Divestasi Freeport Melalui IPO Dinilai Hanya Menguntungkan 'Orang Kaya'
JAYAPURA - Pernyataan mantan Menteri ESDM, Sudirman Said, yang mengatakan dirinya menganjurkan agar skema divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan cara melepas saham melalui pasar modal atau Initial Public Offering (IPO) adalah langkah yang tidak tepat dan cermat.
Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman dan penulis Buku Freeport 'Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara' mengatakan mekanisme pelepasan melalui pasar modal tak pernah dianjurkan oleh UU No.4/2009, tentang Mineral dan Batubara.
“Kalau saham Freeport dilepas melalui mekanisme IPO di pasar modal, yang dapat untung hanya pengusaha kaya. Pelaku pasar modal hanya 0.6 % penduduk Indonesia. Sudah begitu, banyak investor yang beli saham di pasar modal juga adalah investor asing. Itu makanya kalo krisis di Indonesia, ada capital outflow besar-besaran,” tutur Ferdy.
Menurutnya, jika melalui IPO, saham Freeport akan menjadi rebutan pengusaha lokal yang memiliki banyak uang dan menjadi incaran para politisi.
Ferdy memberikan contoh pengalaman pelepasan saham Garuda Indonesia. Pada IPO saham Garuda, Mantan Bendahara Partai Demokrat, M. Nazarudin memborong 400 juta saham atau Rp300 miliar yang dilakukan 5 perusahaan miliknya. Setelah IPO salah satu pengusaha kakap mendapat pinjaman Credit Suisse memborong 351.6 juta lembar (10 % saham GIA).
“Fakta ini mau menunjukan bahwa opsi divestasi saham PTFI melalui IPO bukan solusi cerdas, tetapi solusi instan,” kata Ferdy.
Lanjut Ferdy, mantan menteri ESDM seperti tidak mampu memberikan solusi yang lebih brilian dibandingkan rezim-rezim sebelumnya dalam melakukan divestasi saham pertambangan.
Selain itu, Sudirman juga sempat menanggapi soal perpanjangan kontrak dan pembangunan pabrik smelter. Dimana katanya, soal perpanjangan kontrak sampai tahun 2041, itu adalah keputusan bisnis. Tanpa ada perpanjangan kontrak sampai tahun 2041, Freeport tidak akan berinvestasi di tambang underground yang mencapai angka US$17 miliar dan pembangunan smelter tak berjalan.
“Jadi, nalar politik tak akan pernah mempu memahami mengapa pemerintah harus memperjang kontrak Freeport sampai tahun 2041. Mekanisme korporasi yang dilakukan pemerintah untuk mengambil alih saham PTFI adalah langkah paling elegan,” jelas Ferdy.
“Coba Sudirman Said tanya investor. Investor mana yang mau bangun pabrik smelter tembaga dengan dana besar mencapai US$2.3 miliar dolar jika izin tidak diperpanjang. Kok logikannya kebalik ya, bangun smelter dulu baru diperpanjang. Pantas dulu negosiasi kontrak terkait divestasi dengan Freeport gak jalan,” terang Ferdy.
Sebelumynya, Pemerintah Indonesia melalui perusahaan Holding Industri Pertambangan Inalum resmi mengontrol memiliki 51,23 persen saham PTFI pada akhir tahun lalu.
Pemerintah kemudian menerbitkn Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan catatan, perpanjangan kontrak sampai tahun 2041, wajib membangun smelter tembaga dan jaminan kepastian fiskal dan investasi bagi Freeport.
Perpanjangan kontrak sampai tahun 2041 masuk akal, karena Inalum masih membutuhkan Freeport mengolah tambang underground yang berteknologi dan infrastruktur canggih.
Tambang underground di Grasberg dengan metode block caving menurut para geologi pertambangan memang sangat berisiko tinggi dan membutuhkan dana investasi besar.
Banyak geolog kelas dunia mengatakan, tambang underground di Grasberg tak boleh berhenti. Sekali berhenti, akan meningkatkan tegangan dan mengakibatkan runtuhnya terowongan. Itulah mengapa Freeport di tambang underground membangun terowongan bawah tanah sampai ribuan kilometer. Jika proses tambang underground terhenti, akan mengalami kerugian besar mencapai US$5-10 miliar. *