Pengaruh Kebijakan BRI dan Aliansi SCO di Abad ke 21
Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi
Pada abad ke-21 keamanan memiliki karakteristik yang berbeda dengan abad sebelumnya. Karakteristik yang berbeda dalam hal ancaman, aktor maupun tujuan akhir kepentingan setiap negara berbeda. Persaingan di kawasan Asia-Pasifik dengan munculnya China sebagai kekuatan baru dalam hal ekonomi, politik maupun pertahanannya merupakan ancaman tersendiri bagi hegemoni Amerika Serikat (AS) di kawasan.
Dengan kenyataan ini keamanan Asia-Pasifik pada abad ke-21 menjadi pembentuk pola amity (kerjasama antar negara) atau enmity (permusuhan antara negara) dalam hubungan internasional. Kedua pola tersebut berkembang dalam bentuk rivalitas atau kerjasama antara negara di kawasan Asia-Pasifik. Perang Dingin (Cold War) memang telah berakhir, akan tetapi tetap menyulutkan konflik yang terjadi utamanya di kawasan Laut China Selatan.
Presiden China Xi Jinping pada tanggal 15 November 2012 di Beijing, mengatakan: “Tanggung jawab kita adalah menulis dan memimpin orang-orang dari seluruh partai dan semua etnis serta terus bekerja untuk mewujudkan kebangkitan besar bangsa China untuk membiarkan bangsa China berdiri lebih teguh dan kuat diantara semua bangsa didunia dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi umat manusia“ (BBC NEWS 2012).
Pernyataan Presiden Xi Jinping ini merupakan fakta bahwa China berada pada titik balik perubahan kebijakannya melihat dunia dewasa ini dan memainkan peran sebagai “global prayer”. Fakta tersebut didukung dengan investasi konektivitas China di Asia-Pasifik maupun Eropa Timur, Amerika Latin dan Afrika.
American Enterprise Institute (AEI) mengatakan bahwa secara global sejak tahun 2005, nilai investasi China mencapai US$ 2.27 Triliun (https//:www.aei.org). Pada tahun 2013 saat mengunjungi Kazakhstan, Presiden Xi mengatakan : “Promosikan persahabatan dengan orang-orang dan ciptakan masa depan yang lebih baik, serta mengenalkan ‘Sil Road Economic Belt’ (SREB)’ sejalan dengan “Maritime Silk Road (MRB)” pada abad ke-21”.
Secara kolektif disebut Belt and Road Initiative (BRI). Pada tanggal 14-15 Mei 2017 dalam “Belt and Road Forum-I” di Beijing di mana hadir 29 Kepala Negara, Presiden Xi mengatakan : “Konektivitas infrastruktur adalah dasar dari kerjasama melalui pembangunan….Kita harus meningkatkan jaringan logistik transregional dan mempromosikan kebijakan, konektifitas, aturan dan standar sehingga dapat menyediakan lembaga keamanan untuk meningkatkan konektivitas”. (Xin huanet 2017)
BRI menjadi peta jalan (Road map) bagi politik luar negeri China dan diadopsi dalam konstitusi China pada 24 Oktober 2017. Sejak itu banyak dokumen dan buku putih yang diterbitkan dan mengklarifikasi prinsip-prinsip prioritas dan spesialisasi tematik yang berhubungan dengan BRI.
BRI dapat dilihat sebagai suatu strategi dan kebijakan China untuk “anti-contaiment”, karena menyatukan Eurasia dan dimaksudkan untuk mengkonter “containment” strategi dan politik luar negeri AS serta suatu tindakan preventif untuk mencegah suatu “dominant power” dikawasan Asia-pasifik.
Belt and Road Initiative (BRI) adalah elemen kunci dari suatu mekanisme geopolitik, untuk melindungi politik dan interest (kepentingan) China jangka panjang serta mengintegrasikan pengalaman sejarah dimasa lalu selama Perang Dingin (Cold War).
Berakhirnya Perang Dingin ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada 29 Desember 1991 dan munculnya multipolaritas dalam hubungan internasional. Hal ini tentunya memunculkan ketidakstabilan dalam hubungan internasional, karena munculnya permasalahan-permasalahan yang semakin kompleks seperti kejahatan terorisme, isu-isu keamanan manusia, proliferasi senjata pemusnah masal dan lain-lain.
Paul F. Diehl, mengatakan : Konflik teritorial biasanya dikaitkan dengan manifestasi konkret wilayah baik sebagai nilai strategis atau sumberdaya ekonomi” (A Road Map to War, Territorial Dimensions of Internasional Conflict, Vanderbilt University Press, Tennessee 1999:hal.3) Fakta bahwa investasi China secara global meliputi negara-negara Asia Pasifik, Afrika, Amerika Latin, Karabia dan Eropa Timur (Eurasia) mencapai US$ 2.27 Triliun Sejak tahun 2005 (https://www.aei.org)
Dengan meningkatnya kebutuhan domestik China, maka China membentuk aliansi kerja sama yang disebut Shanghai Cooperation (SCO). Hal ini tentunya mengkhawatirkan AS sebagai penjamin keamanan dikawasan Asia Pasifik. SCO sendiri merupakan aliansi politik dan keamanan negara-negara yang tersebar sebagian besar dikawasan Eurasia termasuk China, India dan Rusia. Kemudian Arab Saudi bergabung dengan SCO pada bulan Desember 2022. (CBNC Indonesia, 29 Maret 2023).
Kerjasama SCO ini diharapkan dapat menjamin kepentingan jangka panjang China di Laut China Selatan, seperti apa yang dikatakan Diehl diatas. Pertahanan China tidak semata-mata dilakukan untuk kepentingan nasional negaranya, tetapi sebagai “new thingking” dalam hubungan internasional maka BRI sebagai jawaban rasionalnya.
“New Thingking” dari BRI dalam jangka panjang memiliki maksud atas kedaulatan, pembangunan domestik, dan balance of power (keseimbangan kekuatan) untuk itu perlu adanya aliansi seperti Shanghai Cooperation (SCO). Dengan demikian BRI dan SCO lebih mengutamakan politik dan kepentingan China dalam jangka panjang untuk menguasai kawasan Asia-pasifik serta menjadi “suatu lingkaran setan” (vicious circle) bagi Amerika Serikat. (Bill Hayton, The South China Sea – The Struggle for Power in Asia, Yale Univerity Press, New Haven and London: 2014: hal: 204).
(Penulis adalah mantan tokoh militer dan seorang politikus Indonesia. Mantan Dubes Italia dan Malta, mantan Menhub, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Menteri PAN-RB, mantan Gubernur Papua, dan pendiri Numberi Center).