Komnas HAM Papua Tegaskan Tragedi Mud Rush Grasberg Block Cave Bukan Sekadar Human Error
Frits Bernard Ramandey/Istimewa
JAYAPURA, wartaplus.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Papua menegaskan bahwa tragedi longsor material basah (mud rush) di area tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC) milik PT Freeport Indonesia (PTFI) pada 8 September 2025 bukan hanya akibat human error, melainkan kurangnya antisipasi yang tepat terhadap risiko keselamatan pekerja.
Insiden yang terjadi sekitar pukul 22.00 WIT itu melibatkan sekitar 800.000 ton material basah yang tiba-tiba meluncur dari panel ekstraksi 28-30, menyapu area kerja dan menjebak tujuh pekerja PTFI di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Seluruh korban meninggal dunia, dengan jenazah pertama ditemukan pada 20 September 2025. Proses evakuasi lengkap baru selesai pada 5 Oktober 2025 setelah 27 hari operasi penyelamatan gabungan yang melibatkan PTFI, Kementerian ESDM, Polres Mimika, Basarnas, dan BPBD.
Ketua Komnas HAM Papua, Frits Bernard Ramandey, membenarkan bahwa timnya telah berada di Timika dan pada 10 November 2025 bertemu dengan manajemen PTFI di Kuala Kencana.
"Kami tidak bisa ke tempat kejadian karena masih dalam suasana perbaikan. Komnas HAM Papua hanya diperlihatkan video keadaan tempat kejadian dan proses evakuasi yang dilakukan," ujar Ramandey kepada wartaplus.com, Selasa (11/11/2025). Diungkapkan, pertemuan dilakukan di Kuala Kencana dan dihadiri Direktur & Executive Vice President Sustainable Development PT Freeport Indonesia, Claus Wamafma.
Menanggapi dugaan kelalaian, Ramandey menekankan bahwa insiden ini melampaui sekadar kesalahan manusia. "Ini bukan hanya human error, tapi kurangnya antisipasi yang kurang tepat. Karena bongkahan tanah maupun lumpur yang beberapa kali muncul, dan ini tidak diantisipasi secara baik. Dalam perspektif hak asasi manusia, keselamatan pekerja harus menjadi yang utama. Ada hierarki pertanggungjawaban yang harus ditegakkan, sesuai prinsip HAM dan bisnis," katanya singkat.
Ramandey juga menyoroti bahwa kejadian serupa bukan yang pertama kali. "Mereka menyampaikan bukan kejadian pertama. Pertanyaan lanjutan kami kalau ini bukan kejadian pertama, bagaimana perusahaan sebesar Freeport memiliki apa tidak menggunakan alat deteksi di bawah tanah, juga menggunakan satelit untuk memantau pergerakan tanah?" tandasnya.
Komnas HAM Papua terus mendalami kasus ini untuk memastikan akuntabilitas dan pencegahan di masa depan, demi melindungi hak asasi pekerja di sektor pertambangan.*


