Oleh: Letkol Inf Dax Sianturi
(Wakil Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih)
Sejak bukan Desember 2019 telah terjadi peningkatan aksi teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis bersenjata di wilayah Papua. Aksi teror yang dilakukan kelompok-kelompok tersebut tercatat terjadi di wilayah Kab. Intan Jaya, Kab.Nduga, Kab.Mimika, Kab.Puncak, Kab. Keerom dan Kab. Pegunungan Bintang. Bahkan dalam klaim terakhir yang dikeluarkan Jubir TPNPB OPM menyatakan bahwa 33 kelompok TPNPB OPM sudah siap menyerang lokasi PT Freeport di Tembagapura, Kab. Mimika.
Benarkah kelompok-kelompok tersebut benar-benar bersatu?
Jawabannya : TIDAK
Sepanjang sejarah aksi OPM hampir tidak pernah ada aksi gabungan. Penyatuan organisasi mereka dalam organisasi TPNPB OPM sebenarnya tidak lebih pada bentuk solidaritas sesama kelompok bersenjata dibandingkan sebagai bentuk integrasi organisasi yang valid dan operasional. Pada faktanya, aksi-aksi yang dilakukan lebih pada inisiatif dari pimpinan masing-masing kelompok dengan wilayah operasi masing-masing. Kita tidak boleh melupakan bahwa anggota kelompok-kelompok tersebut berasal dari berbagai suku dan wilayah yang berbeda, dan dalam budaya suku-suku di Papua, setiap suku mempunyai kewajiban mempertahankan wilayah sukunya dari intervensi suku lain. Budaya ini pun masih dijalankan oleh kelompok-kelompok separatis ini saat melaksanakan aksinya. Sebagai gambaran, sejauh ini sangat jarang terdengar ada kelompok separatis dari Nduga melakukan aksi di wilayah Puncak, begitu pun sebaliknya.
Menjadi menarik ketika beberapa hari lalu, Lekagak Talenggen, pimpinan kelompok separatis di wilayah Yambi, Kab. Puncak, tiba-tiba mengklaim bahwa kelompoknya saat ini sudah berada di Tembagapura, Kab. Mimika. Melalui Jubir TPNPB OPM, Lekagak menyatakan bahwa dia bersama dengan 33 kelompok separatis bersenjata lainnya telah siap menyerang lokasi obyek vital nasional PT Freeport. Faktanya, berdasarkan informasi yang didapat dari sumber yang dekat dengan Lekagak, hanya ada 2 kelompok yang berasal dari luar wilayah Mimika yang saat ini termonitor bergerak menuju Tembagapura. Sedangkan 1 kelompok lagi memang adalah kelompok separatis "lokal" di Mimika pimpinan Johny Botak, yang selama ini dikenal dengan kelompok Kali Kopi.
"Intervensi" Lekagak Talenggen (kelompok Yambi) dan Militer Murib (kelompok Intan Jaya) masuk ke wilayah kelompok Johny Botak patut diduga sebagai upaya Lekagak Talenggen untuk merebut kursi pimpinan TPNPB OPM yang selama ini diduduki "Jenderal Besar" Goliath Tabuni. Menurut sumber yang mengenal dekat Lekagak, dia merasa terancam dengan "popularitas" Egianus Kogoya yang beroperasi di wilayah Kab. Nduga. Lekagak membutuhkan suatu aksi yang benar-benar bisa mengangkat namanya diantara kelompok-kelompok separatis lainnya. Dan itu tidak bisa dilakukan bila Lekagak bertahan di Yambi yang notabene jauh dari perhatian publik.
Kedatangan kelompok Lekagak dan Militer Murib ke Tembagapura juga bertujuan untuk "mengganggu" posisi Johny Botak yang selama ini beroperasi di wilayah Tembagapura. Terlebih lagi, baik Lekagak maupun Militer Murib, tahu persis bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Mimika jauh lebih tinggi dibanding masyarakat Puncak dan Intan Jaya. Dengan melaksanakan aksi teror di Mimika mereka tentu berharap mendapat "keuntungan" yang lebih besar dengan cara memeras atau menjarah harta milik masyarakat yang ada di Mimika.
Lekagak juga menjalankan aksi liciknya untuk "menyingkirkan" kelompok Johny Botak. Dengan melakukan aksi di Tembagapura, Lekagak dengan sengaja memancing aparat untuk melakukan pengejaran dan penindakan terhadap kelompok separatis di Mimika yang jelas-jelas kebanyakan adalah berasal dari kelompok Johny Botak. Dengan demikian Lekagak akan terlihat "bersih" di mata kelompok lainnya.
Sumber lainnya mengatakan bahwa Johny Botak sendiri sudah mencium akal licik dari Lekagak dan Militer Murib. Ketika mendengar kedatangan kedua kelompok yang berasal dari luar Mimika tersebut, Johny langsung memerintahkan anggotanya untuk "merapat" ke posisi kedua kelompok tadi. Pada dasarnya, Johny ingin mengawasi sepak terjang kelompok dari luar Mimika. Baginya harga diri suku adalah segalanya. Tidak boleh ada kelompok dari luar Mimika yang menguasai Mimika.
Persaingan antar kelompok separatis ini tentunya sudah sejak lama berakibat pada penderitaan warga Papua. Aksi teror dan kekerasan yang dilakukan demi prestise kelompok telah memakan banyak korban baik dari pihak masyarakat maupun aparat. Sayangnya, tidak banyak orang yang jeli mengamati fenomena ini, meskipun sesungguhnya persaingan ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan kelompok pendukung Papua Merdeka.**