Papua Sebuah Noktah Pelanggaran HAM
Warisan Kolonial.
Masyarakat Papua sering menggugat, “ Katanya kita bersaudara dan merdeka dari penjajahan kolonial Belanda, tetapi apa bedanya dengan Indonesia bila mana cara-cara kekerasan yang sama dipakai untuk mengatasi konflik yang ada dan pada gilirannya memusnakahkan bangsanya sendiri, yaitu masyarakata Papua”. Hal ini tentunya sangat ironis dan menyedihkan kita sebagai bangsa Indonesia yang terus mendorong berkembangnya demokrasi pasca reformasi 1998. Els Bogaerts dan Remco Raben menyatakan bahwa akar kekerasan yang ada di Indonesia setelah merdeka 1945 merupakan warisan kolonial Belanda untuk mengahncurkan orang Indonesia (Van Indie tot Indonesia, Amsterdam, 2007: hal.35-terjemahan bebas).
Untuk menghindari terjadinya perang antara Indonesia melawan Belanda, akhirnya Amerika Serikat (AS) dapat menekan Belanda untuk melakukan perundingan dan menandatangani perjanjian New York Agreement (NYA) pada tanggal 15 Agustus 1962. Belanda akhirnya menyerahkan Papua kepada PBB/ UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority 1 Oktober 1962, selanjutnya setelah 8 bulan dibawah UNTEA, pada tanggal 1 Mei 1963 secara de facto, UNTEA menyerahkan Papua kembali ke Indonesia. Tanggal 1 Mei 1963 ini diperingati sebagai hari lahirnya Provinsi Irian Barat (Papua) dengan pusat pemerintahan di Kota Baru (Holandia, Jayapura). Sesuai Perpres No.1 Tahun 1962 dan Gubernur Propinsi Irian Barat (Bentuk Baru) haruslah putera asli Irian Barat. Dengan Keputusan Presiden No.71 Tahun 1963 terhitung mulai 1 Mei 1963 diangkat Eliezer Jan Bonay sebagai Gubernur, seorang anak adat dari wilayah budaya Saireri.
Meskipun kembalinya Papua dalam rumahnya yang bernama NKRI sesuai prinsip International “Uti Possidetis Juris”( John Saltford, The United Nations and The Indonesians Takeover of West Papua, 1962-1969, London, 2003:hal.8).
Namun warisan kekerasan peninggalan kolonial Belanda sejak 1 Mei 1963 terus berlangsung hingga kini 1 Mei 2021(58 tahun)baik di Papua maupun Indonesia pada umumnya. Kita tidak sadar bahwa pola kekerasan ala kolonial Belanda ini telah kita adopsi menjadi budaya dalam sistem berbangsa dan bernegara. Disanping itu kita juga terperangkap didalamnya dan berlindung dibaliknya atas nama kedaulatan Negara serta mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) ciptaan Tuhan YME sesuai Pancasila yang kita agungkan (Sila Kedua).
Internasionalisasi Kasus Papua
Kekerasan yang terus terjadi selama 58 tahun bisa menjadi pintu masuk bagi internasionalisasi kasus Papua melalui isu pelanggaran HAM di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Presiden Jokowi secara bijak melalui Menkopolhukam telah memutuskan tiga kasus besar pelanggaran HAM di Papua untuk menjadi perhatian dan telah dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM RI, yaitu kasus Wasior Berdarah (2001), Wamena Berdarah (2003) dan kasus Paniai Berdarah (2014) untuk telebih dahulu dituntaskan.
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memulihkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Negara dan Pemerintah. Makna ke-Indonesiaan dalam konteks Papua setelah 76 Tahun Indonesia merdeka, ternyata untuk beberapa kalangan dilihat hanya dalam bentuk symbol dan belum sampai pada masyarakat akar rumput di Papua menjadi bagian utuh dari Indonesia akibat memoria passionis (ingatan penderitaan) di masa lalu.
Argumen ini dibuktikan dari masih adanya keinginan sekelompok orang Papua untuk melakukan pembangkangan yang dilabeli teroris terhadap pemerintah yang sah.(Konvensi Jenewa 1949, Resolusi MU PBB 2625 (XXV), tanggal 24 Oktober 1970 dan Pasal 51 Piagam PBB).
Isu pelanggaran HAM, selalu dimunculkan untuk menjadi dasar panggung politik mereka-mereka yang ingin mendapat dukungan internasional terkait referendum Papua.(Sidang Working Group Universal Periodic Review Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa)
Kasus Papua akan menjadi noktah pelanggaran HAM, manakala praktik-praktik kekerasan sebagai hasil “collateral damage” atau kerusakan ikutan tidak dapat dieliminir. Pembakaran kampung, interogasi dan penyiksaan, salah tembak dll terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa juga masuk dalam rumpun pelanggaran HAM.
Kecanggihan teknologi dewasa ini memudahkan mereka untuk mengekspose pelanggaran-pelanggaran tersebut keluar agar mendapat perhatian dan dukungan baik nasional maupun internasional.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia, mengatakan: “ Papua adalah salah satu lubang hitam Indonesia untuk Hak Asasi Manusia. Kegagalan oleh negara untuk memastikan investigasi yang cepat, independen dan efisien, dalam pembunuhan tidak sah, merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terpisah”.
(Sumber: www.amnesty.org.uk, tanggal 2 Juli 2018).
Solusi kedepan dalam rangka mencapai Tanah Papua yang Aman dan Damai:
- Diperlukan adanya Road Map (Peta Jalan) tentang penanganan Pelanggaran HAM di Indonesia secara komprehensif, bijak, dan dapat dipercaya ( comprehensive, wise and truthful) di masa mendatang, sebagai cerminan dari negara Indonesia yang demokratis dan berfalsafah Pancasila.
- Merekontruksi kembali kebiasaan Pendekatan Keamanan selama ini menjadi Pendekatan Keamanan Manusia di Indonesia secara komprehensif, bijak dan terukur ( comprehensive, wise and legitimate) dengan berpedoman pada Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Pembangunan (UNGA Resolution 41/128 ) tanggal 4 Desember 1986.
- Pendekatan Keamanan Manusia Butir 2 (dua) diatas dapat di integrasikan dengan paradigma baru Presiden Jokowi dalam rangka optimalisasi pembangunan di Papua tahun 2020 dan Perpres no. 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, tanggal 4 Juli 2017 menuju Sustainable Development Goals 2030 dengan 17 (tujuh belas) tujuan dan 164 (seratus enam puluh empat) sasaran.
- Penerapan yang konsisten dari pada UU No 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Ini adalah “kompromi politik” dan “langkah resolusi konflik” yang terbaik untuk membangun Papua secara fisik maupun sumber daya manusianya, agar mengubah “Memoria Passionis (Ingatan Penderitaan)” menjadi “Memoria Felicitas (Ingatan Kebahagiaan)” dalam bingkai NKRI.
Oleh : Ambassador Freddy Number, Ketua Umum Forsemi Papua