Oleh: Velix Wanggai
Tujuh belas tahun telah berlalu. Tepatnya, 21 November 2018, sebuah syukuran digelar oleh Gubernur Papua Lukas Enembe, merayakan perjalanan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Hadirnya Otonomi Khusus menandakan babak baru hubungan antara Jakarta dan Papua. Sekaligus membuka harapan baru bagi perbaikan kualitas kebijakan nasional untuk Tanah Papua.
Kini, tepatnya, 21 November 2018, UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah berusia 17 tahun. Ini usia yang semakin matang dari sisi biologis pertumbuhan seorang manusia. Dari anak-anak mulai berubah ke remaja dan jelang dewasa. Secara administratif, di usia 17 tahun ini, seseorang akan memiliki hak untuk mendapatkan KTP, SIM maupun hak memilih dalam kontestasi pemilihan umum. Lantas, bagaimana dengan Otonomi Khusus Papua di usia 17 tahun ini? Ada apa dengan Otonomi Khusus Papua
Desain Baru Relasi Pusat - Papua
Kita menyadari bahwa kebijakan Negara perihal desain Otonomi Khusus bagi Papua pada 21 November 2001 adalah model baru hubungan Pusat - Daerah di Indonesia. Model baru yang menandakan sebuah model kebijakan baru bagi Papua di dalam menjawab setumpuk persoalan yang melilit Papua sekian dekade. Demikian pula, sebagai kesempatan bagi tumbuhnya pendekatan baru di dalam merespon tantangan global dan nasional yang semakin dinamis dan kompleks.
Kita memahami ada setting waktu yang berbeda di era tahun 2000-an pasca reformasi 1998 dan kini di era 2018 dan tahun-tahun ke depan. Namun, seiiring dengan detik- detik yang terus berjalan ini, sebenarnya pertanyaan mendasar yang tetap krusial adalah: bagaimana rasa keadilan, kesejahteraan rakyat, penegakkan hukum, penghormatan HAM, pengurangan kesenjangan sosial, dan keberpihakan kesempatan ke Orang Asli Papua maupun penguatan hak-hak dasar penduduk asli Papua.
Mengelola Persepsi yang Beragam
Memang tidaklah mudah di dalam mengelola Papua. Pilihan otonomi khusus oleh negara adalah sebuah pilihan realistis. Arsitektur otonomi khusus telah kita sepakati sejak 2001. Apalagi pilihan ini semakin diperkuat dengan UUD 1945 Amandemen 4 di tahun 2002 yang mengakui kekhususan.
Aspek krusial yang kita amati adalah persepsi yang berbeda di dalam memaknai otonomi khusus, aspek kekhususan daerah, kearifan lokal Papua, dan nilai historis Papua. Persepsi yang berbeda di berbagai policy actors dan masyarakat sipil telah menyebabkan nilai, kerangka dasar dan pasal demi pasal di dalam UU No 21/2001 belum terlaksana secara murni dan konsekuen. Di titik ini, kita melihat jauh apa itu theory of perception of policy actors. Persepsi dibentuk oleh latar belakang kehidupan, pendidikan, pekerjaan, pengalaman, beliefs, interaksi sosial dan bahkan pengalaman masa kecil seseorang. Di tataran teori hubungan internasional, dikenal istilah ideosinkretik. Memori passionis komunitas juga menjadi dasar bagi tumbuhnya persepsi.
Elite Papua baik di pemerintahan daerah di level provinsi dan di kabupaten/kota memiliki bangunan persepsi terhadap sikap dan kebijakan Pemerintah. Demikian pula, sebagian masyarakat sipil Papua memiliki persepsi yang berbeda atas desain dan pelaksanaan otonomi khusus. Sebaliknya, Pemerintah di berbagai kementerian dan lembaga juga dirasakan memiliki persepsi yang beragam dalam memaknai nilai dan kerangka keberpihakan, proteksi dan pemberdayaan Otonomi Khusus di setiap kebijakan sektoral.
Salah satu perbedaan persepsi yang seringkali muncul di permukaan. Di satu sisi, ada pandangan yang menganggap kewenangan dan dana otonomi khusus telah besar dialokasikan ke Papua. Namun ternyata belum memberikan makna bagi perbaikan pelayanan publik dan kesejahteraan orang asli Papua.
Di sisi lain, ada yang menganggap jumlah dana otonomi khusus masih kecil tidak sebanding dengan tingkat kesulitan wilayah dan kemahalan harga di berbagai pelosok Tanah Papua.
Pentingnya Kebijakan Sektoral yang "Rasa Papua"
Sebenarnya, persepsi yang beragam soal besaran dana otonomi khusus bukan menjadi hal urgen karena titik krusial yang harus kita letakkan adalah perihal seberapa dalam pendekatan pembangunan yang "rasa Papua" dijadikan acuan di dalam setiap kebijakan sektoral dan kewilayahan. Artinya, rasa Papua dilihat dari bagaimana kebijakan sektoral dapat mengakomodasi ukuran-ukuran spesifik lokal ke-Papua-an, baik kultur, zona ekologis, wilayah adat, karakter kepemimpinan lokal, relasi adat - tanah, pola ekonomi lokal maupun aksesibilitas antara daerah yang sulit dan beragam.
Dengan memahami "rasa Papua" ini, maka skenario anggaran untuk Papua bukan terletak pada besar kecilnya jumlah anggaran, namun seberapa efektif alokasi dana untuk Papua dapat *"bringing public services closer to the Papuan people"* di akar rumput nun jauh di pelosok yang beragam di Tanah Papua.
Keniscayaan, bahwa alokasi dana yang besar ke Papua adalah sesuatu yang wajar karena diletakkan dalam konteks ke-Papua-an yang berbeda tingkatan pembangunan dengan daerah lainnya di Tanah Air.
Catatan lepas di Angkasa from Jakarta to London