WWF Papua Ajak Masyarakat Adat Kelola Hutan Adat Secara Bertanggungjawab
SENTANI – WWF Indonesia gelar Pelatihan Teknik Perencanaan Pemanenan Kayu Dengan Metode RIL (Reduced Impact Logging) bagi masyarakat adat pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Adat (IUPHHKA-MA) yang tergabung dalam Koperasi Serba Usaha (KSU).
Pelatihan ini diikuti delapan KSU dan 1 kelompok wisata yang merupakan kelompok dampingan WWF yang tersebar di tujuh kabupaten, yakni KSU Mo Make Unaf dari Merauke, KSU Jibogol dari Jayapura, KSU Nafa dari Nabire, KSU Kumea Ampas dari Keerom, KSU Sapusaniye dari Sarmi, KSU Kornu dan KSU Year Asai dari Kepulauan Yapen, dengan total areal konsesi sebesar 33,691 Hektar, serta satu kelompok ekowisata Rhepang Muaif di Kabupaten Jayapura.
“ Masing-masing KSU mengirim tiga orang perwakilan dan mereka akan mendapatkan pelatihan yang meliputi teori serta praktek. Kelas teori dilaksanakan di Gedung Holey Narey, Learning Center, WWF di Pos 7 Sentani yang dibawakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Papua, sementara kelas praktek selama dua hari akan dilakukan di lokasi KSU Tetom Jaya kampung Gwin Jaya (SP4) Distrik Bonggo Timur Kabupaten Sarmi dengan materi yang dibawakan oleh BP2HP (Balai Pemantauan Pemanfaatan Hasil Hutan Produksi) wilayah 17 Jayapura,” kata Northern Papua Landscape Manager, WWF-Indonesia, Piter Roki Aloisius, dalam siaran pers yang diterima Wartaplus.com, Kamis (15/8) siang.
Dijelaskan, dalam petunjuk teknis pengelolaan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA) yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Papua, setiap pemegang IUPHHK-MHA perlu melakukan perencanaan pemanfaatan, Inventarisasi hutan, pemanfaatan kayu, penatausahaan hasil hutan kayu, penanaman dan pemeliharaan, rencana kerja UPHHK-MHA, Rencana tahunan UPHHK-MHA, dan format tata usaha hasil hutan kayu.
“Jadi Reduced Impact Logging (RIL) merupakan tahap awal dalam menjalankan program pengelolaan hutan lestari sekaligus faktor yang sangat menentukan dalam mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management). Dalam proses sertifikasi, penerapan kaidah-kaidah RIL merupakan salah satu kriteria dan indikator yang dinilai oleh auditor,” jelas Roki.
Untuk itu lanjut Roki, pihaknya berupaya membantu masyarakat adat dalam pengelolaan hutan secara bertanggung jawab, salah satunya dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan dan pemberian pengetahuan dan teknologi serta pendampingan.
“Dari pelatihan-pelatihan tersebut terlihat jelas bagaimana sikap masyarakat yang antusias untuk mengelola hutannya secara lestari. Harapannya, KSU-KSU tersebut nantinya siap untuk mengikuti penilaian kinerja pengelolaan hutan sehingga bisa memperoleh sertifikat PHPL (Pengelolaan Hutan Hasil Produksi Lestari) dan FSC (Forest Stewardship Coucil). Dengan demikian nilai jual produk kayu olahan masyarakat menjadi lebih baik dipasaran kayu yang bertanggungjawab,” tandasnya.**