah bulan Ramadhan. "Ini tidak boleh terjadi, secara jurnalis harus berimbang. Sampai hari ini saja disana, tidak ada berita bela sungkawa, sedikit pun rasa empati tidak ada bahwa dia sudah meninggal atau sudah dibunuh, mungkin karena berita itu juga, membuat takut. Apakah seluruh pendatang ini mata-mata. Apalagi situasi politik di Papua sedang panas soal pembahasan Otsus. Sehingga hindari jangan sampai terjadi, kita hidup di Papua itu ingin damai, jangan hanya slogan saja,"tandasnya.
Pada momentum ini, Junaedi juga berpesan kepada semua pihak agar bisa menahan diri terkait masalah itu sehingga tidak meluas dan bijak dalam menyikapi informasi yang berkembang dengan tidak mudah terhasut isu yang menyesatkan yang bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
"Kepada saudara-saudara kita di daerah untuk sementara waktu menahan diri tidak terprovokasi, kita akan terus mendorong pemerintah, polda dan kodam untuk usut kasus ini. Kami juga menyatakan keprihatinan dan turut belasungkawa sedalam-dalamnya atas kasus ini. Kita berdoa agar almarhum dapat diterima ibadahnya dan diterima disisiNya,"pesan Junaedi.
Sementara itu, Sarminanto menambahkan jika saja guru tersebut seorang mata-mata seperti diberitakan di media Jubi, sudah pasti ada upacara militer yang dilakukan saat penguburan, tetapi hal ini tidak terjadi kepada guru yang dituding sebagaimana dalam berita tersebut. "Kalau disebut mata-mata itu pasti anggota. Sementara guru yang meninggal itu tidak dimakamkan secar militer atau secara kepolisian dikampungnya sana, itu berarti bukan mata-mata. Jadi, tidak seperti yang dituduhkan,"ujarnya.
Sementara itu saat dikonfermasi wartaplus.com, Pimpinan Redaksi Jubi Angela Flassy mengaku belum ada surat permintaan klarifikasi terkait pemberitaan yang dipublis medianya. “Belum ada surat permintaan klarifikasi Forum Komunikasi Lintas Kerukunan Nusantara (FKLKN) di Provinsi Papua,”ujarnya.*